Agar Adil, Platform ”Social Commerce” Dipisah dengan E-dagang
Pengaturan perdagangan elektronik, khususnya ”social commerce”, dibahas dalam rapat di Istana Presiden. UMKM harus dipayungi dari terjangan dunia digital. ”Social commerce” harus dipisah dengan ”e-commerce”.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berupaya mengatur perdagangan yang adil antara perdagangan luar jaringan dan dalam jaringan. Melalui revisi peraturan menteri perdagangan atau menperdag, ada pengaturan bahwa platform social commerce harus dipisah dengan e-commerce. Social commerce hanya boleh memfasilitasi promosi barang atau jasa dan tidak boleh transaksi langsung.
Presiden Joko Widodo saat membuka Kongres XXV Persatuan Wartawan Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Senin (25/9/2023), menyampaikan, pemerintah perlu menyiapkan regulasi mengenai perkembangan teknologi digital, termasuk yang berkaitan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal ini sedang dikerjakan pemerintah dan Presiden memperkirakan aturan tersebut terbit Selasa (26/9/2023).
”Payung besar regulasi transformasi digital harus dibuat lebih holistik. Industri kreatif harus dipayungi. UMKM harus dipayungi dari terjangan dunia digital dan ini yang sedang dikerjakan pemerintah. Tadi kita ratas memutuskan social media yang digunakan untuk e-commerce. Besok mungkin keluar (aturannya),” tuturnya.
Payung besar regulasi transformasi digital harus dibuat lebih holistik. Industri kreatif harus dipayungi, UMKM harus dipayungi dari terjangan dunia digital, dan ini yang sedang dikerjakan pemerintah.
Presiden menyebut perkembangan teknologi informasi ini berdampak sangat dahsyat. ”Kita terlambat berapa bulan, efeknya ke mana-mana,” ujarnya.
Baca juga: Pemerintah Segera Mengatur E-Dagang Berbasis Media Sosial
Oleh karena itu, menurut Kepala Negara, payung transformasi digital harus holistik. Dengan demikian, perkembangan teknologi dapat menciptakan potensi ekonomi baru, bukan membunuh ekonomi yang sudah ada.
Seperti diberitakan Kompas.id, Selasa (19/9/2023), mengutip laporan Momentum Works bertajuk ”E-commerce in Southeast Asia” Juni 2023, platform e-dagang yang merajai di Indonesia adalah Shopee di urutan pertama (36 persen), Lazada (10 persen), Bukalapak (10 persen), Tiktok (5 persen), dan Blibli (4 persen).
Tiktok yang baru bertransformasi menjadi platform social commerce lewat Tiktok Shop secara cepat masuk ke lima besar kendati baru diperkenalkan tahun 2021. Momentum Works dalam laporan lainnya tahun lalu terkait Tiktok menyampaikan, Tiktok unggul dibandingkan dengan platform murni e-dagang karena memanfaatkan trafik pengunjung yang tinggi dan pengalaman belanja yang menyenangkan.
Tiktok pun gencar mengenalkan fitur e-dagang mereka ke pedagang di toko luring, salah satunya adalah pedagang pakaian di Pasar Tanah Abang. Sejak saat itu, penjaga toko rutin mengadakan live shoping dua kali sehari, dengan bermodalkan ponsel, koneksi internet, dan alat pencahayaan tambahan.
Segera ditandatangani
Sebelumnya, penjelasan terkait isi rapat terbatas disampaikan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki, serta Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie. Ketiganya memaparkan hal tersebut dalam keterangan pers di Kompleks Istana Kepresidenan.
”Barusan (kami) rapat, ini temanya mengenai pengaturan perdagangan elektronik, khususnya tadi kaMI bahas social commerce. Sudah disepakati besok, (se)pulang ini, revisi Permendag 50/2020 (tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik) akan kAMI tanda tangani,” kata Zulkifli Hasan seusai rapat terbatas.
Baca juga: Setelah "E-Commerce", Muncul "Social Commerce"
Zulkifli menuturkan, pihaknya sudah membahas persoalan ini bersama Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie, serta lainnya.
”Yang pertama nanti isinya social commerce itu hanya boleh memfasilitasi promosi barang atau jasa, tidak boleh transaksi langsung. Bayar langsung enggak boleh lagi. Dia (social commerce) hanya boleh untuk promosi. Seperti TV. TV, kan, iklan boleh, tapi TV enggak bisa terima uang. Dia semacam platform digital. Tugasnya mempromosikan,” ujarnya.
Social commerce itu hanya boleh memfasilitasi promosi barang atau jasa, tidak boleh transaksi langsung.
Zulkifli menuturkan, social commerce harus dipisahkan dengan e-commerce. ”Jadi, dia harus dipisah sehingga algoritmanya itu tidak semua dikuasai. Dan, ini mencegah penggunaan data pribadi untuk kepentingan bisnis,” kata Zulkifli.
Kedua, Zulkifli menuturkan, pemerintah juga akan mengatur produk-produk dari luar yang boleh langsung dipasarkan. ”Kita sebut dulu negative list, sekarang positive list, yang boleh-boleh. Kalau dulu negative list itu (artinya) semua boleh kecuali. Kalau sekarang yang boleh, yang lainnya tidak boleh, diatur. Misalnya batik di sini banyak kok, ngapain impor batik. Kira-kira seperti itu,” ujarnya.
Berikutnya, posisi barang dari luar itu harus sama perlakuannya dengan barang dalam negeri. ”Kalau makanan ada sertifikat halal. (Produk) Beauty (kecantikan) harus ada (izin Badan) POM-nya (pengawasan obat dan makanan). Kalau enggak (ada), nanti yang jamin siapa? Kemudian kalau dia elektronik harus ada standarnya, bahwa ini betul barangnya,” katanya.
Baca juga: Mendag: Platform E-dagang Dilarang Sekaligus Jadi Produsen Barang
Jadi, menurut Zulkifli, ada perlakuan sama antara produk dari luar dengan yang ada di dalam negeri atau yang dijual secara luar jaringan. ”Ketiga, tidak boleh bertindak sebagai produsen. (Hal) Yang terakhir, transaksi, kalau impor kita (atur) satu transaksi 100 dollar AS minimal. Sudah diputuskan (revisi Permendag) hari ini, nanti sore, sudah saya tanda tangani revisi Permendag No 50/2020 menjadi Permendag berapa nanti tahun 2023. Kalau ada yang melanggar seminggu ini tentu ada surat saya ke Kemenkominfo untuk memperingatkan. Habis peringatan itu apa lagi tuh? Tutup,” kata Zulkifli.
Saat ditanya mengenai nama social commerce yang dimaksud, Zulkifli menjawab bahwa pihaknya tidak memakai atau menyebut merek. ”Kita enggak pakai merek, siapa saja. (Selama ini social commerce) belum diatur, nah, sekarang diatur,” ujar Zulkifli.
Kita enggak pakai merek, siapa saja. (Selama ini social commerce) belum diatur, nah, sekarang diatur.
Perdagangan ”fair”
Pada kesempatan sama, Menkop UKM Teten Masduki menuturkan, ada tiga hal yang dibahas pada rapat di Istana pada hari ini. ”Pertama, bagaimana mengatur platform. Kedua, bagaimana mengatur arus masuk barang. Karena (ini) bukan soal produk lokal kalah bersaing di online atau di offline. Tetapi di offline dan di online diserbu produk dari luar yang sangat murah dan dijual di platform global,” katanya.
Ketiga, pemerintah sedang mengatur perdagangan yang fair antara yang di luar jaringan dan dalam jaringan. ”Karena di offline diatur demikian ketat, tapi di online masih bebas. Kuncinya di revisi permendag. Ada pengaturan mengenai platform, tadi sudah clear arahan presiden social commerce harus dipisah dengan e-commerce. Dan ini, kan, sudah antre banyak social commerce juga yang mau menjadi punya aplikasi transaksi,” ujar Teten.
Baca juga: Menimbang Larangan Berdagang di Media Sosial
Berkaitan arus barang, Teten menuturkan ada pengaturan tidak boleh lagi di bawah 100 dollar AS. ”Kalau masih ada yang belum produk lokal, ya, diatur nanti di positive list. Jadi boleh masih impor, tapi masuk di positive list,”” katanya.
Menurut Teten, isi permendag tersebut adalah platform tidak boleh menjual produknya sendiri. Apabila revisi permendag ini dilaksanakan, UMKM akan terlindungi. ”(Kalau ini dilaksanakan) Insya Allah,” ujarnya.
Kita tidak mau kedaulatan data kita, data kita, entar dipakai semena-mena. Nanti algoritmanya sudah media sosial, nanti e-commerce, nanti fintek, nanti pinjaman online, dan lain-lain. Ini, kan, semua platform akan ekspansi, kan, berbagai jenis. Nah itu harus kita atur, kita tata, supaya jangan ada monopolistik organik, alamiah, enggak ditata, tahu-tahu dikontrol sama dia.
Adapun Menkominfo Budi Arie menuturkan, pemerintah harus mengatur agar terjadi perdagangan adil. ”Bukan lagi free trade tapi fair trade, perdagangan yang adil. Jadi, bagaimana media sosial ini tidak serta-merta menjadi e-commerce, karena ini algoritma nih. Prinsipnya gini, negara harus hadir melindungi pelaku UMKM dalam negeri kita. (Perdagangan) Yang fair. Jangan barang di sana dibanting harga murah, kita klenger (Jawa: pingsan),” kata Budi Arie.
Baca juga: Antisipasi Barang Impor Ilegal di E-dagang, Pemerintah Akan Perketat Arus Masuk
Menurut Budi, hal ini pun berkaitan dengan kedaulatan data. ”Kita tidak mau kedaulatan data kita, data kita, entar dipakai semena-mena. Nanti algoritmanya sudah media sosial, nanti e-commerce, nanti fintek, nanti pinjaman online, dan lain-lain. Ini, kan, semua platform akan ekspansi, kan, berbagai jenis. Nah itu harus kita atur, kita tata, supaya jangan ada monopolistik organik, alamiah, enggak ditata, tahu-tahu dikontrol sama dia,” ujarnya.
Saat ditanya terkait maksud social commerce, Budi menuturkan bahwa media sosial tidak dipakai untuk kebutuhan e-commerce atau perdagangan. ”Jadi, muncul istilah social commerce. Jadi, sebetulnya (social commerce) ini di tengah-tengah antara sosial media dan e-commerce,” katanya.
Sebelumnya, ekonom dan pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat melalui rilisnya, Sabtu (23/9/2023), menuturkan, berbagai upaya mesti dilakukan untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara inovasi dan perlindungan kepentingan UMKM yang merupakan tulang punggung ekonomi. Hal ini termasuk mengatur ulang platform social commerce agar tidak merugikan ekonomi nasional.