Kesucian dan kekeramatan bukanlah kategori substantif, melainkan kategori situasional. Sakralitas, di atas segalanya, adalah kategori penempatan yang dibuat manusia. Kekeramatan bisa diciptakan.
Oleh
Ahmad Najib Burhani
·5 menit baca
Salah satu tradisi keagamaan yang secara kuat hidup di masyarakat Indonesia adalah ziarah kubur. Ini tidak hanya dilakukan oleh umat Islam, tetapi juga umat lain dengan nama yang berbeda. Tradisi ini sangat terlihat pada saat menjelang Ramadhan atau di bulan Ruwah dalam kalender Jawa, saat hari raya Idul Fitri, dan juga saat hari raya Natal. Masyarakat berkumpul di tempat tertentu atau datang ke kuburan untuk membaca Al Quran, berdoa untuk leluhur, tahlil, sekaligus membersihkan makam dan menaburinya dengan bunga.
Selain di hari besar, beberapa masyarakat di Jawa juga melakukan ziarah kubur setiap hari Jumat atau saat memiliki hajat (keperluan) tertentu, seperti ujian sekolah, menjelang pernikahan, dan upacara life cycle lain. Meski ada kelompok agama, baik Islam maupun Kristen, yang tidak melakukan atau bahkan menentangnya, tradisi ini tetap bertahan, dirawat, dan berkembang pada kelompok masyarakat lain.
Tradisi ziarah ke makam orangtua atau keluarga yang disebutkan di atas sebetulnya hanyalah satu jenis dari tradisi ziarah kubur yang ada di Indonesia. Tradisi ziarah kubur lain dilakukan ke makam keramat, ulama, wali (saint), dan tokoh bangsa atau tokoh penting lain di masyarakat lokal dan internasional. Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) dan Zuhairi Misrawi, Duta Besar Indonesia untuk Tunisia, termasuk yang rajin berziarah kubur. Beberapa orang Indonesia bahkan berziarah dan berdoa di makam Christiaan Snouck Hurgronje di Belanda atau makam Martin Heidegger di Jerman.
Tradisi ziarah ke makam wali yang paling terkenal tentu saja ziarah ke makam wali songo yang tersebar di Jawa. Ini menjadi satu perjalanan rohani (pilgrimage) rutin yang banyak dilakukan seusai hari raya Idul Fitri, terutama pada saat musim haji yang tahun 2023 ini jatuh di bulan Juni. Ziarah wali songo ini bahkan banyak digabung dalam wisata spiritual atau religious tourism yang biasanya diikuti rombongan sejumlah bus dari sejumlah daerah.
Karena minat wisata rohani seperti ziarah wali songo ini cukup besar diminati masyarakat kita, seperti ditulis Syaifudin Zuhri dalam bukunya, Wali Pitu and Muslim Pilgrimage in Bali, Indonesia: Inventing a Sacred Tradition (2022), muncul ziarah wali pitu untuk mengunjungi makam-makam tokoh Islam di Bali. Dalam dekade terakhir, beberapa pesantren dan masyarakat Jawa berbondong mengikuti ziarah ini.
Tidak hanya ke Bali, ziarah kubur ini juga masuk ke negara tetangga, seperti Singapura. Salah satu yang dikunjungi adalah makam kemarat Habib Noh atau yang bernama lengkap Sayyid Noh bin Sayyid Mohamad bin Sayyid Ahmad Al-Habshi di Palmer Road. Tokoh yang disebut sebagai The Grand Saint of Singapore ini menjadi destinasi wisata dari masyarakat Indonesia dan banyak diziarahi, terutama pada saat haulnya.
Ketika sebuah kuburan menjadi destinasi wisata spiritual dan mendatangkan keuntungan ekonomi bagi masyarakat sekitar atau pemerintah, muncul sebuah konsep yang disebut Syaifudin Zuhri sebagai wong kang mati nguripi wong kang urip (orang mati yang justru memberi penghidupan kepada orang yang masih hidup). Ini barangkali konsep yang bisa dipakai kalau hendak melihat muncul dan berkembangnya ziarah spiritual dari sisi ekonomi atau market.
Pertanyaan akademiknya, bagaimana bisa muncul wali pitu di Bali yang mirip dengan wali songo di Jawa? Atau, pertanyaan yang lebih mendasar, bagaimana sebuah makam bisa menjadi makam keramat atau makam suci yang penting untuk diziarahi?
Pertanyaan di atas membawa kita pada perdebatan klasik antara Mircea Eliade dan Jonathan Z Smith tentang tempat suci (sacred space). Eliade dalam The sacred and the profane: The nature of religion (1987) dan tentunya beberapa umat beragama percaya bahwa tempat-tempat suci yang mereka kunjungi, termasuk kuburan keramat, itu menjadi suci atau keramat karena Tuhan memang telah menjadikannya suci melalui ayat-ayatnya atau berkat keberadaan jasad mulia yang dimakamkan di sana atau memang tanahnya menyimpan elemen-elemen kesucian dan keistimewaan yang berbeda dari tanah lainnya.
Atau, seperti disebut Joel P Brereton dalam artikelnya di The encyclopedia of religion yang berjudul ”Sacred Space” (1987, Vol 12:526), secara obyektif, dan tidak hanya secara subyektif, suatu tempat suci itu berbeda dengan daerah sekitarnya karena ia tidak secara asal atau semaunya sendiri menjadi suci. Suatu tempat menjadi suci itu bukanlah sepenuhnya ciptaan atau pilihan manusia. Ia menjadi suci karena memang karakternya yang unik. Dan karakter atau sifat itu tidak dapat diberikan semata-mata oleh tindakan atau kreasi manusia, tetapi perlu kekuatan lain.
Berbeda dari Eliade dan Brereton, Smith tidak percaya bahwa suatu tempat suci itu memang dari sono-nya atau since the time of beginning adalah suci. Ada proses inventing atau konstruksi dan inovasi untuk menjadikan sebuah tempat yang awalnya biasa saja kemudian bisa dianggap keramat. Ia menjadi suci karena proses-proses tertentu yang mengubah statusnya dari makam biasa.
Di buku To Take Place: Toward Theory in Ritual (1987, 104), Smith menyebutkan bahwa tidak ada kuburan atau tempat lain yang saat ini kita anggap suci itu yang secara inheren suci atau profan. Kesucian dan kekeramatan itu bukanlah kategori substantif, melainkan kategori situasional. Sakralitas, di atas segalanya, adalah kategori penempatan yang dibuat manusia.
Makanya, bisa saja terjadi kesalahan. Beberapa guyonan Gus Dur menyinggung cerita tentang proses kreasi dan invensi makam keramat seperti itu. Satu makam yang diduga sebagai makam keramat dan karenanya dikunjungi banyak orang untuk berdoa, ternyata di dalamnya kosong atau makam orang biasa saja. Makam Kyai Haji Ahmad Dahlan di Kampung Karangkajen Yogyakarta, misalnya, baru dibangun belakangan dan banyak orang Muhammadiyah sendiri yang ragu apakah betul di situ letak beliau dulu disemayamkan. Demikian pula dengan makam Syekh Yusuf al-Makasari yang ada di lima tempat, termasuk di Cape Town Afrika Selatan dan Makassar Indonesia.
Syaifudin Zuhri, dalam buku tentang wali pitu di atas juga menuliskan tentang proses bagaimana penciptaan kekeramatan sebuah makam itu terjadi. Secara singkat, ada tiga tahapan, yaitu: Memory-making, canonization, dan branding.Memory-making dilakukan, misalnya, dengan penciptaan identitas dilengkapi dengan cerita tentang keajaiban atau keistimewaan. Canonization dilakukan melalui proses mediatisation seperti penulis buku Manaqib Wali Pitu, materialization dengan memilih atau membangun atau menghias fisik makam, visualization dengan pembuatan dan penyebaran foto yang mirip deretan wali songo untuk wali pitu di Bali, dan ritualization dengan penulisan doa dan tahapan ritual. Proses berikutnya adalah membuat branding terkait wisata spiritual Islam ke Bali itu.