Potensi sektor maritim masih sangat besar. Namun, tantangannya juga tak ringan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memiliki potensi besar sebagai negara maritim. Upaya memanfaatkan potensi itu membutuhkan pengelolaan ruang laut yang terintegrasi. Namun, pengelolaan ruang laut masih menghadapi tantangan yang tak ringan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengemukakan, kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas 17.500 pulau dan dikelilingi 6,4 juta meter persegi (m2) perairan telah menjadi habitat penting bagi tanaman bakau seluas 3,3 juta hektar (ha), terumbu karang 2,5 juta ha, dan padang lamun seluas 300.000 ha yang merupakan rumah bagi sumber daya ikan.
Namun, pengelolaan ruang laut di Indonesia masih menghadapi tantangan sangat besar. Sebab, banyak sektor industri memanfaatkan ruang dan sumber daya laut secara ekstraktif. Produk domestik bruto (PDB) sektor maritim berkontribusi 7,6 persen terhadap total PDB nasional. Sementara itu, 281 kabupaten/kota serta masyarakat pada lebih dari 12.000 desa pesisir bergantung penghidupan pada laut yang sehat.
”Selain potensi besar, tekanan besar juga dihadapi laut kita. Kerusakan laut tidak hanya menjadi bencana Indonesia, tetapi juga mengancam kehidupan manusia di masa depan,” ujar Trenggono dalam pembukaan acara Marine Spatial Planning and Services Expo 2023 secara hibrida, di Jakarta, Selasa (19/9/2023).
Sektor maritim meliputi, antara lain, industri perkapalan, perikanan dan bioteknologi, pertambangan dan energi, reparasi kapal, jasa pergudangan laut, jasa penyeberangan, logistik, pelabuhan, terminal peti kemas, serta pembuatan senjata dan kapal perang.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengemukakan, Indonesia yang 75 persen luasnya adalah wilayah laut memiliki potensi maritim sangat besar. Sebanyak 45 persen jalur perdagangan dunia lewat laut, dan sebagian besar di antaranya lewat perairan Indonesia.
Perjuangan diplomasi politik sebagai negara maritim telah dilakukan sejak Deklarasi Djuanda tahun 1957 hingga United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982. Akan tetapi, selama dua dasawarsa, pembangunan di sektor kelautan masih terlambat. Potensi sumber daya maritim belum sepenuhnya disadari.
Ia menambahkan, masih banyak potensi maritim yang belum dimaksimalkan dan perlu ditata, antara lain potensi perikanan tangkap dan budidaya, rumput laut, energi, serta jalur kabel dan pipa bawah laut. Rencana strategis kelautan perlu disusun. ”Kalau kita kelola semua ini, Indonesia akan jadi negara superpower,” kata Luhut.
Upaya mewujudkan kedaulatan maritim membutuhkan langkah-langkah sistematis penataan ruang laut yang tertuang dalam rencana tata ruang wilayah laut terintegrasi serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2045. Penataan ruang laut dan wilayah dinilai sama pentingnya dengan penataan ruang darat.
Menurut Trenggono, upaya mendukung ekonomi maritim berkelanjutan memerlukan tata kelola dan instrumen ruang laut yang tangguh. Kementerian Kelautan dan Perikanan kini sedang mengembangkan dua instrumen berbasis teknologi dan kecerdasan buatan untuk pengelolaan ruang laut, yakni ocean big data dan ocean accounting.
Ocean big data yang didukung perangkat seperti pesawat tanpa awak (drone) bawah air dan udara serta radar dan satelit bertujuan memetakan aktivitas di laut, mengukur kualitas perairan dan kondisi habitat. Sebanyak 20 nano satelit direncanakan dirilis dan dioperasikan mulai tahun 2024. Perangkat itu diharapkan memberikan informasi terkini kondisi pesisir dan laut untuk mendukung pengambilan keputusan dalam pengelolaan dan pemantauan sumber daya ekosistem pesisir dan laut.
Sementara itu, ocean accounting merupakan sistem manajemen data spasial dan nonspasial terintegrasi yang memberikan informasi kekayaan laut Indonesia, kegiatan pemanfaatan ruang laut, pencemaran, kerusakan, serta rehabilitasi, konservasi dan restorasi laut. Selain itu, dampak perizinan dan pemanfaatan ruang laut terhadap kualitas dan fungsi ekologi laut dalam jangka menengah dan panjang. Kualitas dan dampak pembangunan kelautan dan perikanan di antaranya tecermin pada neraca sumber daya laut.
”Kita harus mulai menjaga dan mengelola laut melalui regulasi, kebijakan, dan keputusan pengelolaan ruang laut berdasarkan data dan informasi terkini, terukur dalam skala yang detail, serta tersedia secara reguler dan periodik,” ujar Trenggono.
Trenggono menambahkan, seluruh pemangku kepentingan dapat memanfaatkan dua perangkat itu untuk pemanfaatan ruang laut dan memastikan kinerja ekonomi maritim dapat dinilai secara lebih obyektif. Kendala operasionalisasi dan pengelolaan instrumen itu dinilai dapat diatasi dengan kolaborasi lintas kementerian dan lembaga serta pelaku usaha, lembaga penelitian, dan masyarakat.