Asosiasi Panas Bumi Indonesia menilai target pemerintah dalam mengembangkan proyek panas bumi tergolong ambisius. Butuh komitmen dan kerja sama dari berbagai pihak untuk memenuhinya.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan pelaku usaha mengakui masih banyak tantangan dalam pengembangan energipanas bumi atau geotermal. Pengembangan berjalan lambat, padahal potensi dan ambisi pemanfaatan geotermal Indonesia besar.
Menurut Wakil Presiden Ma’ruf Amin, pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Potensi tersebut perlu dioptimalkan dengan percepatan transisi energi. Harapannya, kapasitas pembangkit EBT mencapai 700 gigawatt (GW) dari berbagai sumber, antara lain surya (matahari), hidro (air), angin, arus laut, dan panas bumi.
”Khusus panas bumi, pemerintah berkomitmen mendorong pengembangan panas bumi melalui skema bisnis yang lebih menjanjikan dan pengembangan inovasi teknologi yang terjangkau. Dengan dukungan ini, diharapkan pada 2060 kapasitas pembangkit panas bumi Indonesia (sebesar) 22 GW,” tutur Wapres saat membuka Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) 2023 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (20/9/2023).
Dalam acara ini, hadir pula sejumlah perwakilan pemerintah. Beberapa di antaranya adalah Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Yudo Dwinanda Priaadi, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu, serta Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Prijandaru Effendi.
Meski pengembangan pembangkit panas bumi terus digaungkan, pelaku usaha masih mengeluhkan sejumlah masalah yang ditemui. Alhasil, pengembangan proyek energi ini masih berjalan lambat.
Prijandaru mengatakan, ada kesenjangan harga dengan nilai keekonomian. Perubahan peraturan yang sering terjadi mengakibatkan ketidakpastian bagi pertumbuhan panas bumi.
Hingga saat ini, rata-rata pertumbuhan terpasang per tahun hanya sekitar 60 MW. Pertumbuhan itu jauh dari sumber daya yang dimiliki mencapai 24.000 MW, dengan cadangan 18.000 MW.
Melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, PT PLN (Persero) bersama pemerintah menargetkan pencapaian panas bumi sebesar 5.500 MW pada 2030. Besaran itu setara 51,6 persen kontribusi dari energi hijau. Tambahan 3.300 MW diperlukan selama tujuh tahun ke depan, atau sekitar 450 MW per tahun.
”Target ini cukup ambisius, memerlukan komitmen semua pihak terkait. Kerja keras, hubungan, serta kehadiran dan campur tangan pemerintah agar hambatan dan permasalahan tantangan saat ini dapat segera terselesaikan,” kata Prijandaru yang juga Executive Vice President of Relations & Support Services PT Supreme Energy.
Hal serupa diutarakan Yudo. Sejauh ini, tantangan pengembangan geotermal karena sebagian terletak pada area konservasi. Selain itu, medan yang sulit menimbulkan risiko eksplorasi, diikuti masalah pendanaan sebelum tahap studi kelayakan.
Isu-isu sosial juga terjadi di sekitar proyek pembangkit geotermal. Tak hanya itu, permintaan listrik rendah menambah hambatan pengembangan energi ini.
Mendorong percepatan geotermal
Sejumlah perbaikan dan solusi diupayakan untuk mendorong percepatan pemanfaatan tenaga panas bumi. Harapannya, ekspor listrik dari energi ini memungkinkan dilakukan, tetapi tetap mengutamakan permintaan dalam negeri.
Wapres Amin memerintahkan perbaikan kualitas data serta insentif dalam kegiatan eksplorasi panas bumi. Hal ini guna menjaga harga jual listrik panas bumi yang lebih kompetitif. Selain itu, pemerintah perlu memberi insentif pendanaan eksplorasi panas bumi melalui program pembiayaan infrastruktur serta mitigasi risiko.
Selain itu, pembangkit panas bumi diharapkan bisa berkontribusi memacu pertumbuhan ekonomi lokal dalam pembangunan infrastruktur serta meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.
”Pemerintah daerah dan pengembang bekerja sama maksimalkan potensi pemerataan langsung panas bumi, baik pengelolaan sektor agrikultur, sarana rekreasi edukatif, dan pariwisata di wilayah yang dikelola,” kata Wapres.
Sebagian sumber panas bumi berada dalam kawasan hutan. Oleh karena itu, pengelolaannya juga harus memperhatikan daya dukung ekosistem agar tak merusak hutan dan mengancam kehidupan satwa.
Sementara itu, Yudo masih mempertimbangkan ekspor listrik dari energi geotermal. Ia menekankan, keputusan tersebut harus dilihat dari pemenuhan permintaan dalam negeri yang harus diprioritaskan.
”Sangat spesifik kami mesti lihat dengan jaringan segala macam. (Hal) yang penting, kita penuhi kepentingan nasional, baru ekspor,” ujarnya.