Oleh karena perhatian terhadap isu maritim melemah, atau bahkan hilang, wajar muncul tuduhan bahwa isu maritim atau kemauan untuk mengembalikan Indonesia menjadi negara maritim hanyalah ”buzzword” politik.
Oleh
Ahmad Najib Burhani
·5 menit baca
Di akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini, kita perlu melihat ulang visinya untuk mengembalikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia atau global maritime fulcrum (GMF). Visi ini disampaikan pada kampanye pemilihan presiden 2014 dan menjadi bagian penting dari Nawacita.
Pada pidato pelantikannya di hadapan DPR/MPR dan disaksikan rakyat Indonesia (20 Oktober 2014), Jokowi menegaskan bahwa inilah saatnya mengembalikan bangsa Indonesia ke jati dirinya sebagai negara maritim. ”Kita telah lama memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk. Maka, mulai hari ini, kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani. Menghadapi badai dan gelombang di atas kapal bernama Republik Indonesia,” tegas Jokowi.
Ada lima pilar dari Poros Maritim Dunia itu, yaitu: (1) pembangunan kembali budaya maritim, (2) pengelolaan sumber daya laut, (3) pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, (4) diplomasi maritim, dan (5) membangun kekuatan pertahanan maritim.
Visi di atas memiliki landasan yang sangat kokoh, yaitu kondisi dan keberadaan Indonesia sebagai negara dengan ribuan pulau dengan 84 persen dari luas wilayahnya berbentuk lautan. Meski bentuk dan kondisi dasarnya seperti itu, Indonesia sejak zaman kolonial, sadar atau tidak, telah memunggungi laut. Kita selama ini melakukan pembangunan dengan berorientasi ke daratan (land-oriented), bukan lautan. Karena itu, Jokowi ingin membalik pembangunan bangsa ini dan membawa ke bentuk naturalnya sebagai negara maritim.
Pertanyaannya, sudah sejauh mana capaian dan kesuksesan dari visi menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia itu? Ataukah itu hanya janji dan bunga-bunga politik semata? Apakah pada pemerintahan baru nanti kita akan kembali ke titik nol lagi terkait maritim ini?
Untuk mewujudkan visi maritim, Jokowi sudah mengangkat tokoh yang selama ini dikenal sebagai tangan kanannya, Luhut Binsar Pandjaitan, sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Pada masa awal pemerintahannya, di antara program yang sangat terkenal adalah pembangunan tol laut, pelabuhan laut, industri perkapalan, dan pariwisata maritim. Namun, di akhir era Jokowi saat ini, sepertinya visi ini sudah terlempar ke laut.
Seperti disebut oleh Evan Laksana (2019) dalam ”Indonesia as ’Global Maritime Fulcrum’: A Post-Mortem Analysis”, hilangnya perhatian terhadap isu maritim sudah terasa pada paruh pertama kepresidenan Jokowi. Hilangnya perhatian itu tampak semakin jelas ketika ia dilantik lagi menjadi presiden pada 2019. Dalam pidatonya, kata maritim sudah tidak muncul lagi.
Terkait diplomasi maritim, ketika diangkat lagi sebagai Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi juga tak menjadikan maritim sebagai prioritasnya. Pada laporan Kementerian Luar Negeri tahun 2023, konsep Poros Maritim Dunia itu bahkan sama sekali hilang. Kita sudah jarang atau tidak pernah mendengar lagi Jokowi menyebutkan tentang visi maritim. Ia lebih bersemangat membangun infrastruktur darat daripada laut. Tentu saja ini bisa dipahami mengingat infrastruktur darat Indonesia masih sangat kurang.
Seperti disebutkan oleh Tiola (2019) dalam ”Jokowi’s Global Maritime Fulcrum: 5 More Years?” visi Poros Maritim Dunia itu tak sepenuhnya dipunggungi Jokowi. Ada sejumlah proyek yang telah berhasil dilakukan, seperti pembangunan puluhan pelabuhan dan juga diplomasi luar negeri yang mempromosikan konsep Indo-Pasifik dengan menekankan sentralitas ASEAN di Lautan India dan Pasifik.
Secara konseptual, untuk menyukseskan visi maritim pemerintah, Bappenas sudah menerbitkan Ringkasan Prakarsa Strategis Optimalisasi Pemanfaatan Potensi Kelautan Menuju Terwujudnya Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (2016). Kemenko Maritim dan Investasi juga sudah menerbitkan Buku Putih Kebijakan Kelautan Indonesia: Menuju Poros Maritim Dunia (2016) dan Buku Putih Diplomasi Maritim (2019). Apabila maritim terus menjadi fokus, Jokowi sebetulnya bisa mencapai yang jauh lebih dari yang dilakukannya saat ini terkait upaya membangun Indonesia menjadi negara yang digdaya di lautan dan mengembalikan Indonesia ke slogan jalesveva jaya mahe (justru di laut kita jaya).
Pada 7 Juni 2023, Pusat Riset Politik (PRP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) meluncurkan buku yang diterbitkan BRIN-Springer berjudul ASEAN Maritime Security: The Global Maritime Fulcrum in the Indo-Pacific. Buku ini menjelaskan bahwa kebijakan maritim Indonesia seperti tertuang dalam konsep Poros Maritim Dunia bisa sangat menentukan dinamika regional, di mana secara geografis lautan merupakan bagian sangat penting di negara-negara ASEAN. Tidak hanya Indonesia, Malaysia, Filipina, Brunei, dan Singapura, tetapi juga anggota ASEAN yang lain. Karena itu, jika dijalankan dengan baik, strategi Poros Maritim Dunia ini akan meningkatkan posisi Indonesia di tingkat regional dan global.
Karena perhatian terhadap isu ini sudah melemah, atau bahkan hilang, wajar muncul tuduhan bahwa isu maritim atau kemauan untuk mengembalikan Indonesia menjadi negara maritim hanyalah buzzword politik, menarik untuk kampanye. Asumsi lain, untuk mewujudkan visi ini memang berat, perlu komitmen kuat, napas panjang, dan istiqomah. Jika tidak, ia hanya menjadi lip service semata. Seperti ditulis Arif Havan Oegroseno dalam pengantar untuk buku di atas, ”The road to the success of this big mission is not easy”.
Terkait Pilpres 2024, dari ketiga calon presiden yang ramai dibicarakan saat ini, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto, belum begitu terlihat siapa yang memiliki visi maritim paling kuat, yang bisa menyukseskan visi Poros Maritim Dunia, dan menjadikan Indonesia sebagai negara digdaya secara maritim. Mumpung kampanye baru akan mulai dan mumpung keketuaan ASEAN ada di Indonesia, maka perlu diingatkan kembali tentang visi mulia yang telantar ini. Banyak persoalan laut yang belum tertangani secara baik, seperti: penurunan tanah kawasan pantai Jakarta, salinasi (kadar garam) laut, sedimentasi pantai, abrasi di pulau-pulau kecil, naiknya muka air laut (sea level rise) akibat perubahan iklim, dan juga eksploitasi endangered species hiu.
Bersyukur, maritim tetap ada dalam rancangan RPJPN 2025-2045 dan Visi Indonesia Emas 2045, yaitu ”Negara Nusantara yang berdaulat, maju dan berkelanjutan”. Makna Negara Nusantara di sini adalah ”Negara kepulauan yang memiliki ketangguhan politik, ekonomi, keamanan nasional, dan budaya/peradaban bahari sebagai poros maritim dunia”.
Ahmad Najib Burhani
Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)