Insentif pemerintah berupa pembagian alat masak berbasis listrik sebenarnya baik. Sayangnya, itu bukan solusi permanen atas permasalahan yang ada, yakni ketergantungan tinggi Indonesia terhadap impor elpiji.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Sedang ramai di perbincangan publik rencana pemerintah membagi-bagikan rice cooker, alat penanak sekaligus penghangat nasi bertenaga listrik. Program ini ditujukan untuk menjamin akses energi bersih, mengurangi impor elpiji, dan meningkatkan konsumsi per kapita listrik masyarakat. Ini ibarat masalah di hulu, tapi solusinya di hilir.
Kebijakan pembagian alat memasak berbasis listrik tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penyediaan Alat Memasak Berbasis Listrik bagi Rumah Tangga. Disebutkan bahwa penyediaan alat ini merupakan insentif kepada rumah tangga dengan kriteria tertentu. Adapun sumber dana penyediaannya adalah anggaran dari Kementerian ESDM.
Mengutip artikel Kompas.id tanggal 7 Oktober 2023, sasaran program yang akan direalisasikan pada tahun ini sebanyak 474.660 rumah tangga. Syarat lain penerima insentif program tersebut adalah rumah tangga pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dengan daya 450 volt ampere (VA), 900 VA, dan 1.300 VA. Daya 450 VA dan 900 VA untuk golongan rumah tangga termasuk sebagai penerima subsidi listrik.
Disebutkan pula bahwa rumah tangga penerima adalah rumah tangga yang sebelumnya tak memiliki rice cooker. Selain itu, mereka juga harus diverifikasi dan mendapat rekomendasi dari kepala desa atau lurah setempat. Penerima rice cooker juga dilarang memperjualbelikan alat tersebut dan harus menggunakannya sesuai ketentuan.
Apabila kembali ke latar belakang lahirnya kebijakan ini, pembagian rice cooker bukanlah solusi permanen yang bisa mengatasi akar masalahnya. Salah satu penyebab impor elpiji tinggi di Indonesia adalah tipe mayoritas gas bumi di Indonesia yang disebut sebagai ”gas kering” tidak bisa diolah menjadi elpiji. Gas tersebut tetap bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik dengan cara disalurkan langsung ke rumah tangga atau kerap disebut sebagai gas pipa atau juga jaringan gas (jargas) rumah tangga.
Tak mengherankan apabila 75 persen elpiji yang dikonsumsi di Indonesia harus diperoleh lewat impor. Sementara itu, volume konsumsi elpiji terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan untuk elpiji bersubsidi berukuran 3 kilogram, kuotanya kerap terlampaui setiap tahun. PT Pertamina (Persero) menghitung, konsumsi elpiji bersubsidi sampai akhir tahun ini diperkirakan mencapai 8,28 juta ton atau melampaui kuota 8 juta ton untuk tahun anggaran 2023.
Seberapa persen penggunaan rice cooker bisa mengurangi impor elpiji Indonesia? Apakah cukup signifikan akan mengurangi impor elpiji? Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia bahwa kuota elpiji bersubsidi terus meningkat dari tahun ke tahun lantaran konsumsi barang bersubsidi tersebut bersifat terbuka. Artinya, masyarakat yang sejatinya tergolong mampu (bukan keluarga miskin) bisa membeli barang tersebut.
Artinya, masyarakat yang sejatinya tergolong mampu bisa membeli barang tersebut.
Tak ada pengendalian atas barang bersubsidi ini. Ketika harga elpiji nonsubsidi naik, tak tertutup kemungkinan terjadi migrasi konsumen elpiji nonsubsidi ke elpiji bersubsidi lantaran barangnya yang bebas dibeli. Tulisan ”hanya untuk masyarakat miskin” pada badan tabung elpiji 3 kilogram tak menyurutkan siapa pun, termasuk masyarakat mampu, untuk membelinya.
Padahal, berdasarkan pengakuan pemerintah, pendistribusian elpiji bersubsidi yang tepat sasaran dapat menyelamatkan ”kebocoran” subsidi elpiji sebesar 30 persen dalam setahun (Kompas, 15/1/202). Selama ada dua harga berbeda untuk komoditas yang sama, apalagi ditambah dengan tidak adanya pengaturan pendistribusian, selama itu pula akan ada praktik penyelewengan barang bersubsidi. Sudah banyak kabar berita tentang pengoplosan elpiji bersubsidi yang dijual kembali dengan harga nonsubsidi.
Sayangnya, akar masalah tersebut justru dicarikan jalan keluar dengan membagi-bagikan rice cooker kepada masyarakat. Apakah pembagian alat bantuan tersebut dapat mengurangi konsumsi elpiji dan menurunkan impor elpiji Indonesia? Rasanya jauh panggang dari api. Alat semacam rice cooker hanya untuk menanak dan menghangatkan nasi, tak bisa untuk menggoreng atau memasak sayur, yang masih membutuhkan bahan bakar elpiji untuk pengolahannya.
Apakah pembagian alat bantuan tersebut dapat mengurangi konsumsi elpiji dan menurunkan impor elpiji Indonesia? Rasanya jauh panggang dari api.
Bagaimana dengan tujuan untuk meningkatkan konsumsi listrik per kapita? Apakah sudah dihitung dampak penggunaan rice cooker terhadap lonjakan konsumsi daya listrik rumah tangga? Konsumen tentu berhitung bahwa lonjakan konsumsi daya listrik sama dengan lonjakan pembayaran tagihan listrik, meski kategori tarif listrik bersubsidi sekalipun.
Insentif pemerintah berupa pembagian alat masak berbasis listrik sebenarnya baik. Sayangnya, itu bukan solusi permanen atas permasalahan yang ada, yakni ketergantungan tinggi Indonesia terhadap impor elpiji.
Begitu pula untuk menumbuhkan permintaan konsumsi daya listrik yang baru. Pasokan listrik berlimpah akibat ketidaksesuaian rencana pembangunan pembangkit listrik dengan konsumen selaku offtaker daya listrik. Membuka peluang baru bagi usaha mikro hingga menengah untuk bermunculan lewat pemberian insentif dari pemerintah, serta kemudahan perizinan berusaha, rasanya lebih realistis ketimbang bagi-bagi rice cooker.