Sumber Air Baku Minim dan Pipa Bocor, Biang Kerok Krisis Air Bersih Jakarta
Di barat dan utara Jakarta, warga menunggu puluhan tahun untuk mendapatkan akses air bersih. Krisis ini dipicu berbagai hal, seperti kebocoran pipa dan minimnya sumber air baku.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Krisis air bersih masih dirasakan sebagian warga Jakarta, khususnya di bagian barat dan utara. Hal ini dipicu berbagai hal, seperti kebocoran pipa dan minimnya sumber air baku untuk diolah menjadi air bersih.
Di kawasan Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, masih banyak warga yang harus menggunakan air tanah atau sumur untuk kebutuhan sehari-hari. Warga menanti Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya membangun pipa air agar warga mendapatkan air yang layak pakai.
Ketua RW 002 Semanan, Didin Arnadi (43), mengaku sudah tiga kali disambangi pihak PAM Jaya yang menyebut akan ada pemasangan pipa air bersih di daerahnya. Namun, hal tersebut tak menghasilkan apa-apa.
”Kami dukung kalau ada pembangunan pipa di sini. Warga juga setuju kalau ada pipa PAM karena kualitas air tanah, kan, kadang bagus kadang jelek. Kalau ada air PAM, kualitasnya bisa terjamin,” ucapnya pada Jumat (4/11/2022).
Meskipun begitu, Didin mengingatkan agar pemasangan pipa diiringi dengan pasokan air yang stabil. Saat ini di RW 002 ada empat RT (005, 009, 010, 011) yang sudah tersambung jaringan pipa air milik PAM Jaya. Namun, debit air yang mengalir masih sangat minim.
”Lihat di empat RT itu, sudah pasang pipa pun, airnya masih jarang ada. Di sini hampir 90 persen warganya pakai air tanah,” ujarnya.
Hal senada diutarakan oleh Daniarto (40), warga RT 005 Semanan, Kalideres, Jakarta Barat. Semula, ia menggunakan pasokan pipa air dari PAM Jaya. Namun, pada tahun 2019, ia memutuskan untuk menggunakan air tanah.
Warga sudah pasang air pipa dari PAM, tapi debit airnya tidak normal dan jarang sampai ke rumah warga.
Air tanah yang didapat Daniarto bukan dari sumur miliknya. Ia memasang pipa atau selang dari pemilik rumah yang memiliki sumur dengan kandungan air tanah banyak.
”Saya dulu pakai air dari PAM Jaya, tapi saya sampai harus begadang untuk nunggu kapan airnya ada, biasanya malam hari pukul dua belas atau satu malam baru ada, kadang juga tidak. Kalau dari air tanah lebih enak karena dijadwal sama yang punya,” ungkapnya.
Tidak hanya di Jakarta Barat, krisis air bersih juga terjadi di Jakarta Utara, tepatnya di Muara Angke, Penjaringan. Kasniah (52), warga Blok Empang sekaligus pemilik warung makanan dan minuman, mengatakan, sejak pindah tahun 2004, sudah merasakan sulitnya dapat air bersih.
Giarto (61), warga Muara Angke, Jakarta Utara, juga dibelit masalah air bersih sejak dirinya menetap tahun 2003 hingga saat ini (Kompas.id/16/09/2022).
Kompas sudah menghubungi Direktur Utama PAM Jaya Arief Nasrudin untuk bertanya mengenai masih minimnya pipanisasi di kawasan Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Namun, yang bersangkutan berhalangan karena tengah melakukan rapat anggaran dengan DPRD DKI Jakarta.
Kebocoran pipa
Berdasarkan Laporan Kinerja Operator Air Minum Jakarta Semester I (Januari-Juni) 2022, Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta mencatat, cakupan layanan air bersih di Jakarta yang telah terpasang mencapai 915.402 sambungan atau 65,6 persen dari target cakupan hingga 2023. Laporan yang merupakan hasil kinerja dua operator penyedia layanan air bersih di Jakarta, yaitu Palyja dan Aetra, itu juga mencatat tingkat kehilangan air sebesar 46,34 persen.
Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Bidang Manajemen Sumber Daya Air Firdaus Ali menjelaskan, rendahnya cakupan layanan air bersih di Jakarta diakibatkan tingginya tingkat kebocoran pipa. Ia pun menilai, persentase cakupan layanan sebesar 65,66 persen yang diklaim PAM Jaya bukanlah nilai cakupan sebenarnya.
”Kalau kami lakukan perhitungan, cakupan 65 persen itu harusnya dikurangi dengan kebocoran pipa air. Jadi, cakupan layanan Palyja dan lain-lain itu hanya sekitar 34 persenan saja, masih jauh sekali dari target,” ujarnya.
Ia sekaligus mengkritik kinerja Palyja dan Aetra yang tidak mampu mengurangi tingkat kebocoran pipa air dengan optimal. Ia menyebut keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengakhiri kerja sama dengan keduanya pada Februari 2023 sebagai hal yang tepat.
Cakupan layanan PAM hanya 65 persen, tapi kebocorannya sampai 34 persen. Ini berarti cakupan layanan dari PAM tidak lebih dari 50 persen.
Selain masalah kebocoran, minimnya fasilitas pengolahan sumber air baku membuat pasokan air di Jakarta terganggu. Adapun sumber air baku Jakarta mayoritas dipasok dari luar Jakarta, yaitu 96 persen dari Waduk Jatiluhur, 6 persen dari kali di Jakarta, dan 12 persen dari Tirta Kerta Raharja Tangerang.
Peneliti di Indonesian Water Institute, Marsya Dyasthi Putri, menyebutkan, jarak antara kebutuhan dan pasokan air di Jakarta masih cukup lebar. Dari catatan Indonesian Water Institute, kebutuhan air Jakarta pada 2022 sebesar 29.098 liter per detik, tetapi pasokannya hanya 20.082 liter per detik.
”Untuk memenuhi kebutuhan warga Jakarta, Kementerian PUPR sedang membangun Sistem Pengolahan Air Minum Jatiluhur I dan II dan SPAM Karian-Serpong,” ujarnya.
Ia menyebut, pembangunan SPAM ini juga untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan air warga Jakarta yang diprediksi naik menjadi 31.875 liter per detik pada tahun 2030.