UU HKPD Disahkan, Pemerintah Optimistis Desentralisasi Fiskal Makin Optimal
Kesepakatan telah terjalin antara pihak eksekutif dan legislatif dalam penetapan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) dapat mengoptimalkan pengelolaan keuangan daerah.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) menerima daftar investarisasi masalah (DIM) RUU HKPD dari Ketua Komite IV DPD RI Sukiryanto (kiri) disaksikan Ketua Komisi XI DPR RI Dito Ganinduto (kanan) dalam rapat kerja di Kompleks Parlemen MPR/DPR-DPD, Senayan, Jakarta, Senin (20/9/2021). Rapat kerja tersebut mengagendakan penyerahan Daftar Investarisasi Masalah (DIM) RUU tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
JAKARTA, KOMPAS — Struktur aturan dalam undang-undang tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dinilai dapat semakin mengoptimalkan desentralisasi fiskal. Di sisi lain, payung hukum ini diyakini mampu mendongkrak pendapatan daerah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa pemerintah telah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan desentralisasi fiskal sejauh ini. Dalam temuan Kementerian Keuangan, masih banyak pengelolaan keuangan daerah yang belum optimal dan memerlukan perbaikan secara menyeluruh.
Menurut dia, terdapat peningkatan alokasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) dari Rp 523 triliun pada 2013 menjadi Rp 795 triliun pada 2021. Namun, dana itu belum dimanfaatkan secara optimal oleh daerah.
Pemanfaatan DAU belum optimal, terlihat dari 64,8 persen alokasi anggaran yang digunakan untuk belanja pegawai. (Sri Mulyani Indrawati)
”Hal ini dapat dilihat dari pemanfaatan dana alokasi umum (DAU) yang masih didominasi belanja pegawai sebesar 64,8 persen,” ujar Sri Mulyani dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Selasa (7/12/2021).
Ia menyayangkan hal tersebut karena dari tahun ke tahun nilai transfer ke daerah selalu meningkat signifikan. Padahal, alokasi dana tersebut bisa difokuskan untuk belanja yang produktif seperti belanja modal.
Selain itu, menurut Sri Mulyani, pemberian honorarium bagi aparatur sipil negara (ASN) di daerah juga bervariasi, dari Rp 325.000 hingga ada yang sampai Rp 25 juta. Besaran uang harian perjalanan dinas ini secara rata-rata 50 persen lebih tinggi dari aparat pemerintah pusat sehingga perlu dilakukan standardisasi agar belanja daerah bisa lebih efisien.
Selain menyoroti besarnya anggaran belanja pegawai, Sri Mulyani menyoroti belanja daerah juga masih belum fokus. Ia mengungkapkan, terdapat 29.623 jenis program dan 263.135 jenis kegiatan yang didanai anggaran daerah.
”Program dan kegiatan yang terlalu banyak ini umumnya sangat kecil-kecil sehingga dampaknya sangat minim atau bahkan tidak dirasakan,” kata Sri Mulyani.
Dongkrak pendapatan
Rapat paripurna DPR RI telah menyetujui Rancangan Undang-undang Harmonisasi Keuangan Pusat Daerah (HKPD) menjadi undang-undang. Payung hukum ini mengganti UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Undang-undang ini digadang-gadang bisa menjadi landasan hukum untuk mendorong upaya pengalokasian sumber daya nasional yang efektif dan efisien melalui hubungan keuangan pusat dan daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Sri Mulyani mengatakan UU HKPD akan memperkuat capaian pendapatan daerah melalui penyesuaian aturan pajak dan retribusi. Pemerintah daerah akan mendapatkan tambahan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) tingkat kabupaten yang diproyeksi bisa meningkat 50 persen dari Rp 61,2 triliun tahun ini menjadi Rp 91,2 triliun.
DOKUMENTASI KEMENDAGRI
Persentase realisasi belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) kabupaten/kota tahun anggaran 2020-2021. Sebanyak 15 daerah yang mencapai realisasi belanja tertinggi diapresiasi Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Meski terjadi pemangkasan jenis pajak daerah dalam UU HKPD, Sri Mulyani memastikan payung hukum baru tidak akan menurunkan pendapatan pajak. Adapun sesuai klausul dalam undang-undang, jenis pajak daerah akan diturunkan dari 16 jenis menjadi 14 jenis. Adapun jumlah retribusi daerah turun dari 32 jenis menjadi 18 jenis.
Anggota Komisi IX DPR RI, Ela Siti Nuryamah, menilai UU HKPD diperlukan sebagai payung hukum yang berorientasi kepada kinerja dan kapasitas daerah dalam meningkatkan pelayanan publik. Desain UU HKPD tidak hanya menyentuh alokasi fiskal, tetapi juga memperkuat belanja daerah agar efisien, fokus, dan memiliki sinergi dengan belanja pemerintah pusat.
”Patut dipahami bersama bahwa kebijakan yang diusung dalam UU HKPD ini merupakan ikhtiar bersama dalam peningkatan kualitas pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia,” katanya.
Ela menambahkan dalam UU yang baru ditetapkan ini, penataan rasio pajak daerah dilakukan melalui penyederhanaan jenis pajak dan retribusi yang disetor daerah.
Selain itu dilakukan pengurangan biaya pemungutan pajak yang harus ditanggung daerah sehingga meningkatkan kualitas pendapatan daerah dari sektor pajak itu sendiri.