Kehadiran korporasi besar beras memang menguntungkan petani karena mampu membeli gabah petani dengan harga tinggi. Namun, hal itu dapat mematikan penggilingan padi kecil dan membebani konsumen.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pembeli membayar beras yang dibeli di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Kamis (31/08/2023). Badan Pusat Statistik memperkirakan, produksi beras pada Juli-September 2023 sebanyak 7,24 juta ton, turun 4,2 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya.
JAKARTA, KOMPAS - Dampak El Nino bukan satu-satunya tantangan sektor perberasan pada akhir dan awal tahun ini. Ada juga persoalan lain yang perlu dicari solusinya oleh pemerintah dan pemangku kepentingan terkait, yakni perlunya keadilan usaha perberasan dan harga beras.
Hal itu mengemuka dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (4/9/2023). Agenda parlemen yang digelar secara hibrida itu dihadiri Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan.
Anggota Komisi VI DPR Ananta Wahana mengatakan, kehadiran korporasi beras beras memang menguntungkan petani karena mampu membeli gabah petani dengan harga tinggi. Namun, hal itu dapat mematikan penggilingan-penggilingan padi skala kecil.
Di Serang, Banten, misalnya, sudah banyak penggilingan padi kecil yang berhenti operasi karena kalah bersaing mendapatkan gabah. Penutupan itu juga menyebabkan pengangguran. Rerata penggilingan kecil itu memiliki 10 pekerja.
Di sisi lain, lanjut Ananta, pembelian gabah di tingkat petani dengan harga tinggi mendongkrak harga beras. Konsumen, khususnya masyarakat kelas bawah, menjadi terbebani.
”Pemerintah diharapkan mencari solusi ini agar petani tetap untung, penggilingan padi kecil tidak mati dan bisa mempertahankan pekerja, serta konsumen tidak terbebani kenaikan harga beras,” ujarnya.
Pemerintah diharapkan mencari solusi ini agar petani tetap untung, penggilingan padi kecil tidak mati dan bisa mempertahankan pekerja, serta konsumen tidak terbebani kenaikan harga beras.
Sementara itu, Badan Pangan Nasional mencatat, harga rata-rata nasional gabah kering panen (GKP) di tingkat petani dan beras medium di tingkat pedagang eceran per 4 September 2023 masing-masing Rp 6.200 per kilogram (kg) dan Rp 12.510 per kg. Dalam sebulan, harga GKP dan beras medium masing-masing naik 12,52 persen dan 4,86 persen.
Harga GKP tersebut sudah di atas harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp 5.000 per kg GKP. Begitu juga dengan beras medium, harganya sudah di atas harga eceren tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah Rp 10.900 per kg.
Kembali terulang
Berdasarkan catatan Kompas, kenaikan harga GKP menjelang dan awal musim panen raya tahun ini juga dipengaruhi pembelian GKP dengan harga yang tinggi oleh korporasi besar. Adu serap gabah dan beras terjadi di sejumlah daerah lumbung beras pada musim panen pertama tahun ini. Para pemilik modal besar dinilai menjadi penentu harga dan pemenang, sementara pelaku usaha penggilingan skala kecil dan Perum Bulog dibuat ”melongo”.
BPMI SEKRETARIAT PRESIDEN/RUSMAN
Presiden Joko Widodo meninjau sentra penggilingan padi milik Bulog di Sragen, Jawa Tengah, Sabtu (11/3/2023).
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Hery Sugihartono mengatakan, petani mendapatkan bayaran tunai di tempat. Harga GKP tertinggi pada waktu itu mencapai Rp 6.800 per kg. Hal itu membuat penggilingan kecil di Demak tak bisa langsung menyerap gabah petani. Harga serapan yang tinggi itu akhirnya mendongkrak harga GKP petani di daerah-daerah lain (Kompas, 14 Maret 2023).
Ketika dihubungi dari Jakarta, Senin (4/9/2023), Hery mengaku, kondisi serupa juga sudah mulai terjadi. Gabah petani yang baru dipanen dan sisa gabah petani yang dipanen di musim sebelumnya sudah berada di kisaran Rp 6.000-Rp 7.000 per kg.
Menanggapi hal itu, Zulkifli Hasan mengatakan, harga gabah dan beras memang tengah naik. Kekeringan akibat El Nino telah memengaruhi psikologi pasar. Pemerintah menjamin cadangan beras pemerintah (CBP) di Perum Bulog tetap aman hingga awal tahun dengan target sebanyak 2 juta ton.
Saat ini, CBP di Bulog sebanyak 1,6 juta ton dan diperkirakan akan bertambah lagi sebanyak 400.000 ton dari impor. Bulog juga tengah berupaya menyerap hasil panenan di musim gadu ini untuk menambah CBP.
”Bulog seharusnya mampu menyerapnya. Jika korporasi besar beras membeli GKP petani Rp 6.000 per kg, Bulog seharusnya bisa membeli dengan harga itu. Nanti, kekurangannya, yakni Rp 1.000 per kg, bisa disubsidi pemerintah,” kata Zulkifli yang juga menilai subsidi pembelian gabah petani Rp 1.000 per kg lebih rendah dibandingkan subsidi bahan bakar minyak.
Jika korporasi besar beras membeli GKP petani Rp 6.000 per kg, Bulog seharusnya bisa membeli dengan harga itu. Nanti, kekurangannya, yakni Rp 1.000 per kg, bisa disubsidi pemerintah.
Terkait dengan beban konsumen, Zulkifli menyatakan pemerintah sudah mulai menggulirkan bantuan 10 kg beras bagi masyarakat tidak mampu per September 2023. Bantuan yang seharusnya dimulai pada Oktober 2023 itu dipercepat menjadi September 2023 untuk menopang daya beli dan meredam kenaikan harga beras. Adapun menyangkut persaingan penggilingan besar dan kecil, Kemendag akan berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait untuk menatanya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pedagang bahan pangan melayani pelanggannya di Pasar Lama Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, Senin (5/6/2023).
Minyak goreng
Selain beras, sejumlah anggota Komisi VI DPR juga mempersoalkan minyak goreng. Persoalan itu menyangkut HET dan pemerintah yang belum membayar utang rafaksi minyak goreng kepada para peritel modern yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo).
Wakil Ketua Komisi VI DPR Martin Manurung berpendapat, HET minyak goreng perlu penyesuaian kembali karena sudah cukup lama bertahan di Rp 14.000 per liter. Saat ini, harga Minyakita sudah di atas Rp 15.000 per liter dan minyak goreng curah Rp 14.800 per liter.
”Harganya sudah di atas HET. Hal itu sudah berlangsung lama dan dari sisi pasar HET itu tidak tercapai. Oleh karena itu, HET minyak goreng perlu disesuaikan dengan kondisi pasar dan kondisi daya beli masyarakat,” kata Martin.
Sementara itu, anggota Komisi VI DPR Mufti Anam meminta Kementerian Perdagangan segera menyelesaikan utang rafaksi terhadap Aprindo senilai Rp 344 miliar. Kementerian Perdagangan tidak jangan sampai mengabaikan ancaman Aprindo yang akan tidak akan menjual minyak goreng di jaringan ritel modern.
”Aprindo menjadi penyelamat ketika minyak goreng langka dan harganya tinggi. Jika utang tidak dibayar dan suatu saat kondisi itu terjadi lagi, saya khawatir Aprindo tidak mau bekerja sama lagi dengan pemerintah untuk mengatasinya,” katanya.
Terkait dengan utang rafaksi minyak goreng itu, Kementerian Perdagangan akan bertemu dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk membahasnya. Hal itu akan dibahas dalam rapat koordinasi terbatas dalam waktu dekat ini.