Pengaturan, demi Memasyhurkan Labuan Bajo
Pamor Labuan Bajo di Kecamatan Komodo, NTT, makin meroket setelah KTT G20 serta KTT ASEAN dihelat di sana. Pengaturan kawasan konservasi dan wisata massal perlu dilakukan, juga dukungan pada investor lokal.
Labuan Bajo telah menjadi destinasi baru yang memikat tidak hanya wisatawan mancanegara, tetapi akhir-akhir ini dipenuhi oleh wisatawan domestik. Pembangunan meningkat pesat, anak-anak muda pun pulang kampung untuk membangun wisatanya.
Namun, pengaturan kawasan konservasi dengan membangun destinasi baru yang lebih ”massal” perlu dilakukan agar tujuan wisata selaras dengan upaya konservasi. Selain itu, dukungan pada investor lokal perlu dikuatkan.
Pamor Labuhan Bajo di Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, meroket setelah Konferensi Tingkat Tinggi G20 serta KTT ASEAN dihelat di sana pada November 2022 dan Mei 2023.
Para pelaku pariwisata di Labuhan Bajo pun bergiat untuk menyambut kedatangan para tamu, termasuk anak-anak mudanya. Mereka berjaga di Bandara Komodo dan dengan ramah menawarkan jasanya menjadi pemandu wisata. Mereka fasih berbahasa Inggris, lengkap dengan aksen daerahnya.
Adalah Syahbudin Revan (27) dan Rasidin yang akrab dipanggil Jigis (27), dua kawan yang berprofesi sebagai pemandu perjalanan wisata. Sebelum menjadi pemandu profesional di Labuhan Bajo, keduanya menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pariwisata di Labuan Bajo. Setelah itu, mereka mencari pengalaman kerja di Bali dan Lombok.
Setelah merasa cukup menimba ilmu di tanah rantau, mereka pun pulang kampung. ”Kalau sudah ’tertampar’ (banyak pengalaman), jangan lupa kembali ke tempat asal,” ujar Jigis di Labuan Bajo, Minggu (10/9/2023).
Baca juga: Tersihir Keindahan Labuan Bajo
Keduanya pulang ke Labuan Bajo setelah banyak permintaan dari agen perjalanan agar mereka menemani para turis berwisata, baik domestik maupun mancanegara. Akhir-akhir ini memang Labuan Bajo makin ramai setelah kegiatan-kegiatan kenegaraan dilakukan di sana.
Data Unit Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) Komodo, seperti dikutip dari Antara, menunjukkan, adanya kenaikan jumlah penumpang yang datang serta berangkat dari Labuhan Bajo pada Mei-Juli 2023. Pada Mei, jumlah kedatangan mencapai 39.630 penumpang, kemudian naik 7,4 persen pada bulan Juni. Pada Juli, angka kembali naik 12,9 persen dibandingkan Juni dengan total 48.046 penumpang.
Adapun penumpang berangkat pada Mei 2023 mencapai 40.356 penumpang. Angka itu turun 2,8 persen pada Juni 2023, tetapi kemudian naik 17,3 persen sebulan setelahnya dengan total 45.991 penumpang.
Pola positif ini diikuti pula dengan pergerakan pesawat yang meningkat. Pergerakan pesawat terjadi 363 kali pada April 2023, lalu naik menjadi 389 kali pada Juli 2023. Itu artinya ada 7,2 persen kenaikan dalam tiga bulan.
Wisatawan domestik
Jigis menilai, pola wisata Labuan Bajo berubah. Sebelum 2019, mayoritas tamu berasal dari luar negeri. Perubahan mulai terjadi sejak 2019 ketika wisatawan domestik lambat laun menunjukkan ketertarikannya pada wilayah hewan purba komodo ini.
Perkembangan dari tahun ke tahun secara kasatmata juga terlihat pesat. Pembangunan hotel-hotel megah terus berlangsung.
”Kalau saya lihat ke depan, Labuhan Bajo akan makin maju karena banyak pembangunan. Kami siap belajar. Labuan Bajo ini makin ke depan makin luar biasa,” kata Jigis.
Baca juga: Semua Mata Tertuju ke Labuan Bajo
Pengalaman bekerja sekitar tujuh tahun memperkaya pengalaman Revan dan Jigis menghadapi berbagai tingkah laku wisatawan yang berbeda-beda. Ada perbedaan pola perilaku antara wisatawan mancanegara dan domestik.
Menurut Jigis, perbedaan mendasar keduanya terletak pada pergerakan dan ketepatan waktu. Turis asing cenderung bergerak cepat serta amat menghargai waktu. Kegiatan pasti sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.
”Meski keadaan indah, mereka masih ingin menikmati. Namun, ketika waktu sudah habis, ya mereka kembali (berkumpul). Mereka lebih mencintai waktu,” katanya.
Selain itu, ketika makan sesuatu, mereka tampak menikmati tiap lahapnya dan ”hadir” saat itu. Ada pemaknaan pada tiap prosesnya. Makanan bagi mereka sangat dihargai, bak kado ulang tahun. Berbeda dengan wisatawan dalam negeri, cenderung langsung memakan habis tanpa sungguh-sungguh merasakan sedapnya hidangan.
Revan menambahkan, mayoritas wisatawan asing dapat berenang. Hal itu memudahkannya untuk berjaga, apalagi mobilitas dan destinasi berkaitan erat dengan laut.
”(Hal) Itu mempermudah guide untuk kontrol, awasi mereka. Untuk tamu lokal, kami cukup was-was karena enggak semua bisa berenang. Tapi sudah jadi tugas dan kewajiban kami untuk menjaga mereka,” ujarnya.
Baca juga: Menanti Lompatan Kedua Labuan Bajo
Meski demikian, turis lokal memiliki tingkat toleransi yang lebih besar. Mereka mudah beradaptasi terhadap rencana yang berubah tiba-tiba dan tak ambil pusing akan suatu hal.
Saat kondisi tak mendukung sehingga rute perjalanan harus diubah, misalnya, wisatawan Indonesia dapat dengan mudah memaklumi keadaan. Mereka bahkan menerima jika akhirnya hanya mendapat penjelasan, tanpa melihat langsung obyeknya. Berbeda dengan turis asing yang cenderung harus melihat langsung apa yang dijelaskan untuk memenuhi rasa puasnya.
Konservasi
Sesuai dengan nama daerahnya, hewan komodo menjadi daya tarik utama destinasi wisata itu. Wisatawan akan merasa kurang jika tidak melihat hewan purba itu secara langsung.
Butuh perencanaan matang agar wisatawan bisa terpuaskan menyaksikan hewan yang dilindungi, tetapi juga sejalan dengan upaya pelestarian komodo.
Menurut Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani, pengaturan konservasi dan nonkonservasi di Labuhan Bajo perlu dilakukan matang. Daya dukung Pulau Komodo memiliki keterbatasanl. Oleh karena itu, upaya memperlihatkan komodo di luar area konservasi perlu dipikirkan.
”Bisa juga dibuat semacam taman rekreasi, semacam kebun binatang tetapi di daerah (lain) dengan daya dukung lebih besar. Ini bisa direncanakan sehingga crowd (kerumunan) orang bisa dipecah,” kata Hariyadi saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (27/9/2023).
Baca juga: Keseimbangan antara Konservasi dan Pariwisata di Pulau Komodo
Apalagi Kabupaten Manggarai Barat merupakan wilayah yang cukup luas. Pencegahan wisatawan yang menumpuk pada destinasi tertentu perlu dipikirkan. Dengan demikian, konservasi asli di Pulau Komodo bisa terjamin.
Pada saat bersamaan, wisatawan yang datang juga dapat melihat komodo di habitat aslinya walau di luar wilayah konservasi. Harapannya, beban pada destinasi tertentu akan berkurang. Keberadaan Pulau Rinca dengan populasi komodo yang cukup tinggi juga dapat dipertimbangkan untuk menyebar kunjungan wisatawan.
Pemandu wisata badan usaha milik daerah NTT, PT Flobamor, Denis Yarunta (28), mengatakan, jumlah turis yang berkunjung ke Pulau Komodo secara harian bervariasi. Pada hari biasa mencapai 600-700 orang, tetapi pada akhir pekan bisa tembus 1.000 orang, baik wisatawan domestik maupun asing seperti dari Asia dan Eropa.
Sejumlah pemandu wisata menyarankan, jika ingin mengunjungi komodo, datanglah di luar musim kawin komodo yang biasanya terjadi pada Juli-Agustus. Sebab, pada masa-masa itu, hewan-hewan endemik itu justru sulit ditemukan.
Tak jarang, sejumlah turis asing yang memanfaatkan libur musim panas pada periode tersebut pulang dengan tangan hampa, tanpa melihat batang hidung komodo.
Kalau tidak dibuatkan destinasi baru, maka (wisatawan) akan terkonsentrasi ke tempat konservasi. Jadi perlu dibuat (destinasi nonkonservasi) dengan daya tarik komodo. (Hariyadi Sukamdani)
Solusi yang diusulkan Hariyadi untuk membangun kebun binatang dapat pula menjawab persoalan ini. Turis dapat melihat komodo kapan saja, tanpa perlu berbondong-bondong ke wilayah konservasi.
”Kalau tidak dibuatkan destinasi baru, maka (wisatawan) akan terkonsentrasi ke tempat konservasi. Jadi perlu dibuat (destinasi nonkonservasi) dengan daya tarik komodo. Bisa dibuat model kebun binatang, dibuat dengan cerita,” tutur Hariyadi yang juga Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia.
Baca juga: Arsyad, Penjaga "Rugu" di Manggarai Timur
Selain itu, wisata Labuhan Bajo juga bisa dikaitkan dengan Desa Adat Wae Rebo di Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai Barat. Hariyadi berpendapat, area itu dapat dibuat replika untuk memperbesar daya tarik wisatawan. Tujuannya, pengunjung bisa menikmati aspek wisatawan lain, di luar komodo dan bahari.
Kegiatan menenun juga dapat mendongkrak nilai tambah wisata dari segi budaya. Makanan masih banyak yang bisa dieksplore, seperti sei sapi dan pemanfaatan daun kelor.
”Komoditas di sana bisa diolah dengan pola yang tepat, diintegrasikan dengan promosi Labuan Bajo,” kata Hariyadi.
Investor lokal
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, realisasi investasi sektor pariwisata Indonesia membuktikan kontribusi investor dalam negeri justru lebih besar ketimbang asing.
Realisasi investasi asing secara langsung (foreign direct investment/FDI)sekitar 510 juta dollar AS pada 2019. Nominal itu setara Rp 7,9 triliun dengan kurs Rp 15.526 per dollar AS. Dalam periode yang sama, jumlahnya masih di bawah realisasi investasi domestik secara langsung (domestic direct investment/DDI).
Setelah krisis pandemi Covid-19, realisasi FDI pada sektor pariwisata mencapai 350 dollar AS pada 2022 atau Rp 5,4 triliun. Sebaliknya, DDI mencapai Rp 17,5 triliun sekaligus tertinggi dalam empat tahun terakhir.
Kontribusi investor domestik pada pariwisata Indonesia diharapkan mendorong keberpihakan pada investor lokal pula. Sebab, selama ini pendanaan cenderung sulit didapatkan karena perbankan menilai investasi parwisata sebagai pembiayaan berisiko. Lembaga keuangan lain, seperti Indonesia Investment Authority, diharapkan juga dapat mendukung pemain lokal.
”Padahal (investasi ini), multiplier effect-nya besar. Sudah terbukti ada juga proyek (pariwisata) bagus. Nah, itu memang harus ada terobosan-terobosan dengan memberi kepercayaan,” kata Hariyadi.
Baca juga: Asa Tumbuhnya Pariwisata Holistik di Bumi Nucalale
Dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azhari menilai, rendahnya ketertarikan asing untuk berinvestasi karena Indonesia belum menerapkan investasi hijau. Investasi hijau merupakan bentuk pendanaan yang mendukung lingkungan.
FDI telah mengacu imbauan Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO) serta Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) untuk mendukung investasi hijau sebagai prasyarat.
Sejauh ini, konsep investasi hijau telah dilakukan segelintir investor secara mandiri atas kesadaran masing-masing. Pemerintah perlu melibatkan ahli pariwisata yang tepat dan memiliki pendekatan ilmiah.