Urai Benang Kusut Utang Harga Minyak Goreng Pemerintah
Pengusaha ritel telah menanggung selisih harga agar masyarakat memperoleh minyak goreng secara terjangkau hingga mencapai Rp 344 miliar. Namun, dengan alasan aturan yang berlaku, pemerintah berkelit untuk membayarnya.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Pedagang di Pasar Cihapit, Kota Bandung, Jawa Barat, menunjukkan sejumlah minyak goreng kemasan, Kamis (20/1/2022). Di pasar ini, harga minyak goreng masih dalam kisaran Rp 20.000.
Penundaan pembayaran utang minyak goreng oleh pemerintah berpotensi mencederai kepercayaan peritel sekaligus pelaku usaha dan industri. Pengusaha ritel telah menjalankan kewajibannya menanggung selisih harga jual agar masyarakat memperoleh minyak goreng secara terjangkau hingga mencapai Rp 344 miliar. Namun, dengan alasan aturan yang berlaku, pemerintah berkelit membayar selisih itu.
Pada Januari 2022, Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Bank Indonesia mencatat, rata-rata nasional harga minyak goreng di pasar tradisional dan pasar modern masing-masing Rp 20.150 per kilogram (kg) dan Rp 20.500 per kg. Pada Februari dan Maret 2022, harga di pasar tradisional mencapai Rp 18.900 per kg dan Rp 20.850 per kg, sedangkan di pasar modern berada di posisi Rp 16.850 per kg dan Rp 17.650 per kg.
Pelaku ritel bahu-membahu menahan harga minyak goreng di pasar modern di bawah Rp 20.000 per kg ketika pasar ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) saat itu tengah menggoda. Bahu-membahu itu dilandasi oleh Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Pasal 7 regulasi tersebut menjanjikan, pelaku usaha akan mendapatkan dana kompensasi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dana itu dihitung dari selisih harga eceran tertinggi (HET) dan harga keekonomian yang ditawarkan pasar. Adapun HET yang ditetapkan ketika itu Rp 14.000 per liter.
Sepekan kemudian, Permendag No 6/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit mencabut Permendag No 3/2022. Pasal 12 Ayat 1 aturan itu masih meminta BPDPKS membayar dana pembiayaan minyak goreng kemasan kepada pelaku usaha yang terdaftar telah melaksanakan penyediaan minyak goreng sampai 31 Januari 2023 dan diverifikasi oleh surveyor sesuai dengan permendag yang dicabut.
Belum genap tiga bulan, Permendag No 6/2022 dicabut dengan diterbitkannya Permendag No 11/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Curah yang diundangkan pada 16 Maret 2022. Sayangnya, aturan tersebut tidak lagi menyebutkan soal pembayaran pada pelaku usaha yang melaksanakan penyediaan minyak goreng dan diverifikasi surveyor.
Tak sampai setahun, Permendag No 11/2022 digugurkan oleh Permendag No 49/2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Rakyat. Lagi-lagi, kalimat mengenai pembayaran pada pelaku usaha yang melaksanakan Pasal 7 Permendag No 3/2022 tak ada dalam aturan yang ditandatangani Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan.
Pelaku usaha yang menanggung selisih sesuai Pasal 7 Permendag No 3/2022 ialah kalangan peritel. Data Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menunjukkan, total utang pemerintah terkait selisih harga minyak goreng pada awal 2022 mencapai Rp 344 miliar. Angka ini ditanggung oleh 31 perusahaan anggota Aprindo.
Ketua Umum Aprindo Roy N Mandey menuturkan, Komisi VI DPR telah meminta Kementerian Perdagangan menyelesaikan pembayaran selisih harga itu. Opini hukum dari Kejaksaan Agung serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, klaimnya, menyatakan hal yang sama.
”Sekarang, infonya Kemendag menanyakan (soal pembayaran utang selisih minyak goreng) kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Aprindo menilai, pelaku usaha merasa dipermainkan,” ujarnya saat ditemui di kawasan Pasar Rebo, Jakarta, Jumat (8/9/2023).
SAIFUL RIJAL YUNUS
Meski pemerintah telah menghapus kebijakan harga eceran tertinggi untuk minyak goreng sederhana dan premium, harga minyak di Kendari masih capai Rp 50.000 per liter, Kamis (17/3/2022). Tidak hanya itu, stok minyak goreng masih sulit ditemui, baik di pasar maupun di toko ritel.
Karena belum ada gelagat pembayaran utang tersebut, Roy menyatakan, pelaku ritel pun memotong pelunasan tagihan kepada produsen minyak goreng sesuai dengan nilai selisih yang ditanggung. Dia mengilustrasikan, produsen mengirim 1.000 kemasan minyak goreng kepada ritel. Namun, ritel hanya membayar 100 kemasan.
Pemotongan pembayaran tagihan itu, lanjut Roy, berisiko membuat produsen minyak goreng mengerem pasokannya ke ritel. Risiko ini makin berasa bagi masyarakat di ritel yang berada di luar Jakarta dengan terbatasnya opsi sumber pasokan.
Sebelumnya, dari sisi produsen minyak goreng, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyatakan mengerti dengan langkah yang dilakukan Aprindo.
Perilaku pemerintah yang belum membayar utang selisih harga minyak goreng berpotensi diperhatikan oleh investor asing. Pelaku usaha pun bisa merasa sulit percaya kepada pemerintah.
Dia juga menggarisbawahi, perilaku pemerintah yang belum membayar utang selisih harga minyak goreng berpotensi diperhatikan oleh investor asing. Pelaku usaha pun bisa merasa sulit percaya kepada pemerintah.
Di sisi lain, Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menyatakan telah menerima fatwa dari Kejaksaan Agung yang menyatakan Kementerian Perdagangan perlu mengacu pada aturan yang berlaku. ”Peraturan yang berlaku sekarang yang mana? Ya, kami mengacu pada aturan terkini. Memang ada dampak dari keputusan terbaru (aturan terkini), ya, kita bicarakan bersama,” katanya.
Mata pelaku usaha, khususnya kalangan peritel hingga investor, tengah terfokus kepada Kementerian Perdagangan. Pemerintah diharapkan segera menuntaskan utangnya pada mereka. Jangan korbankan kepercayaan peritel yang sudah membuktikan andilnya dalam mengendalikan harga minyak goreng.