Janji-janji Populis Bermunculan Jelang Pemilu, Apakah APBN Mampu?
Kebijakan ekonomi para kandidat seharusnya diarahkan untuk mencari solusi yang tepat terhadap akar masalah di masyarakat, dengan strategi fiskal yang rasional. Bukan sekadar menjual janji surga agar terpilih.
Tahun politik tepat di depan mata. Setiap hari, arus berita dan lini masa media sosial dibanjiri informasi seputar sosok kandidat yang akan bertanding di pemilihan umum tahun depan. Janji-janji ”manis” pun mulai diumbar, seperti BBM gratis, makan gratis, dan kenaikan gaji guru. Namun, seberapa realistis sebenarnya janji-janji itu untuk dipenuhi?
Dalam setidaknya tiga bulan terakhir ini, meski pendaftaran pemilihan presiden belum resmi dibuka, ketiga sosok kandidat bakal calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) semuanya terpantau sudah mengumbar janji-janji ”manis” nan populis di depan publik.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, selaku bakal cawapres Anies Baswedan, misalnya, menjanjikan akan memberikan bahan bakar minyak (BBM) gratis kepada masyarakat. Janji itu tidak disampaikan langsung oleh Muhaimin, tetapi oleh salah satu elite di partainya.
Ada pula janji ”manis” lain dari kandidat capres Prabowo Subianto, yaitu memberikan makan gratis setiap hari kepada sebagian kelompok masyarakat, seperti pelajar, siswa prasekolah, hingga ibu hamil, untuk mencukupi kebutuhan gizi mereka. Janji ini juga disampaikan oleh elite Partai Gerindra yang diketuai Prabowo.
Baca juga: Komitmen Anggaran untuk Layanan Kesehatan Masyarakat
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo lain lagi. Ia menjanjikan kenaikan gaji guru hingga Rp 30 juta per bulan, khususnya untuk yang masa kerjanya sudah lama. Selain itu, guru yang baru mengajar juga tetap dijanjikan kenaikan gaji, yaitu sekitar Rp 10 juta per bulan.
Semua janji itu tak dimungkiri terasa indah dan menggiurkan bagi rakyat. Namun, seberapa realistis sebenarnya janji-janji itu untuk dipenuhi? Apakah kapasitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mampu menjalankan berbagai progam tersebut?
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Rabu (18/10/2023), mengatakan, melihat pengalaman pemilu yang sudah-sudah, janji-janji manis nan populis yang diumbar saat kampanye biasanya tidak akan direalisasikan begitu menjabat.
”Biasanya akan mandek di tengah jalan. Saat janji-janji itu disampaikan, kandidat mungkin belum memperhitungkan realitasnya. Ada batasan-batasan yang membuat sulit untuk memenuhi janji populisnya, baik kapasitas APBN, peta politik, maupun bertabrakan dengan deal-deal yang sudah dibuat dengan pelaku usaha dan investor,” kata Faisal di Jakarta.
Lihat juga: Rencana Kenaikan Gaji ASN, TNI/Polri Disebut Politis dan Bebankan APBN
Beban bagi APBN
Berbagai janji yang diumbar para kandidat, menurut dia, tidak realistis dengan kapasitas dan ruang fiskal negara yang terbatas. Janji memberi BBM gratis, misalnya, dapat membuat belanja di APBN membengkak luar biasa. Defisit fiskal pun akan melebar dan beban utang negara bertambah. Terlebih, kondisi global yang penuh ketidakpastian bisa membuat harga minyak mentah dunia sewaktu-waktu meroket.
Kalaupun pelebaran defisit bisa ditahan, mau tidak mau akan ada alokasi belanja lain yang dikorbankan. Padahal, alokasi belanja yang ditetapkan dalam APBN, terutama yang sudah dikategorikan sebagai belanja wajib (mandatory spending), seperti pendidikan dan kesehatan, sulit diutak-atik karena penting untuk dipenuhi.
”Saat ini saja, dengan kebijakan subsidi BBM ke rakyat, pertentangannya sudah luar biasa. Belanja APBN yang dibutuhkan sudah besar, sampai-sampai tahun lalu subsidi itu harus dikurangi. Apalagi kalau BBM ke depan mau dibuat gratis,” kata Faisal.
Menurut data Kementerian Keuangan, alokasi belanja subsidi energi dalam komponen belanja pemerintah pusat sudah mencapai 8 persen atau Rp 185,87 triliun dalam APBN 2024. Jumlah itu ditetapkan dengan asumsi realisasi harga minyak mentah Indonesia (ICP) sepanjang tahun depan sesuai dengan perkiraan pemerintah di level 82 dollar AS per barel.
Kenyataannya, dalam beberapa tahun terakhir ini, belanja subsidi BBM kerap membengkak di luar asumsi pemerintah karena ketidakpastian global dan harga minyak mentah yang naik-turun. Pada 2022, misalnya, belanja subsidi dan kompensasi energi membengkak tiga kali lipat dari Rp 152,5 triliun di APBN sampai menyentuh Rp 551,2 triliun.
Baca juga: Penerimaan Pajak Melambat, Pemerintah Yakin Rasio Utang Terkendali
Faisal juga mempertanyakan janji lain, seperti makan gratis bagi masyarakat. Meski bebannya ke APBN tidak sebesar janji BBM gratis, tetap saja kebijakan itu tidak efektif untuk menekan tengkes (stunting) dan mengentaskan rakyat dari kemiskinan.
”Kebijakan makan gratis ini masih bisa dijalankan kalau hanya dilakukan dalam jangka pendek atau sesekali, tidak makan gratis terus-menerus. Tidak terlalu demanding untuk APBN. Tetapi, kalau hanya sesekali seperti itu, apa guna dan maknanya?” ujarnya.
Kebijakan ekonomi para kandidat seharusnya diarahkan untuk mencari solusi yang tepat terhadap akar masalah yang ada di masyarakat, dengan strategi fiskal yang rasional. Bukan sekadar menjual janji surga agar bisa terpilih, tetapi berakhir ingkar janji.
Biasanya akan mandek di tengah jalan. Saat janji-janji itu disampaikan, kandidat mungkin belum memperhitungkan realitasnya.
Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Wahyu Utomo mengatakan, memasuki tahun politik, wajar jika banyak janji dan gagasan muncul. Namun, setiap gagasan itu harus diuji lagi, terutama dari aspek ekonomi, kebijakan fiskal, dan kebijakan publik.
”Namanya gagasan perlu diapresiasi, tetapi kembali lagi, feasible tidak kalau itu direalisasikan secara ekonomi dan sosial? Feasible tidak pertimbangan fiskal dan kebijakan publiknya?” ucap Wahyu.
Menekan pertumbuhan
Sejumlah penelitian menunjukkan, kebijakan populis justru bisa menahan dan memperlambat pertumbuhan ekonomi, alih-alih menopangnya.
Mengutip artikel bertajuk ”To Beat Populists, Sensible Policymakers Must Up Their Game” yang diterbitkan di The Economist pada 12 Oktober 2023, penelitian dan simulasi yang dilakukan Manuel Funke dan Christoph Trebesch (Kiel Institute for the World Economy) dan Moritz Schularick (University of Bonn) menunjukkan, 15 tahun setelah pemimpin dengan kebijakan populis menjabat, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) per kapita di negara itu lebih rendah 10 persen jika dibandingkan dengan rezim yang kebijakannya rasional.
Baca juga: Kerja Keras APBN untuk Rakyat
Penelitian itu dilakukan dengan mengidentifikasi 51 presiden dan perdana menteri populis di sejumlah negara selama periode 1900-2020. Dengan menggunakan algoritma khusus, Funke dan kawan-kawan menyimulasikan potensi pertumbuhan ekonomi dalam sebuah rezim kontrafaktual, dengan kebijakan yang diambil di rezim ”alternatif” itu bersifat rasional, kebalikan dari rezim populis yang sesungguhnya.
Hasilnya, pertumbuhan ekonomi di rezim populis lebih rendah ketimbang rezim rasional. Rasio utang pemerintah terhadap PDB jauh lebih tinggi akibat beban APBN yang terlalu berat dan tingkat inflasi meninggi.
Faisal mengatakan, suatu kebijakan sebenarnya bisa bersifat prorakyat dan rasional di saat yang sama, tanpa harus terjebak populisme. Misalnya, program besar-besaran dari salah satu kandidat untuk membuat program padat karya dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
”Misalnya, di sektor-sektor yang banyak kantong kemiskinan, masyarakat diberi akses terhadap sumber daya alam, lahan, dan diberi upah padat karya untuk berproduksi. Kebijakan yang berpihak pada rakyat tidak selalu harus populis, bisa juga masuk akal,” katanya.