68 Persen Pendapatan Daerah Masih Digelontor Pusat
Meski Indonesia sudah dua dekade menjalankan sistem desentralisasi, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk mendorong kemandirian fiskal daerah serta mendorong efektivitas belanja daerah.
Oleh
AGNES THEODORA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Ketergantungan pemerintah daerah terhadap suntikan dana dari pemerintah pusat masih tinggi. Sebanyak 68 persen dari total pendapatan daerah masih bersumber dari dana transfer ke daerah atau TKD. Diperlukan opsi pembiayaan alternatif yang kreatif untuk membuka akses pembiayaan dan mendorong kemandirian fiskal daerah.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, meski Indonesia sudah dua dekade menjalankan sistem desentralisasi, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk mendorong kemandirian fiskal daerah serta mendorong efektivitas belanja daerah.
Dari tahun ke tahun, alokasi transfer ke daerah (TKD) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus mengalami kenaikan. Untuk tahun 2024, anggaran TKD meningkat menjadi Rp 857,6 triliun, tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Alokasi itu meningkat 3,9 persen daripada tahun 2023 dan naik 49 persen dibandingkan dengan tahun 2014.
Porsi terbesar adalah dana alokasi umum (DAU) yang jumlahnya dalam APBN 2024 mencapai Rp 427,7 triliun atau 49 persen dari total anggaran TKD. Pagu DAU juga mengalami penambahan terbesar secara tahunan di antara pagu dana perimbangan lainnya, yakni Rp 31,7 triliun. Alokasi DAU terdiri dari dana yang peruntukannya telah ditentukan khusus (earmark) Rp 84,2 triliun, dan yang tidak ditentukan penggunaannya Rp 343,5 triliun.
Luky mengatakan, kemandirian fiskal daerah sampai sekarang masih jadi tantangan. Per tahun 2023, sebanyak 68 persen pendapatan daerah masih bersumber dari suntikan dana pemerintah pusat. Pendapatan asli daerah (PAD) belum semuanya teroptimalisasi dengan baik, sementara penyaluran TKD terus meningkat.
“Ini menunjukkan ketergantungan yang masih tinggi. Tentu kita berharap daerah bisa lebih independen dalam pengelolaan fiskalnya, baik lewat memaksimalkan pungutan pajak dan retribusi daerah atau menggali opsi-opsi pembiayaan alternatif,” katanya dalam acara Seminar Internasional Desentralisasi Fiskal di Kementerian Keuangan, Selasa (3/10/2023).
Meski demikian, kinerja pajak dan retribusi daerah pelan-pelan mulai membaik. Kemenkeu mencatat, sampai Agustus 2023, pungutan pajak daerah meningkat 6,6 persen secara tahunan yaitu mencapai Rp 154,05 triliun, sedangkan pungutan retribusi daerah meningkat 4,23 persen secara tahunan yakni menjadi Rp 5,16 triliun.
Seiring dengan aktivitas ekonomi yang membaik pasca-pandemi, pajak yang bersifat konsumtif seperti pajak hotel, pajak hiburan, pajak restoran, dan pajak parkir, menjadi penyumbang terbesar PAD sampai Agustus 2023. Ada lima provinsi yang pertumbuhan pajak daerahnya tertinggi, yaitu Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, dan DKI Jakarta.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, secara umum, tingkat pemungutan pajak dan retribusi daerah masih tergolong rendah. Namun, solusinya bukan dengan menaikkan tarif pajak dan retribusi di daerah, melainkan memperbaiki administrasi perpajakan agar lebih efisien dan modern.
“Perbaikan administrasi perpajakan ini bisa dilakukan tanpa harus meningkatkan beban kepada dunia usaha di daerah,” katanya.
Jangan dipukul rata
Luky mengatakan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) sebenarnya disusun untuk mendorong kemandirian fiskal pemerintah daerah dan mengurangi ketergantungan daerah terhadap suntikan dana transfer dari pusat.
Namun, ia mengakui, berhubung UU tersebut baru berlaku, penerapannya belum optimal. “Bahkan, ada kritik bahwa UU ini justru lebih mendorong resentralisasi ketimbang desentralisasi karena alokasi dana perimbangan banyak yang di-earmark. Ada juga yang mengkritisi pengaturan yang terlalu ketat khususnya untuk pungutan pajak daerah,” ujarnya.
Minimnya kemandirian fiskal daerah itu juga disoroti oleh Ekonom Senior Bank Dunia di Bidang Sektor Publik, Jurgen Rene Blum. Menurut dia, kebijakan earmarking tidak bisa dipukul rata kepada semua daerah. Sesuai semangat desentralisasi, pemerintah pusat perlu memberikan diskresi ruang fiskal kepada daerah untuk mengelola alokasi belanja mereka sesuai kebutuhan.
Otonomi belanja itu akan mendorong perbaikan kualitas pengeluaran daerah sekaligus mendorong kemandirian fiskal. “Otonomi dalam belanja itu cukup diberikan ke daerah yang terbukti mampu melakukan belanja berkualitas. Earmark anggaran tentu tetap diperlukan, tetapi sebaiknya lebih difokuskan ke daerah yang performanya masih buruk,” kata Jurgen.
Senada, Penasihat Senior Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) Sean Dougherty menilai, ketimbang sekadar memberikan transfer dana dan “template” penugasan belanja yang ditentukan dari pusat, daerah perlu diberi kebebasan untuk membuat keputusan sendiri dalam membelanjakan anggaran perimbangannya.
Dukungan anggaran yang kuat dari pusat sebaiknya cukup dibatasi pada kondisi khusus, seperti saat krisis pandemi Covid-19. Seiring dengan perbaikan kondisi ekonomi akhir-akhir ini, daerah seharusnya bisa didorong untuk lebih mandiri memenuhi kebutuhan fiskalnya.
“Kunci desentralisasi fiskal itu adalah pemberian otonomi fiskal ke daerah, bukan sekadar diasupi transfer dana dari pusat. Selain itu, seharusnya pemerintah daerah lebih memahami kebutuhan warganya,” ujarnya.