Kita makin menyadari bahwa inovasi tidak harus bermula dari hal-hal besar dan mencengangkan. Semua ini sangat mungkin muncul karena kultur inovasi yang terbentuk dari proses panjang di perusahaan.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·3 menit baca
Saat kita hendak bepergian, tidak sedikit di antara kita yang tiba-tiba ingin ke toilet untuk kencing atau setidaknya merasa harus kencing. Situasi seperti ini juga muncul saat kita hendak masuk ke pesawat. Akan tetapi, karena buru-buru, biasanya kita memilih mencari toilet di pesawat. Sedikit yang menyadari bahwa pilihan itu kerap merepotkan penumpang lain dan juga awak kabin. Ternyata, inovasi kecil bisa menyelesaikan masalah ini.
Maskapai Japan Airlines (JAL) yang pernah diputuskan bangkrut dan kemudian bangkit melakukan inovasi sepele. Menjelang penumpang masuk, mereka membuat pengumuman agar penumpang yang ingin ke toilet disarankan segera ke toilet. Pengumuman seperti ini mencegah masalah keribetan menjelang pesawat lepas landas dan juga membuat penumpang bisa bergegas ke toilet sebelum naik pesawat sehingga tidak membikin repot mereka yang berada di dalam pesawat menjelang lepas landas.
Japan Airlines juga membuat inovasi kecil lainnya. Pramugara dan pramugari dilengkapi tongkat kecil untuk memastikan kabin bagasi tertutup dengan kuat. Mereka yang mungkin saja memiliki tinggi badan tidak terlalu tinggi dengan mudah mengecek dan membereskan kabin bagasi agar tertutup sempurna. Tidak perlu angkat tangan dan angkat badan untuk memastikan semua kabin bagasi tertutup aman dan pesawat bisa segera diberangkatkan.
Maskapai ini membuat inovasi saat pandemi untuk sejumlah tujuan yang jauh. Mereka membikin sebuah paket kebugaran selama dan setelah meninggalkan pesawat. Paket ini merupakan kerja sama JAL dengan Tanita Corporation. Di dalam paket itu terdapat tiga macam, yaitu senam di pesawat, makan menu sehat di pesawat, dan juga olahraga ringan setelah berada di rumah. Awalnya, program ini disajikan saat terjadi pandemi. Namun, setelah itu, program berlanjut agar penumpang tidak hanya bugar di pesawat, tetapi juga saat di rumah.
Pelajaran berharga dari maskapai JAL ini memperlihatkan inovasi yang dilakukan mulai dari yang sangat sederhana. Mereka melakukan langkah ini berdasarkan keluhan dari para penumpang dan juga tentu para awak kabin. Kita makin menyadari bahwa inovasi tidak harus bermula dari hal-hal besar dan mencengangkan. Semua ini sangat mungkin muncul karena kultur inovasi yang terbentuk dari proses panjang di perusahaan itu.
JAL melakukan berbagai perubahan dan perbaikan karena mereka telah mengalami masalah terberat dari sebuah perusahaan. Mereka pernah mengajukan perlindungan kebangkrutan pada tahun 2010 dengan utang lebih dari 25 miliar dollar AS sebagai dampak dari krisis keuangan 2008. Mereka terpaksa memangkas 15.700 karyawan dan rute-rute yang tidak menguntungkan dalam upaya bertahan karena tekanan fluktuasi harga bahan bakar dan jumlah penumpang yang berubah-ubah.
Mereka kembali bangkit dari kebangkrutan pada tahun itu menjadi operator yang lebih kuat dan lebih gigih. Maskapai ini terus berekspansi dan mulai mengubah strateginya pada 2017 atau lima tahun setelah bangkit dari kebangkrutan.
Mereka baru bisa bangkit pada tahun 2012 berkat berbagai perubahan yang cepat dilakukan JAL. Mereka kembali bangkit dari kebangkrutan pada tahun itu menjadi operator yang lebih kuat dan lebih gigih. Maskapai ini terus berekspansi dan mulai mengubah strateginya pada 2017 atau lima tahun setelah bangkit dari kebangkrutan. Mereka, antara lain, meluncurkan rute baru ke kota-kota besar, seperti San Diego dan Boston. Maskapai ini juga terus berekspansi dengan menambah 13 pesawat Dreamliner dan 31 Airbus A350XWB hingga beberapa tahun.
Pengalaman di atas mungkin membuat pimpinan dan staf JAL harus berinovasi setiap saat. Mereka tidak ingin kebangkrutan terjadi kembali. Mereka yang terkena imbas masalah keuangan tentu ingat betapa nestapanya mengalami masa-masa itu. Kini, inovasi itu telah menjadi kultur. Semua bisa melakukan inovasi, tidak hanya bergantung pada pimpinan mereka. Inovasi dilakukan mulai dari urusan sepele hingga urusan besar. JAL pernah mengalami masalah keuangan saat pandemi, tetapi tahun lalu mereka kembali bisa membukukan keuntungan.
Dari sebuah tulisan di laman Techtarget kita bisa belajar tentang kultur inovasi. Kultur ini muncul dari lingkungan kerja yang dikembangkan oleh para pemimpin untuk memupuk pemikiran yang tidak lazim dan penerapannya. Tempat kerja yang memupuk budaya inovasi umumnya menganut keyakinan bahwa inovasi bukanlah wewenang pimpinan puncak, tetapi bisa datang dari siapa saja di dalam organisasi. Budaya inovasi dihargai oleh organisasi yang bersaing di pasar yang ditentukan oleh perubahan cepat. Selain itu, mempertahankan status quo tidaklah cukup untuk bersaing secara efektif sehingga menjadikan budaya inovasi penting untuk kesuksesan perusahaan.
Techtarget juga mengatakan, budaya inovasi sering kali mengukur karyawan berdasarkan metrik seperti penciptaan nilai, baik bagi pelanggan maupun pemegang saham, serta diferensiasi kompetitif dibandingkan metrik tradisional seperti pengiriman tepat waktu dan perolehan pendapatan. Perusahaan yang mendorong pemikiran inovatif juga mendorong penemuan dan menemukan cara untuk menghargai waktu yang dihabiskan untuk penelitian yang diperlukan guna menghasilkan produk dan ide baru.
Budaya inovasi dihargai oleh organisasi yang bersaing di pasar yang ditentukan oleh perubahan cepat. Selain itu, mempertahankan status quo tidaklah cukup untuk bersaing secara efektif sehingga menjadikan budaya inovasi penting untuk kesuksesan perusahaan.
Apa contoh dari hal itu? Orang banyak mengutip kebijakan ”20% time” yang dilakukan perusahaan teknologi Google. Perusahaan memperbolehkan karyawan menghabiskan seperlima minggu kerja mereka pada hal yang ingin mereka kerjakan, dengan harapan bahwa pekerjaan yang bersifat diskresi ini akan menghasilkan momen ”aha”. Momen ketika karyawan menemukan sesuatu yang baru, tak terduga, dan mencengangkan.