Seiring kemajuan teknologi, kita semakin terbiasa bertransaksi dengan model e-dagang (e-commerce). Kini, penggunaan media sosial membuka peluang munculnya model perdagangan baru yang disebut juga dengan social commerce.
Oleh
Gianie
·4 menit baca
Kekuatan media sosial tidak hanya terletak pada daya pengaruhnya dalam membentuk opini publik dan mengarahkan kebijakan, tetapi juga menyediakan peluang untuk melipatgandakan transaksi dan mengakumulasi kapital.
Setelah terbiasa dan mapan dengan model e-dagang (e-commerce), kini transaksi belanja digerakkan oleh media sosial yang disebut juga dengan social commerce. Indonesia pun memiliki potensial pasar yang besar untuk jenis perdagangan ini.
Perkembangan teknologi dan dunia digital telah mengubah perilaku masyarakat global dalam bertransaksi atau berbelanja. Konsumen tidak lagi hanya bertransaksi secara konvensional dengan tatap muka langsung dengan pedagang. Kemajuan teknologi memberi alternatif cara bertransaksi yang lebih mudah, cepat, nyaman, dan aman tanpa harus berhadapan fisik.
Masyarakat sudah semakin terbiasa berbelanja dengan model yang disebut e-dagang (e-commerce) ini. Tak terkecuali di Indonesia. Banyak situs jual beli online atau toko dalam jaringan bermunculan, seperti Tokopedia dan Shopee.
Data Bank Indonesia menunjukkan, dalam lima tahun terakhir saja nilai transaksi belanja daring atau secara online ini meningkat signifikan hingga empat kali lipat.
Jika pada tahun 2018 nilai transaksi e-dagang di Indonesia tercatat sebesar Rp 106 triliun, hingga akhir 2022 lalu jumlahnya menjadi Rp 476 trilliun. Dalam periode yang sama, nilai transaksi menggunakan uang elektronik meningkat jauh lebih besar, yakni dari Rp 106,7 triliun menjadi Rp 1.177,7 triliun.
Dunia digital juga telah mengubah perilaku masyarakat dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Percakapan tidak lagi hanya secara tatap muka dengan jarak dekat, tetapi juga dalam ruang-ruang virtual dengan kecepatan respons tingkat tinggi di mana antara satu dengan yang lain terpisah oleh ruang yang sangat jauh sekalipun.
Percakapan atau interaksi dalam ruang-ruang virtual ini tidak sekadar didominasi dengan berbagi informasi dan pemikiran, lebih jauh juga berkembang menghubungkan antara penjual dengan pembeli, produsen dengan konsumen. Di layar media sosial yang dimiliki individu kini dengan mudah dimasuki penawaran berbagai produk dan target konsumen diberi opsi untuk mengetuk/mengklik tombol ‘shop now’.
Kekuatan kecerdasan buatan (AI) yang massif saat ini kemudian melipatgandakan dan menyajikan secara repetitif tawaran produk ke layar-layar media sosial yang dimiliki individu. Inilah yang disebut dengan social commerce.
Social commerce secara sederhana bisa dijelaskan sebagai penggunaan platform media sosial, seperti Fecebook, Instagram, TikTok, dan lainnya, sebagai pasar bagi produk dan jasa tertentu.
Media sosial menjadi tempat untuk mempromosikan dan menjual produk tertentu. Model dagang seperti ini membuat pelanggan dapat membeli barang yang diinginkan tanpa harus meninggalkan aplikasi media sosial yang tengah dicermatinya.
Social commerce ini melejit karena penggunaan media sosial yang kian massif. Terutama pada saat pandemi Covid-19 melanda di mana masyarakat global merasa harus tetap terhubung meski ada pembatasan fisik dan mobilitas.
Indonesia menjadi salah satu pasar potensial bagi social commeerce untuk berkembang. Hal itu karena, berdasarkan data dari laman Statista, pengguna media sosial aktif di Indonesia sangat besar. Tahun 2022 lalu jumlahnya 191,4 juta pengguna atau sekitar 70 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Jumlah tersebut adalah urutan ketiga terbanyak di kawasan Asia Pasifik setelah China (983,3 juta pengguna) dan India (467 juta pengguna). Dalam kurun hampir satu dekade, jumlah pengguna media sosial yang aktif di Indonesia ini naik tiga kali lipat, yakni dari 62 juta pengguna (2014) menjadi 191,4 juta pengguna (2022).
Social commerce ini melejit karena penggunaan media sosial yang kian massif
Perkembangan masyarakat digital di Indonesia ini didorong oleh penetrasi internet yang semakin baik di seluruh pelosok dan keterjangkauan memiliki telepon-telepon pintar. Orang Indonesia sangat aktif menggunakan media sosial.
Rata-rata waktu yang dihabiskan untuk eksis di media sosial adalah 3 jam dan 20 menit dalam sehari. Penetrasi media sosial di Indonesia tergolong tinggi (68,9 persen). Media sosial menjadi sumber utama selain untuk berkomunikasi, juga untuk mendapatkan informasi/berita dan hiburan.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh We Are Social tahun 2022, platform media sosial yang paling banyak digunakan orang Indonesia secara berturut-turut adalah Whatsapp (88,7 persen), Instagram (84,8 persen), dan Facebook (81,3 persen).
Jumlah pengguna Facebook di Indonesia hampir mencapai 130 juta orang, sedanglan pengguna Instagram sekitar 99 juta orang. TikTok, Telegram, dan Twitter adalah tiga platform media sosial berikutnya yang juga banyak digunakan dengan persentase antara 50-65 persen.
Dengan potensi yang besar ini, media sosial berkembang dan memiliki nilai tambah dengan menjadi sarana promosi/iklan dan penjualan produk-produk.
Ditambah lagi dengan berkolaborasi dengan para pemengaruh (influencers), keuntungan yang didapat bisa berlipat ganda. Pasar bisa semakin luas dan kesadaran (awareness) orang akan merek tertentu akan meningkat yang bisa berpotensi menjadi pelanggan/pembali.
Dari analisis Statista, sebanyak 68 persen orang Indonesia mengikuti media sosial satu hingga empat orang infuencer. Selain itu, sekitar 80 persen pengguna media sosial mengaku akan mencari informasi mengenai produk yang dipromosikan (endorsed) dalam konten sang influencer.
Model sosial dagang seperti ini dianggap memberikan pengalaman berbelanja yang nyaman dan interaktif oleh konsumen. Hal ini menjadi peluang bagi pedagang yang merupakan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah untuk berkembang.
Para milenial dan generasi Z yang lekat dengan media sosial menjadi sumber bahan bakar untuk pengembangan sosial dagang. Mereka inilah yang lewat media sosialnya akan melakukan transaksi, setidaknya satu kali, melalui akun media sosial yang dimiliki.
Secara global, diperkirakan nilai transaksi dari sosial dagang ini akan mencapai sekitar 2,9 triliun dollar Amerika Serikat pada tahun 2026. Di Indonesia sendiri, dalam lima tahun ke depan model sosial dagang ini akan menghasilkan transaksi dengan nilai kotor penjualan sekitar 22 miliar dollar AS pada 2028.
Sudah menjadi keniscayaan bahwa perkembangan teknologi dan dunia digital akan menjadi mesin pertumbuhan baru bagi perekonomian.
Teknologi akan selalu menghadirkan inovasi-inovasi yang akan mengubah perilaku dalam mengonsumsi dan bertransaksi. Dan terbukti, pandemi global tidak menyurutkan inovasi-inovasi ini, meskipun sempat memperlambat gerak roda ekonomi. (LITBANG KOMPAS).