Pemilu Kian Dekat, Kebijakan Fiskal Diproyeksikan Lebih Ekspansif
Menjelang pemilu, kebijakan fiskal cenderung lebih ekspansif. Pemerintah meningkatkan belanja untuk membuktikan kinerja.
Bendera partai politik peserta Pemilu 2024 dipasang di sepanjang jalan layang di kawasan Karet, Jakarta, Selasa (22/8/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Sampai akhir September 2023, realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN masih mencatatkan surplus sebesar Rp 67,7 triliun. Namun, semakin mendekati momen pemilu, kebijakan fiskal diproyeksikan lebih ekspansif. Selain realisasi belanja perlindungan sosial yang naik, belanja juga akan terdorong oleh kebutuhan pembayaran rutin di akhir tahun.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Berdasarkan kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) yang tertuang dalam laporan terbaru Indonesia Economic Outlook 2024, menjelang perhelatan pemilu, kebijakan fiskal cenderung akan lebih ekspansif.
Kebijakan fiskal ekspansif ditandai dengan peningkatan nilai belanja negara dan pengurangan target pajak seperti lewat pemberian insentif pajak. Model ini biasanya diterapkan saat ekonomi melemah, tujuannya untuk menjaga daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Dari Beras sampai Properti, Pemerintah Gelontorkan Bantuan di Sisa Tahun Ini
Laporan LPEM FEB UI mencatat, selama periode pemilu, pemerintah diduga lebih banyak mengeluarkan dana publik untuk mengeksekusi proyek dengan visibilitas tinggi serta meningkatkan belanja diskresi guna membuktikan pemerintah telah bekerja optimal selama menjabat.
Tren itu salah satunya terlihat dari realisasi belanja bantuan sosial dan subsidi pada APBN dan APBN-Perubahan dari tahun ke tahun. Menjelang pemilu 2014 dan 2019, realisasi belanja bantuan sosial terpantau lebih tinggi dari target yang dipasang di APBN dan APBN-Perubahan.
Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky, Minggu (5/11/2023), mengatakan, biasanya, rasio realisasi belanja bansos selalu lebih rendah dari target atau di bawah 100 persen di tahun-tahun nonpemilu.
Namun, di tahun pemilu, belanja bansos tercatat menanjak. Pada tahun 2013, jelang Pemilu 2014, realisasi belanja bansos naik menjadi 111,7 persen, dan pada tahun 2014 mencapai 101,31 persen dari target. Tren serupa terlihat di tahun 2018 dan 2019, di mana realisasi belanja bansos tercatat naik menjadi 103,71 persen pada 2018 dan 110,21 persen dari target pada 2019.
Indikasi APBN yang akan lebih ekspansif itu mulai terlihat dengan dirilisnya paket kebijakan pemerintah untuk bantalan ekonomi.
”Motivasi politik untuk memenangi pemilu atau bertindak demi kepentingan pemilih biasanya menjadi alasan munculnya tren ini. Untuk tahun ini, gelagatnya mulai terlihat, meski belum terlalu ekspansif karena sejauh ini APBN masih mencatat surplus,” kata Riefky saat dihubungi.
Indikasi APBN yang akan lebih ekspansif itu mulai terlihat dengan dirilisnya paket kebijakan pemerintah untuk bantalan ekonomi dan daya beli masyarakat, yang akan dikucurkan mulai akhir tahun 2023 sampai awal tahun 2024. Paket kebijakan ekonomi yang baru diumumkan pekan lalu itu memakan tambahan anggaran sekitar Rp 13,62 triliun.
Setidaknya ada tiga paket kebijakan yang disiapkan. Pertama, penebalan bantuan sosial untuk mitigasi dampak El Nino dan menjaga daya beli lewat perpanjangan pemberian bansos beras 10 kg untuk keluarga penerima manfaat (KPM). Ada pula bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 400.000 untuk dua bulan yang disalurkan ke 18,8 juta KPM.
Kedua, penguatan usaha mikro kecil menengah (UMKM) lewat percepatan penyaluran subsidi kredit usaha rakyat (KUR). Ketiga, penguatan sektor properti lewat pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) untuk pembelian rumah dengan harga di bawah Rp 2 miliar. Pemerintah juga memberikan insentif berupa subsidi biaya pengurusan administrasi rumah untuk masyarakat berpendapatan rendah (MBR).
Baca juga: Janji-Janji Populis Bermunculan Jelang Pemilu, APBN Mampu?
Riefky mengatakan, melihat pola rutin selama ini, belanja yang lebih ekspansif baru akan terlihat nanti di triwulan IV. Ekspansi itu juga akan terdorong lewat belanja bansos dan subsidi akibat paket kebijakan ekonomi terbaru, yang baru akan diterapkan mulai November 2023.
”Biasanya, di negara berkembang lain, kebijakan fiskal ekspansif juga terlihat lewat penurunan penerimaan pajak. Tetapi, untuk Indonesia, karena rasio pajak kita terlalu rendah, kebijakan ekspansif jelang pemilu itu lebih terlihat dari sisi belanja, bukan penerimaan. Setidaknya empat pemilu terakhir, penerimaan pajak kita tetap relatif stabil,” ujarnya.
Tidak sepenuhnya pemilu
Sampai akhir September 2023, APBN masih mencatat surplus sebesar Rp 67,7 triliun atau setara 0,32 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Surplus terbentuk karena pendapatan negara sudah terealisasi lebih tinggi, yakni 82,6 persen dari target, sementara realisasi belanja negara baru mencapai 64,3 persen dari total pagu anggaran di APBN.
Menurut Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, surplus akhir September 2023 ini terhitung tidak wajar karena biasanya kondisi keuangan negara mulai defisit begitu memasuki triwulan III. Ia pun memperkirakan belanja pemerintah baru akan ekspansif di triwulan IV atau pada tiga bulan terakhir tahun ini.
Kebijakan bansos dan subsidi yang dikucurkan mulai akhir tahun ini adalah untuk mengantisipasi kondisi ekonomi dunia yang sedang tidak baik-baik saja.
Namun, menurut dia, kebijakan fiskal ekspansif itu tidak sepenuhnya berkaitan dengan kepentingan pemilu. Sebab, paket kebijakan ekonomi untuk menjaga daya beli yang baru dikeluarkan pemerintah itu lebih disebabkan oleh keperluan memitigasi dampak El Nino yang kebetulan berlangsung sampai akhir tahun ini.
Di sisi lain, siklus tahunan belanja pemerintah memang baru akan terealisasi di triwulan IV karena kebutuhan pembayaran berbagai proyek pemerintah yang baru dilunasi di akhir tahun. ”Yang berkaitan dengan pemilu mungkin adalah pembayaran untuk percepatan pembangunan proyek strategis nasional (PSN) karena ini sudah mau 10 tahun pemerintah menjabat,” kata Josua.
Ia memperkirakan APBN akan mulai defisit pada triwulan IV, kendati tetap di bawah target 2,3 persen dari PDB. ”Sepertinya tidak akan terserap semua tahun ini, agar ada buffer atau tabungan untuk tahun depan. Sebab tren penerimaan akan lebih ternormalisasi lagi tahun depan dan harga minyak mentah juga terus menguat, yang pasti akan berdampak pada fiskal pemerintah,” ucapnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, kebijakan bansos dan subsidi yang dikucurkan mulai akhir tahun ini adalah untuk mengantisipasi kondisi ekonomi dunia yang sedang tidak baik-baik saja. Dalam kondisi itu, APBN kembali harus dikerahkan sebagai ”peredam guncangan” untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Ia menilai, APBN masih cukup fleksibel untuk menanggung tambahan beban belanja di akhir tahun itu. Terlebih, APBN masih mencatat surplus sampai akhir September 2023.
”Kita masih punya ruang untuk bermanuver. Kita siapkan beberapa instrumen agar APBN tetap sehat, sambil memastikan APBN digunakan untuk menjaga daya beli dan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.