Pembangunan sektor maritim menjadi tren masa depan. Namun, masih ada pekerjaan rumah untuk mendorong sektor maritim yang berkelanjutan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan maritim menjadi prioritas di masa depan. Indonesia kini dalam jalan panjang membangun ekonomi maritim, peradaban, dan kekuatan maritim. Namun, tata kelola laut yang masih berorientasi daratan menjadi hambatan dalam membangun masa depan maritim yang tidak merusak lingkungan.
Pada tahun 2045, kontribusi produk domestik bruto (PDB) maritim terhadap PDB nasional ditargetkan mencapai 12,5 persen. Target PDB maritim itu meningkat dari tahun 2015, yakni 6,4 persen dari total PDB.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengemukakan, sektor maritim berperan penting dalam mencapai Visi Indonesia Emas 2045, yakni ”Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan”. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, pemanfaatan sektor maritim selain difokuskan pada upaya meningkatkan kontribusi moneter, juga perlu memperhatikan keberlanjutan sumber daya kelautan.
Kontribusi maritim terhadap PDB ditargetkan mencapai 12,5 persen pada 2045 dengan berfokus pada pembangunan konektivitas laut yang efisien dan efektif, industrialisasi perikanan yang berkelanjutan dan berdaya saing, serta pariwisata bahari yang inklusif. Dalam jangka panjang, Indonesia membutuhkan ekonomi, peradaban, dan kekuatan maritim.
Suharso menilai, masih banyak pekerjaan rumah untuk membangun ekonomi maritim, termasuk sektor kelautan dan perikanan yang berkelanjutan. Laut merupakan bagian terluas dari wilayah Indonesia, tetapi strategi pembangunan ekonomi maritim masih menggunakan pendekatan kontinental. Cara pandang berorientasi darat itu dinilai masih dimiliki sebagian penduduk sehingga mengganggu ekosistem laut.
Suharso mencontohkan, cara pandang daratan dalam melihat laut sebagai tempat ikan adalah mengambil ikan begitu saja dan memanfaatkannya. Hampir tidak ada pertanyaan terkait apakah ikan tersebut memang boleh diambil.
”Sekarang seakan-akan kita (mengalami) disorientasi. Ada gagasan kelautan yang luar biasa, tetapi kita mendekati laut dengan pandangan darat,” ujarnya dalam Seminar Penguatan Tata Kelola Kelautan Berkelanjutan dan Berkeadilan dalam Rencana Pembangunan Nasional, di Jakarta, yang digelar secara hibrida, Selasa (8/8/2023).
Ia menambahkan, hal lain yang perlu dilakukan selain ekonomi maritim adalah peradaban maritim. Peradaban maritim menciptakan kualitas sumber daya yang unggul serta inovasi teknologi kemaritiman dan budaya maritim yang kuat sebagai basis peradaban bahari.
Laut merupakan bagian terluas dari wilayah Indonesia, tetapi strategi pembangunan ekonomi maritim masih menggunakan pendekatan kontinental.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Mochammad Firman Hidayat mengemukakan, pembangunan berkelanjutan dalam ekonomi biru memerlukan penguatan kapasitas negara dalam pengelolaan, pemanfaatan, dan inovasi sumber daya berbasis laut yang berkelanjutan melalui ilmu pengetahuan, teknologi, dan digital transformasi. Upaya penguatan kapasitas ini tercantum dalam National Blue Agenda Actions Partnership (NBAAP).
Disampaikan CEO Indonesia Ocean Justice Initiative Mas Achmad Santosa, konsep kelautan berkelanjutan dan berkeadilan perlu diterapkan dalam berbagai kebijakan dan perencanaan pembangunan khususnya terkait pengelolaan sumber daya laut. RPJPN 2025-2045 dan RPJMN 2025-2029 perlu memberikan definisi atas konsep ekonomi biru yang mengadopsi konsep keberlanjutan secara kuat dengan memprioritaskan keadilan laut.
”Target-target dalam RPJMN juga perlu merefleksikan tiga prinsip utama ekonomi kelautan berkelanjutan, yaitu perlindungan efektif, pemanfaatan berkelanjutan, dan kesejahteraan yang berkeadilan,” ujar Mas Achmad.
Ekonomi biru perlu keberlanjutan menjadi tren ekonomi ke depan, tidak hanya dalam penyediaan pangan, tetapi juga berkembangnya teknologi.
Direktur Konektivitas Global IPB University Eva Anggraini mengemukakan, ekonomi biru perlu keberlanjutan menjadi tren ekonomi ke depan, tidak hanya dalam penyediaan pangan, tetapi juga berkembangnya teknologi. Namun, ada tantangan ekonomi biru secara global, yakni bersumber dari perikanan berlebih, degradasi habitat, perdagangan tidak adil, perubahan iklim, dan pembangunan yang tidak terencana dan teratur.
”Teknologi dan ekonomi perlu dikembangkan untuk pertumbuhan, serta mempertahankan pelestarian lingkungan dan dampak sosial yang baik, konektivitas antarwilayah, dan keberlanjutan,” ujarnya.
Eva juga menambahkan, pencapaian ekonomi biru memerlukan empat aspek, yakni investasi dan penguatan tata kelola dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya alam, mengoptimalkan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan infrastruktur, serta akses bagi masyarakat dan pembiayaan berkelanjutan.