Seberapa kuatkah kehadiran sebuah generasi mengubah logo sebuah perusahaan? Banyak perusahaan yang mati-matian kukuh dengan logo mereka dan tidak sedikit yang meng-abadi-kan logo. Kemunculan generasi baru tidak bisa mempertahankan pendapat itu. Generasi baru membutuhkan kejelasan informasi di balik logo. Mereka sangat boleh jadi memiliki jarak dengan sebuah logo dan tidak paham maknanya. Perubahan logo menjadi pilihan. Sejauh mana logo korporasi perlu berubah?
Setelah 59 tahun bertahan dengan logo lama, perusahaan ritel perlengkapan luar ruang Eddie Bauer menukar logo kursifnya dengan sesuatu yang lebih nyata, yaitu gambar seekor angsa. Logo kursif adalah logo berupa tulisan tangan, memiliki alur disatukan yang menjadikan orang melihat merasa nyaman dan efisien. Bukan hanya itu, gambar angsa itu disertai dengan nama merek yang disederhanakan dan sekarang ditulis dengan huruf kapital semua. Di samping itu, ada detail tambahan, yaitu tahun pendirian perusahaan 1920 yang disertai dengan frasa ”Outdoor Outfitters” atau penjual barang ritel luar ruang.
Perubahan merek besar ini mulai diluncurkan pada platform digital Eddie Bauer dan dalam waktu dekat akan mulai muncul di toko fisik internasional secara bertahap. Pada musim gugur tahun 2024 semua produk Eddie Bauer akan mulai menampilkan logo yang diperbarui. Perubahan logo itu berawal dari keinginan mereka untuk memperluas upaya Eddie Bauer, yaitu lebih fokus pada peritel grosir, meningkatkan distribusi internasional, dan menjangkau pelanggan generasi baru. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka menyimpulkan logo Eddie Bauer harus mudah dikenali dan akan tetap dikenang dalam jangka lama.
Analisis di laman Fast Company menyebutkan, ada beberapa masalah dengan logo lama, yaitu masalah keterbacaan. Semula mereka bermain-main dengan gagasan untuk mempertahankan tampilan huruf lama. Namun, reaksi umum yang mereka terima, bentuk huruf tersebut terlihat kuno dan bagi sebagian orang malah membingungkan. Mereka kemudian sadar bahwa mereka ingin memperkenalkan kembali merek warisan budaya yang hebat ini kepada generasi berikutnya. Namun, anak-anak sekarang, yaitu gen Z, bahkan tidak lagi belajar membaca seni menulis halus atau kursif di sekolah sehingga bentuk logo lama dipastikan membingungkan mereka.
Baca juga: Cara Lego Berkampanye
Perubahan generasi telah mendorong sejumlah analis untuk memperhatikan perubahan minat mereka terhadap merek. Minat mereka terhadap sebuah merek juga ditentukan salah satunya oleh logo perusahaan. Sebuah riset yang dimuat di laman AdWeek pada tahun 2021 menyebutkan, di era penyaluran konten langsung, perdagangan dengan media sosial dan pemasaran dengan menggunakan pemengaruh (influencer), maka logo yang berkesan statis perlu dipikirkan ulang sebagai bagian identitas sebuah merek. Perubahan pasar mengharuskan mereka untuk berubah. Citra perusahaan sangat berkait dengan logo sehingga logo perusahaan perlu mendapat perhatian lebih.
Sebuah survei yang dilakukan oleh perusahaan layanan desain grafis Vistaprint yang dimuat di laman tersebut menyebutkan, semua kelompok umur yang merupakan sebagian besar responden, sekitar 92 persen, merasa logo harus menjadi prioritas utama ketika memulai bisnis baru. Milenial dan gen Z menginginkan logo dengan warna monokrom dan memberi kesan jender yang netral. Dua generasi ini menyatakan bahwa warna seperti putih, biru, dan hitam memberi kepercayaan lebih pada sebuah merek. Mengapa perusahaan perlu memperhatikan mereka? Blog biro iklan Shots melaporkan, pada tahun 2030, gen Z akan memiliki daya beli sebesar 3 triliun dollar AS.
Analisis lebih mendalam terdapat di laman Wix. Salah satu analis, yaitu Kylie Goldstein, mengatakan, meskipun gen Z jelas menghargai estetika, pesan merek, dan sikap yang menyenangkan, mereka bakal bertindak lebih keras daripada sekadar kata-kata. Mereka ingin merek menjadi asli. Menurut laporan EY, 92 persen responden gen Z menyatakan bahwa bersikap otentik terhadap diri sendiri sangatlah penting. Sejak gen Z tumbuh dengan teknologi di ujung jari mereka, mereka telah menjadi pelanggan yang sangat canggih dan cerdas. Mereka hampir memiliki kekuatan super untuk mendeteksi merek-merek yang sekadar omong kosong alias tidak otentik.
Baca juga: Sekali Lagi, Transformasi
Oleh karena itu, apabila mereka merasa merek perusahaan tidak asli, mereka akan langsung memberikan hukuman dan dipastikan dapat merugikan perusahaan. Menurut data Forrester, gen Z tidak ragu untuk membatalkan membeli sebuah produk dari merek ketika mereka merasakan lapisan yang ada di dalam merek terkesan dangkal. Pembatalan bisa berupa tindakan berhenti mengikuti, menyembunyikan, atau memblokir secara pribadi di media sosial atau mereka mendengungkan boikot massal terhadap suatu merek. Mereka merasa tertipu dengan berbagai hal yang dilakukan oleh perusahaan.
Kylie kemudian menyarankan, tidak ada pendekatan universal untuk menjangkau audiens baru ini. Namun, Anda dapat memulai perjalanan pencitraan merek dengan mencoba beberapa strategi pemasaran yang disetujui gen Z, yaitu menciptakan pengalaman inklusif, bereksperimen dengan media video, berfokus pada bukti peran sosial, terlibat dengan mereka setiap saat, dan memiliki selera humor. Lebih dari itu, pendekatan yang dilakukan perusahaan harus selalu mengutamakan tujuan merek itu sendiri saat menerapkan pencitraan merek di hadapan generasi Z.