Menanti Lompatan Kedua Labuan Bajo
KTT ASEAN menjadi tumpuan untuk membawa Labuan Bajo melompat lebih tinggi lagi. Namun, jangan sampai masyarakat lokal masih berada di posisi yang selalu kalah.
Dari atas deretan perbukitan Labuan Bajo, tampak inci demi inci bulatan matahari yang terus bergerak turun menembusi garis horizon. Perginya senja seperti mengantar kembali para kepala negara ASEAN yang baru saja meninggalkan kota itu pada Kamis (11/5/2023).
Hingga hari benar-benar gelap, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, itu masih sibuk. Di kota itu baru saja selesai digelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-42 Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Puncak KTT berlangsung dua hari, yakni 10-11 Mei.
Sebelum puncak KTT, sejak lebih kurang dua pekan sebelumnya, Labuan Bajo mulai ramai didatangi oleh mereka yang berkepentingan dalam acara tersebut. Mereka adalah panitia, aparat keamanan, delegasi, jurnalis, dan terakhir para kepala negara. Tamu yang datang diperkirakan 20.000 orang.
Sekadar membandingkan, jumlah tamu kali ini lebih kurang tiga kali lipat dari jumlah penduduk Labuan Bajo, yang mendekati 7.000 jiwa. ”Artinya, satu warga Labuan Bajo punya tiga orang tamu. Tamu terbanyak yang pernah ada,” kata Almascatie, pemandu wisata di Labuan Bajo.
Tamu yang datang melebihi jumlah kamar hotel dan penginapan di Labuan Bajo. Berdasarkan data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, hotel dan penginapan di Labuan Bajo sebanyak 177 unit dengan total kamar lebih kurang 3.000 unit. Artinya, hanya 15 persen tamu yang menginap di hotel.
Kondisi itu menjadi peluang bagi warga setempat. Mereka mendapat limpahan tamu yang tidak kebagian kamar hotel. Untuk merebut hati tamu, mereka mendandani rumah mereka dengan menambahkan berbagai jenis perabot seperti springbed dan AC. Mereka menyesuaikan dengan kebutuhan para tamu.
”Kami keluarkan uang sekitar Rp 15 juta untuk beli perabot. Selama KTT ASEAN berlangsung, rumah kami sewakan dengan harga Rp 25 juta untuk delapan orang. Jadi kami untung Rp 10 juta,” tutur Heldi Gunda Sulasti (35), warga yang menyewakan rumahnya. Bisnis sewa rumah membawa berkah bagi Heldi dan ratusan keluarga di kota itu.
Satu warga Labuan Bajo punya tiga orang tamu. Tamu terbanyak yang pernah ada.
Bisnis makanan pun mengikuti. Selain restoran dan kafe yang selalu penuh, makanan di warung pinggir jalan juga selalu ludes. Penjual gorengan, kue, dan nasi kuning mendulang omzet berlipat. ”Biasanya dapat Rp 150.000 per hari. Saat KTT ini bisa sampai Rp 1 juta,” ujar Nur (50), penjual makanan di Jalan Soekarno-Hatta, Labuan Bajo.
Jasa-jasa lain, seperti rental mobil dan laundry, juga ketiban rezeki yang nilainya berlipat-lipat dari biasanya. Belum lagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang berlaga di Pesta Rakyat KTT ASEAN maupun di lokasi pameran Batu Cermin. Toko yang menjual oleh-oleh khas Labuan Bajo diserbu.
Efek ke Flores
Presiden Joko Widodo dalam sejumlah kesempatan mengatakan, pemilihan Labuan Bajo sebagai tempat berlangsungnya KTT ASEAN adalah demi memperkenalkan daerah itu kepada dunia. Labuan Bajo menjadi salah satu dari lima destinasi pariwisata superprioritas. Destinasi lainnya adalah Danau Toba di Sumatera Utara, Candi Borobudur di Jawa Tengah, Likupang di Sulawesi Utara, dan Mandalika di Nusa Tenggara Barat.
Destinasi Labuan Bajo memiliki keunikan tersendiri. Di sana hidup komodo, reptil yang bertahan dari era purba hingga saat ini. Habitat satu-satunya di dunia. Berat komodo dapat mencapai 160 kilogram dengan panjang hingga 3 meter.
Menurut data Balai Taman Nasional Komodo, per akhir 2021, populasi komodo di Pulau Komodo sebanyak 1.728 ekor, di Pulau Rinca sebanyak 1.385 ekor, di Pulau Padar 19 ekor, di Pulau Gili Motang 81 ekor, dan di Pulau Nusa Kode 90 ekor. Total keseluruhan 3.303 ekor.
Selain reptil komodo, suguhan pesona alam menyempurnakan perjalanan wisatawan ke sana. Lekukan bukit dan teluk indah serta pantai berpasir merah muda di Pulau Padar. Ada juga keindahan bawah air di sejumlah titik dengan sajian berbagai jenis biota laut.
Keberadaan Labuan Bajo diharapkan memberi efek bagi pariwisata di daerah sekitar, khususnya Pulau Flores. Dengan perjalanan darat, wisatawan dapat menikmati keindahan kampung adat Wae Rebo di Manggarai, Danau Kelimutu dengan tiga warna di Ende, hingga kota beribu kapel di Larantuka. Di sepanjang jalur Trans-Flores, wisatawan dapat menyaksikan keragaman budaya seperti bahasa, makanan, tempat tinggal, dan pakaian tradisional.
Baca juga: Semua Mata Tertuju ke Labuan Bajo
Kekalahan masyarakat lokal
Sayangnya, harapan bahwa masyarakat lokal mendapat manfaat ekonomi secara signifikan dan merata masih jauh panggang dari api. Sebagai contoh, perputaran uang di Labuan Bajo dalam hajatan KTT ASEAN yang diperkirakan mencapai Rp 5 triliun sebagian besar mengalir ke luar NTT. Pemilik hotel, restoran, dan kafe sebagian berasal dari luar daerah.
Pelibatan masyarakat lokal dalam event itu pun sangat minim. Pemandu wisata lokal tidak diajak masuk ke dalam tim pendamping delegasi dari luar negeri. ”Hanya ada beberapa yang terlibat di help desk, dan itu pun setelah mereka mengemis dulu ke panitia. Kami harapkan ke depan tidak terjadi lagi seperti ini,” ujar Muhamad Buharto, pemandu wisata.
Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi menyampaikan terima kasih kepada jajaran pemerintah di tingkat pusat yang telah memilih Labuan Bajo sebagai lokasi KTT ASEAN. Ia meyakini, setelah momentum ini selesai, pariwisata Labuan Bajo akan berkembang lebih pesat lagi.
Kita coba memulai dengan apa yang bisa kita lakukan dan yang hanya ada di kita. Salah satunya adalah tenun.
Ia menuturkan, pariwisata Labuan Bajo naik pamor berkat event yang digelar pemerintah. Pertama, Sail Komodo pada tahun 2013. Setelah Sail Komodo, pariwisata Labuan Bajo langsung melejit. ”KTT ASEAN ini menjadi tumpuan untuk lompatan kedua. Pastinya akan lebih tinggi,” ujarnya.
Sebelum Sail Komodo, jumlah hotel dan penginapan di Labuan Bajo masih bisa dihitung dengan jari dan belum ada hotel berbintang. Setelah acara itu, hotel dan penginapan bertambah menjadi 117 unit per Mei 2023, di antaranya puluhan hotel berbintang.
Jumlah pengunjung yang datang ke Labuan Bajo sebelum Sail Komodo diperkirakan kurang dari 1.000 orang. Kini, pengunjung terus bertambah. Rekor tertinggi pada tahun 2019, yakni 221.000 pengunjung.
Namun, Endi mengaku, masyarakat lokal masih kalah bersaing dengan pengusaha dan pelaku wisata yang datang dari luar. Salah satu langkah yang sudah diambil pemerintah adalah menyiapkan sumber daya manusia dengan mendirikan sekolah menengah kejuruan berbasis ilmu pariwisata.
Di samping itu, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah juga didampingi secara serius. Pada KTT ASEAN, para kepala negara mengenakan kain tenun dengan motif ”mata manuk”. Kain tenun itu dirajut oleh ibu-ibu dari kampung Lembor, sekitar dua jam perjalanan dari Labuan Bajo. ”Kita coba memulai dengan apa yang bisa kita lakukan dan yang hanya ada di kita. Salah satunya adalah tenun,” ujar Endi.
Tuti Lawalu, pengamat ekonomi dari Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, berpendapat, perlu adanya desain mengenai tata kelola pariwisata Labuan Bajo. Desain itu dengan menempatkan masyarakat lokal sebagai pelaku. Jika tidak, mereka akan termarjinalkan di tengah gemerlapnya destinasi superprioritas.
Sebagai contoh, bahan kebutuhan untuk makanan di hotel dan restoran serta suvenir agar disuplai dari pasokan lokal. Selama ini, banyak jenis barang-barang itu dibawa dari luar NTT. ”Pengaturan ini harus dibuat dalam bentuk regulasi sehingga ada dasarnya,” ujar Tuti.
KTT ASEAN sudah berlalu. Dengan segala kelebihan dan kekurangan, Labuan Bajo memberi kesan bermakna bagi mereka yang datang. Kini menanti lompatan kedua, jangan sampai masyarakat lokal masih tetap kalah dalam bersaing.
Baca juga: Catatan Jurnalis dari KTT Ke-42 ASEAN