Jakarta Berpotensi Kehilangan Rp 202 Miliar Per Bulan akibat Kebocoran Air
Potensi kehilangan pemasukan akibat kebocoran air yang mencapai Rp 202 miliar lebih besar dibandingkan anggaran yang dibutuhkan PAM Jaya untuk mengatasi masalah air bersih sebesar Rp 150 miliar.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah krisis air baku saat ini, masalah kebocoran air masih menjadi momok di DKI Jakarta yang berpotensi menyebabkan daerah kehilangan pemasukan Rp 202 miliar per bulan. Selain karena kebocoran teknis, seperti pipa yang bocor atau rusak, kehilangan air juga bisa disebabkan oleh sambungan ilegal yang berujung pada tindakan kriminal.
Sejak pertengahan September 2023, krisis air bersih akibat kemarau panjang melanda sejumlah wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kekurangan persediaan air bersih di perkotaan menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) masuk kategori bencana.
Perumda Air Minum (PAM) Jaya mencatat krisis air bersih pada 17 kelurahan di Jakarta meliputi daerah Penjaringan, Pejagalan, Pluit, Kapuk, Kalideres, Rawa Buaya, Pegadungan, Cengkareng Barat, dan Cengkareng Timur. Kemudian di Semanan, Duri Kosambi, Wijaya Kusuma, Jelambar Baru, Kapuk Muara, Tegal Alur, Kamal, dan Kamal Muara.
Krisis terjadi akibat kondisi iklim dan diperburuk dengan kebocoran pipa air yang menyalurkan air baku untuk penduduk Ibu Kota.
Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bidang Sumber Daya Air Firdaus Ali mencatat dalam dua dekade terakhir, rasio angka kebocoran atau kehilangan air selalu bertahan di kisaran 46-47 persen.
Dalam suatu produksi air yang dihasilkan oleh perusahaan pengelola air minum, kehilangan air merupakan volume air yang tidak tercatat dan yang tidak menjadi penghasilan. Definisi kehilangan air menurut Modul Air Tak Berekening adalah angka yang menunjukkan selisih antara volume penyediaan air dan volume air yang dikonsumsi.
Berdasarkan kalkulasi Firdaus, pada setiap persen rasio air baku yang hilang, ada potensi kehilangan pemasukan mencapai Rp 4,3 miliar per bulan. ”Jika dikalikan dengan 47 persen, potensi kerugian setiap bulan karena kebocoran pipa di area DKI Jakarta mencapai Rp 202 miliar,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (8/10/2023).
Potensi kerugian setiap bulan karena kebocoran pipa di area DKI Jakarta mencapai Rp 202 miliar. (Firdaus Ali)
Firdaus menambahkan, dari jumlah kebocoran tersebut tidak seluruhnya merupakan kebocoran teknis yang disebabkan kebocoran atau kerusakan pipa. Kebocoran teknis disebabkan mayoritas pipa jaringan distribusi air merupakan pipa-pipa lama. ”Bahkan, di Jakarta, masih ada pipa yang dipasang zaman Belanda,” ujarnya.
Selain itu, ada kebocoran administratif, yakni kebocoran yang tidak nyata, yang menyebabkan air tidak terukur dengan baik sehingga tidak menjadi pendapatan dari jasa penyediaan air. Penyebab kebocoran administratif bisa karena faktor kesalahan pembacaan meteran air hingga adanya sambungan ilegal jaringan air.
”Pelakunya bisa perseorangan hingga korporasi besar,” kata Firdaus.
Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta mencatat, cakupan layanan air bersih di Jakarta yang telah terpasang mencapai 915.402 sambungan atau 65,6 persen dari target cakupan hingga 2023. Namun, menurut Firdaus, persentase cakupan layanan sebesar 65,66 persen yang diklaim PAM Jaya bukanlah nilai cakupan sebenarnya.
”Kalau kami lakukan penghitungan, cakupan 65 persen itu harusnya menggunakan variabel jumlah penduduk sebenarnya dikurangi dengan kebocoran pipa air. Jadi, cakupan layanan Palyja dan lain-lain itu hanya sekitar 30 persen. Masih jauh sekali dari target,” ujarnya.
Selain masalah kebocoran, minimnya fasilitas pengolahan sumber air baku membuat pasokan air di Jakarta terganggu. Adapun sumber air baku Jakarta mayoritas dipasok dari luar Jakarta, yaitu 96 persen dari Waduk Jatiluhur, 6 persen dari kali di Jakarta, dan 12 persen dari Tirta Kerta Raharja Tangerang.
Potensi kehilangan pemasukan akibat kebocoran air lebih besar dibandingkan anggaran yang dibutuhkan PAM Jaya untuk mengatasi masalah air bersih.
Diberitakan sebelumnya, berbagai upaya dilakukan untuk menekan krisis air bersih di 17 kelurahan Jakarta oleh PAM Jaya. Di antaranya pemerataan distribusi air ke wilayah terdampak dan menyiagakan sejumlah tangki air.
Akan tetapi, PAM Jaya belum bisa memastikan kapan krisis air bersih di 17 kelurahan DKI Jakarta tersebut berakhir. Pihaknya membutuhkan anggaran Rp 150 miliar untuk mengatasi masalah krisis air bersih pada instalasi pengolahan air (IPA) hutan kota sebagai salah satu sumber yang menyalurkan air bersih di Jakarta.
Hal tersebut dikatakan Direktur Utama Perumda PAM Jaya Arief Nasruddin. Menurut dia, level total dissolved solid (TDS) atau zat padat terlarut pada waduk hutan kota tengah mencapai level yang tinggi. Oleh karena itu, air bersih tidak tersalurkan dengan baik.
”TDS di IPA hutan kota saat ini kadarnya tinggi. Sangat disayangkan saat pembangunan hutan kota, teknologinya tidak menggunakan sea water reverse osmosis (SWRO),” ujar Arief saat ditemui di Jakarta Utara, Rabu (4/10/2023).
SWRO adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengolah air laut menjadi air tawar. Metode ini dapat menghilangkan lebih dari 98 persen senyawa garam. Sementara itu, level TDS di IPA hutan kota saat ini berada pada level 2.000. Angka ini harus diturunkan ke level 200 untuk memperoleh air bersih.
Pihaknya saat ini tengah memperbaiki teknologi di IPA hutan kota untuk mencapai jumlah tersebut. Arief mengatakan masih perlu berdiskusi terlebih dahulu bersama dengan BUMD DKI Jakarta Propertindo (Jakpro) sebagai pengelola fasilitas tersebut.
”Kami sedang membahas ini bersama Jakpro untuk sama-sama memperbaikinya agar tidak ada kesalahan. Sebab, nilai investasinya juga tidak kecil,” katanya.