Dana Rp 23,8 Triliun Diperlukan untuk Memenuhi Cakupan Air Bersih 100 Persen di Jakarta
PAM Jaya membutuhkan Rp 23,8 triliun untuk memenuhi 100 persen cakupan air di Jakarta. Dalam hal ini, PAM Jaya akan bekerja sama dengan beberapa pihak, termasuk swasta.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah kontrak kerja sama dengan PT Aetra dan PT PAM Lyonnaise Jaya atau Palyja habis, pengelolaan air di Jakarta sepenuhnya dilakukan oleh Perusahaan Umum Daerah Air Minum Jaya atau Perumda PAM Jaya. Untuk mengejar cakupan pemenuhan air bersih 100 persen di Jakarta, PAM Jaya memerlukan anggaran Rp 23,8 triliun.
PAM Jaya resmi mengoperasikan 100 persen pengelolaan air di Jakarta pada Kamis (2/2/2023). Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono bersama Wali Kota Jakarta Timur Muhammad Anwar turut menghadiri pengoperasian hari pertama di Instalasi Pengolahan Air (IPA) Buaran, Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur.
Dalam kesempatan kali ini, Heru memberikan dukungan kepada PAM Jaya yang mengambil alih sepenuhnya pengelolaan air di Jakarta dari PT Aetra di wilayah timur dan PT Palyja di wilayah barat. Pengambilalihan dan pengoperasian ini bertujuan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat terkait ketersediaan air bersih.
”Saya memastikan operasional tetap berjalan dan pelayanan tidak terganggu. Selain itu, pelayanan air baku juga akan ditingkatkan,” katanya.
Sebelumnya, PAM Jaya telah menandatangani berita acara serah terima aset dari Aetra dan Palyja pada Rabu (1/2/2023). Kontrak dengan dua perusahaan ini berakhir pada 31 Januari 2023 setelah 25 tahun menjadi mitra dalam pengelolaan air di Jakarta. Aset Palyja dan Aetra diambil alih oleh PAM Jaya, termasuk merekrut ulang semua karyawannya.
Hingga kini, cakupan air baku bersih yang layak minum di Jakarta baru 65,8 persen. PAM Jaya menargetkan 100 persen cakupan pada 2030. Direktur PAM Jaya Arief Nasrudin mengatakan, untuk mencapai target ini, PAM Jaya telah memiliki dokumen rencana kerja atau roadmap.
”Kami akan bekerja sama dengan Kementerian Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang menyediakan sumber air bakunya dari Jatiluhur. Selain itu, IPA Buaran 3 juga akan dibangun di dekat sini,” katanya.
Untuk mencapai target 2030, PAM Jaya akan memasang 1,1 juta pipa baru. Secara bertahap, PAM Jaya akan menambah 4.500 kilometer pipa pada 2024. Arief mengatakan, dibutuhkan dana sekitar Rp 23,8 triliun untuk memenuhi cakupan 100 persen.
”Kami ada skema kerja sama public private partnership dengan swasta karena saat ini tidak mungkin hanya menggunakan dana dari penyertaan modal daerah (PMD) karena angkanya cukup besar. Inovasi ini kami lakukan juga berdasarkan nota kesepahaman dengan Kementerian PUPR, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,” kata Arief.
Arief menjelaskan, bentuk kerja sama ini dengan cara optimalisasi aset yang sudah ada untuk membiayai aset-aset baru. Dalam hal ini, PAM Jaya bekerja sama dengan PT Moya Indonesia dengan sistem bundling atau gabungan. Moya mengelola enam dari 13 IPA yang saat ini menyuplai air bersih di Jakarta. Air curah yang telah dikelola ini kemudian dibeli oleh PAM Jaya.
Kami ada skema kerja sama public private partnership dengan swasta karena saat ini tidak mungkin hanya menggunakan dana dari penyertaan modal daerah karena angkanya cukup besar. Inovasi ini kami lakukan juga berdasarkan nota kesepahaman dengan Kementerian PUPR, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. (Arief Nasrudin)
Direktur Pelayanan PAM Jaya Syahrul Hasan menjelaskan, Moya juga akan membangun IPA Buaran 3 dengan kapasitas 2.000 liter per detik. ”Moya akan membangun dan mengoperasikannya,” katanya.
Sebelumnya, Arief mengatakan, kerja sama dengan Moya ini bukanlah bentuk swastanisasi seperti Aetra dan Palyja yang mengelola air di Jakarta dari hulu ke hilir selama dua setengah dekade. Peran Moya yaitu membangun pipa dan jaringan pipanya.
”Peran pelayanan dan pengontrolan kualitas air ada di PAM Jaya,” katanya.
Dosen Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Marwa, menjelaskan, masih ada unsur swastanisasi dalam pengelolaan air di Jakarta. Poin krusial dalam swastanisasi adalah keterlibatan aktor swasta dalam penyediaan air baik dari proses persiapan infrastruktur, produksi, maupun distribusi.
”Pemerintah memberi jaminan kepada pelaku usaha atau investor kalau modal mereka akan kembali jika terlibat dalam penyediaan air ini. Dalam hal ini, masyarakat membayar air tidak hanya untuk akses mereka terhadap air, tetapi juga mengembalikan modal para investor,” kata kandidat Doktor Human Geography University of Cambridge ini.
Imbas buruk dari swastanisasi salah satunya adalah cakupan layanan air perpipaan yang masih 65 persen di Jakarta. Marwa menilai, ini merupakan salah satu bentuk ketidakefektifan pengelolaan swasta pada air yang merupakan barang publik.
”Momen ini seharusnya menjadi bahan refleksi untuk kita sejauh apa peran negara dalam menjamin dan memenuhi akses air masyarakat, atau bahkan negara hanya sekedar mencari keuntungan,” tuturnya.