Penyediaan Air Minum Perpipaan dan Sengketa Lahan
Layanan air bersih perpipaan di lahan sengketa tidak mudah diwujudkan. Perlu terobosan agar warga yang hidup di area itu tidak menjadi sasaran eksploitasi mafia pencuri air.
Sebagian warga Jakarta hidup di kawasan-kawasan kumuh. Meskipun mereka memiliki kartu tanda penduduk sebagai warga Ibu kota, mereka belum banyak mendapatkan layanan air perpipaan. Persoalan ini kemudian diulas harian Kompas melalui liputan investigasi pada 11 Juni 2021.
Ulasan itu termuat dalam lima konten di produk cetak dan 11 konten di produk digital melalui kompas.id. Ulasan ini mengundang respons sejumlah pihak, termasuk dari Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta (PAM JAYA). Direktur Utama PAM JAYA P Bambang Hernowo menjelaskan, persoalan itu melalui petikan wawancara dengan Kompas awal Juli 2021. Berikut ini respons Bambang Hernowo yang dibuat dalam bentuk tanya jawab.
Mengapa penyediaan air perpipaan di lahan-lahan sengketa di Jakarta terkendala?
Sengketa lahan, seperti yang disampaikan Wakil Gubernur DKI Jakarta dalam wawancara dengan media: ”Banyak sekali masalah sengketa tanah lahan dan mafia-mafia tanah. Kami sendiri terkait penanganan banjir, termasuk yang menjadi lambat terkait pembebasan lahan untuk normalisasi.” Sengketa tanah berakibat program penanganan banjir tidak berjalan sesuai dengan rencana.
Baca juga : Mafia Air Eksploitasi Warga Miskin
Hal lain yang tidak banyak diketahui, sengketa lahan antarpenduduk dan penduduk dengan korporasi menghambat dalam penyediaan air minum perpipaan sebagai upaya menyediakan hak rakyat atas air. Kutipan dari Kompas, 11 Juni 2021, dituliskan bahwa pemukim di area dengan lahan sengketa tak bisa menjadi pelanggan PAM karena terganjal syarat Pajak Bumi dan Bangunan.
Ini adalah turunan dari Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum di Wilayah DKI Jakarta (”Perda No 11/1993”), Pasal 5 ”Setiap persil hanya diperkenankan mendapat 1 (satu) sambungan air minum, kecuali dengan persetujuan tertulis dari Direksi PAM JAYA”. Basis layanan air minum perpipaan adalah persil (sebidang tanah yang dimiliki/dikuasai oleh perseorangan/korporasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan).
Bukankah hak mendapat air dan sanitasi merupakan hak asasi manusia, bagaimana Bapak memandang persoalan ini?
Resolusi 64/292 Majelis Umum PBB pada 28 Juli 2010 secara eksplisit mengakui bahwa hak atas air dan sanitasi yang bersih sangat penting untuk mewujudkan semua hak asasi manusia (HAM). Resolusi menyerukan kepada negara dan organisasi internasional untuk tiga hal. Pertama, menyediakan sumber daya keuangan. Kedua, membantu pengembangan kapasitas dan transfer teknologi untuk membantu negara-negara, khususnya negara berkembang. Ketiga, untuk menyediakan air minum dan sanitasi yang aman, bersih, dapat diakses dan terjangkau untuk semua.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air Pasal 6 pun mengamanatkan pemenuhan hak rakyat atas air: Negara menjamin hak rakyat atas air guna memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari bagi kehidupan yang sehat dan bersih dengan jumlah yang cukup, kualitas yang baik, aman, terjaga keberlangsungannya dan terjangkau.
Baca juga : Sindikat Pencuri Air Eksploitasi Warga Miskin Jakarta
Persoalan diperumit dengan ketersediaan pasokan air minum perpipaan yang terbatas, sementara kebutuhan pasokan melebihi dari ketersediaan yang ada. Sebagai hukum ekonomi yang jamak, ketika demand lebih besar daripada supply yang terjadi adalah kebebasan pasar dan dominasi pemilik akses.
Pelaku-pelaku pemenuhan demand dengan menggunakan akses illegal terjadi melalui kerja sama pemilik akses atau pengetahuan terhadap jaringan, local leader dan permisifnya komunitas—bersama memenuhi kebutuhan walaupun dengan cara ilegal. Terlebih risiko keselamatan yang rendah—kemungkinan hanya basah saat pemasangan—dan teknologi pemasangan yang sederhana dan mudah menjadikan kesempatan menjadi kenyataan.
Bagaimana upaya PAM Jaya menjangkau layanan warga di wilayah bersengketa di Jakarta?
Pemenuhan terhadap aturan sambungan kepelangganan dan memenuhi hak rakyat air dilakukan oleh PAM Jaya dengan menggunakan pendekatan sementara melalui skema kios air dan master meter. Kios air melalui penyediaan tandon air di area penduduk yang belum mendapatkan akses jaringan perpipaan dan atau yang di lahan sengketa.
Tandon diisi secara rutin dengan menggunakan mobil tanki. Pengelola kios air kemudian mendistribusikan kepada warga dengan menggunakan jerry can. Tidak efektif dan tidak efisien, tetapi ini sebagai pemenuhan kewajiban untuk memberikan akses air minum. Bulan Mei 2021 terdapat 150 kios air yang dioperasikan PAM Jaya dan operatornya.
Baca juga : Harga Bintang Lima untuk Kaum Papa
Master meter adalah dengan menggunakan meter induk yang ditempatkan di lahan tanpa sengketa. Jaringan perpipaan dibangun dari meter induk untuk melayani warga ber-KTP DKI yang tinggal di lahan sengketa. Pengelolaan dilakukan oleh lembaga/individu yang ditunjuk oleh komunitas untuk mengelola. Bulan Mei 2021 terdapat 65 master meter. Penentuan tarif di sisi pelanggan akhir/warga sangat ditentukan oleh pengelola, posisi tawar pengelola lebih dominan daripada warga, akibatnya di beberapa master meter disparitas harga menjadi sangat tinggi.
Sebagai sebuah layanan antara pendekatan dengan menggunakan kios air dan master meter saat ini belum memenuhi kebutuhan dari warga, terutama yang tidak dapat mendapatkan sambungan langsung akibat lahan yang ditempati dalam status sengketa.
Apa saja terobosan yang disiapkan agar layanan warga miskin di lahan-lahan sengketa ini dapat segera diwujudkan?
Pemenuhan akses layanan air minum perpipaan, terutama untuk warga yang tinggal di lahan sengketa, memerlukan terobosan aturan. Gubernur Kepala Daerah menetapkan tata cara dan persyaratan penyambungan dan pemakaian air minum di wilayah DKI Jakarta sebagai turunan dari Perda No 13/1993. Terbitlah Peraturan Gubernur No 16 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penyambungan dan Pemakaian Air Minum (Pergub No 16/2020).
Pergub No 16/2020 ini mengatur, salah satunya, Tata Cara Penyambungan dan Pemakaian Air Minum secara Khusus, dimana dilakukan dengan cara Sambungan Langsung secara Khusus, Master Meter dan Kios Air. Penyediaan air minum secara khusus ini bersifat sementara, tidak terkait dengan legalitas bukti kepemilikan atau penguasaan atas tanah dan bukan sebagai bukti pengakuan atas legalitas kepemilikan atau penguasaan atas tanah.
Baca juga : Kongsi Jahat Mafia Air di Lahan Tak Bertuan
Bagaimana dengan persoalan administrasi bagi warga yang tinggal di lahan-lahan sengketa itu?
Penyedia layanan air minum perpipaan memiliki landasan untuk dapat melakukan sambungan langsung khusus kepada warga yang tinggal di lahan sengketa, dan tidak terjebak dalam sengketa kepemilikan/penguasaan lahan yang ditinggali oleh warga. Warga ber-KTP mendapatkan akses layanan air minum perpipaan, tentunya dengan syarat teknis pelayanan terpenuhi. Syarat teknis dalam hal ini adalah ketersediaan pasokan air dengan tekanan yang dipersyaratkan.
Pergub No 16/2020 ini memungkinkan warga di lahan sengketa untuk mendapatkan sambungan langung secara khusus. Menyebutkan beberapa contoh yang saat ini sedang dalam pemasangan jaringan adalah di Tanah Merah di Jakarta Utara dan dalam perencanaan di Kapuk Muara. Persoalan administrasi ke pelangganan di lahan sengketa terselesaikan dengan Pergub No 16/2020.
Lahan sengketa tidak memberikan kesempatan lagi kepada ”mafia air” mengeksploitasi warga miskin di lahan sengketa. Ikutannya adalah water saving dari kegiatan ilegal dapat menambah pasokan kepada warga dan didistribusikan secara sah.
Apakah payung hukum itu dapat menjadi landasan untuk memastikan warga mendapatkan layanan air perpipaan?
Satu soal administrasi kepelangganan terkait dengan kepemilikan lahan dalam penyediaan akses air minum perpipaan terselesaikan. Hal ini belum menjamin warga akan mendapatkan akses air minum perpipaan, soal kecukupan pasokan untuk memastikan penuntasan memberikan hak rakyat air menjadi tantangan yang harus diselesaikan. Dibutuhkan tambahan pasokan sebesar 13.000 liter per detik dan menurunkan tingkat kehilangan air sebesar 18 persen adalah peta jalan untuk memberikan akses 100 persen kepada warga DKI Jakarta.
Berapa besar nilai investasi yang dibutuhkan untuk mewujudkan peta jalan ke arah sana?
Peta jalan ini membutuhkan investasi lebih dari Rp 27 triliun. Tekanan lebih besar terkait dengan investasi pada saat pandemi. Kapasitas fiskal APBD DKI Jakarta mengalami penurunan berarti dalam dua tahun terakhir. Alokasi investasi jaringan sebagai bagian dari penambahan pasokan tidak bisa dijamin dari APBD DKI secara penuh. Skema pembiayaan yang tidak memberatkan pelanggan akhir menjadi tantangan. Hak rakyat atas air tidak cukup dengan terobosan aturan, sumber daya keuangan harus disediakan dengan tetap berpegang pada keterjangkauan.