Akselerasi Target “Net Zero Emission” dengan Panas Bumi
Pemerintah menargetkan porsi bauran energi terbarukan menyumbang sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050. Untuk memenuhi target ini, potensi panas bumi yang tersebar di Indonesia dapat menjadi jalan keluar.
Oleh
MIRAH MIDADAN
·5 menit baca
Indonesia sedang berada di masa transisi energi. Masa di mana penggunaan energi fosil akan dialihkan menjadi energi bersih yang bersumber dari energi terbarukan. Tidak hanya Indonesia, seluruh dunia juga sedang mengarah ke sana. Berdasarkan keputusan COP26 di Glasgow tahun lalu, negara-negara global sepakat berusaha menjaga pemanasan global di titik 1,5 derajat celsius agar terhindar dari dampak bencana perubahan iklim.
Presiden Joko Widodo pada forum COP26 Glasgow telah menyatakan bahwa Indonesia menargetkan kondisi net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Konsekuensinya, banyak hal yang perlu disiapkan pemerintah, baik dari sisi regulasi, teknis, pendanaan, infrastruktur, maupun penciptaan ekosistem untuk pengoptimalan pemanfaatan energi terbarukan.
Komitmen Indonesia untuk mencapai tujuan tersebut juga sudah tidak diragukan lagi. Sudah banyak dokumen negara yang dibuat untuk menjadi acuan strategi dan kekuatan hukum agar Indonesia dapat berkontribusi aktif dalam upaya penanganan perubahan iklim global.
Kendalanya adalah bagaimana sinkronisasi regulasi dan program terkait jalan menuju NZE dapat terjadi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2007 tentang Energi masih kurang relevan dengan target pemerintah dalam mencapai NZE.
Undang-Undang Energi sebagai induk dan muara dari kebijakan energi seharusnya direvisi sehingga menjadi relevan dengan kondisi terkini dan sinkron dengan regulasi-regulasi terbaru yang mendukung target NZE. Undang-Undang Energi harus mampu menciptakan iklim pengelolaan energi yang bersinergi dan harmonis antarwilayah, antarsektor, serta melindungi konservasi lingkungan.
Saat ini, proses penyusunan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT) juga terus berjalan. Melalui undang-undang tersebut, diharapkan dapat menjadi acuan hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia sehingga target capaian NZE dapat terealisasi. Potensi energi terbarukan Indonesia dapat dikatakan cukup melimpah, dan menjadi modal awal yang baik untuk beralih ke energi bersih.
Namun tidak dapat dimungkiri bahwa upaya transisi energi di Indonesia memiliki banyak tantangan dari berbagai aspek. Hal yang semakin memberatkan Indonesia untuk melakukan transisi energi adalah tingginya ketergantungan sektor keuangan negara terhadap ekspor batubara serta penggunaan batubara dan minyak dan gas (migas) sebagai sumber energi.
Jika Indonesia tidak serius melakukan upaya transisi dan terus mengandalkan energi fosil, Indonesia bisa terpukul dari dua sisi. Pertama, pembiayaan dan/atau investasi asing yang saat ini cukup concern terhadap isu pemanasan global. Kedua, ekspor ke negara-negara yang mulai membatasi atas turunan dampak dari pemanfaatan energi fosil.
Peta jalan (roadmap) transisi energi yang berkesinambungan dan berkelanjutan perlu disiapkan pemerintah. Sering kali kita melihat adanya ego-sektoral dalam penyusunan strategi tertentu, tetapi dalam hal transisi energi, banyak sektor yang harus dikolaborasikan untuk mencapai titik NZE.
Hal yang semakin memberatkan Indonesia untuk melakukan transisi energi adalah tingginya ketergantungan sektor keuangan negara terhadap ekspor batubara serta penggunaan batubara dan minyak dan gas sebagai sumber energi.
Tantangan diversifikasi energi
Dalam rangka memenuhi kebutuhan permintaan energi, Indonesia perlu melakukan diversifikasi energi. Per tahun 2021, bauran energi primer Indonesia sebesar 37,19 persen dari batubara, 32,19 persen minyak, 18,87 persen gas, dan 12,16 persen dari energi terbarukan. Dari 12,16 persen energi terbarukan tersebut, 4,41 persen adalah biofuel, 3,09 persen hydropower, 1,99 persen panas bumi, sementara sisanya kurang dari 2,52 persen.
Pemerintah, dalam dokumen Kebijakan Energi Nasional, menargetkan porsi bauran energi terbarukan menyumbang 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050. Untuk memenuhi target bauran tersebut, potensi panas bumi yang tersebar di Indonesia dapat menjadi jalan keluar. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan bahwa potensi panas bumi Indonesia saat ini 28,5 gigawatt, sekaligus menjadi potensi panas bumi terbesar di dunia setelah Amerika Serikat (30 gigawatt).
Sebenarnya, Indonesia sudah berpengalaman dalam hal pemanfaatan energi panas bumi yang dimulai dari PLTP Kamojang pada 1983. Namun, per 2022, kapasitas terpasang PLTP baru mencapai 2.342 megawatt atau kurang dari 10 persen dari potensi sumber daya yang tersedia.
Pengembangan energi panas bumi yang tidak signifikan ditengarai karena belum dapat bersaing dengan pembangkit berbahan bakar fosil, yang saat ini harganya relatif lebih murah. Namun, kondisi idealnya adalah semakin tinggi permintaan atas energi bersih disertai dengan perkembangan teknologi di bidang energi terbarukan seharusnya dapat membuat biaya pengembangan pembangkit berbasis energi terbarukan menjadi lebih rendah; sehingga harga jual dapat lebih bersaing.
Namun, sesuai dengan regulasi yang berlaku, badan yang memegang izin usaha pengembangan panas bumi hanya boleh menjual ke PT PLN selaku offtaker tunggal sebagaimana tugasnya sebagai penyelenggara ketenagalistrikan nasional. Karena itu akan timbul masalah, salah satunya adalah rate of return jika terjadi penentuan tarif pembelian yang tidak sesuai.
Sementara dari sisi teknis, hampir seluruh wilayah pengembangan PLTP berada di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi, yang mana juga mendapatkan perlindungan negara untuk tidak dieksplorasi. Proses pelepasan kawasan hutan memiliki sistem birokrasi yang cukup panjang. Dari contoh kasus tersebut sudah terlihat urgensi kebutuhan atas kesinambungan koordinasi antarkementerian/lembaga terkait.
Hal yang membuat pengembangan PLTP menjadi lambat juga dikarenakan faktor biaya investasi yang cukup mahal, mulai dari proses eksplorasi sampai pada tahap komersialisasi. Sementara, sumber pembiayaan juga terbatas. Selain itu, ekosistem usaha, termasuk perangkat peraturan dan regulasi, dapat dikatakan masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan eksplorasi dan eksploitasi sektor migas dan batubara. Akibatnya, investasi di sektor panas bumi kurang dilirik investor.
Strategi penguatan pemanfaatan panas bumi
Dikarenakan potensi yang melimpah, tetapi pemanfaatan yang masih minim, maka energi panas bumi perlu diperkuat dengan strategi-strategi tertentu. Pertama, dari aspek harga keekonomian panas bumi. Seharusnya, harga patokan tertinggi panas bumi tidak dibandingkan dengan harga keekonomian dari mix energy atau energi fosil.
Perbandingan harga harus dilakukan berimbang. Jika harga keekonomian panas bumi dibandingkan dengan energi uap batubara, interpretasi yang dihasilkan menjadi tidak sebanding dan energi panas bumi menjadi relatif lebih sulit untuk dipasarkan.
Diperlukan pula inovasi bisnis berkelanjutan di sektor panas bumi. Misalnya, dengan mengembangkan desain value chain yang tidak hanya berfokus pada ketenagalistrikan. Artinya, energi panas bumi dapat didesain untuk berperan sebagai katalisator transisi energi dan dekarbonisasi sehingga perluasan pemanfaatan panas bumi juga dapat mencakup green feedstocks, bisnis karbon, hingga sektor edu- atau ekowisata. Perluasan value chain tersebut juga dapat memberdayakan masyarakat lokal sekitar sehingga aspek keberlanjutan dapat terpenuhi.
Namun, hal mendasar yang penting menjadi perhatian adalah pemerintah perlu menciptakan grand design untuk penciptaan permintaan (demand) atas tenaga listrik yang saat ini sudah mulai stagnan. Selain itu, diperlukan pemetaan target konsumen panas bumi sehingga kepastian pembeli (buyer) sudah tersedia.
Mirah Midadan, Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef