Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah perlu membangun merek atau jenama, tak hanya berorientasi pada perdagangan produk atau jasanya. Konsumen pun perlu belajar mencintai merek lokal untuk mendorong kemajuan UMKM.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
KOMPAS/YOSEPHA DEBRINA R PUSPARISA
Seorang pengunjung menjajal beragam properti pemotretan dalam Pameran Puncak Indonesia UMKM (ISSE) 2023 di ICE BSD, Tangerang, Banten, Selasa (29/8/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM dalam membangun merek masih rendah. Padahal, unsur tersebut merupakan aset tak berwujud yang menentukan masa depan produk. Seluruh pihak perlu bekerja sama untuk membangun kesadaran merek.
Asisten Deputi Kemitraan dan Perluasan Pasar Kementerian Koperasi dan UKM Pixy menyayangkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Indonesia yang kurang memperhatikan pentingnya merek atau jenama. Pelaku usaha mikro, khususnya, masih mementingkan dagangan yang laku. Sementara merek-merek lain dengan merek yang berpengaruh dan cukup dikenal malah diakusisi atau dibeli pelaku usaha asing.
”Brand (merek) adalah hal yang sangat penting karena intangible asset yang sangat besar nilainya,” tutur Pixy saat membuka Pameran Puncak Indonesia UMKM (ISSE) 2023 di ICE BSD, Tangerang, Banten, Selasa (29/8/2023).
Dalam acara itu, hadir pula Wakil Ketua Umum II Bidang Perekonomian Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Franky Oesman Widjaja; pendiri Sevenpreneur, Raymond Chin; serta CEO Desty, Mulyono. Pameran ISSE 2023 mewadahi masyarakat untuk mencari inspirasi, memulai usaha, dan mendapatkan koneksi bisnis.
Berbicara soal jenama, penilaian serupa dengan Pixy diutarakan Raymond.
”Kalau enggak ada brand dan cuma berdagang, barang itu hanya komoditas,” kata Raymond.
KOMPAS/YOSEPHA DEBRINA R PUSPARISA
Wakil Ketua Umum II Bidang Perekonomian Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Franky Oesman Widjaja (tengah, kedua dari kanan) bersama Asisten Deputi Kemitraan dan Perluasan Pasar Kementerian Koperasi dan UKM Pixy (ketiga dari kanan) mengunjungi gerai pameran UMKM di ICE BSD, Tangerang, Banten, Selasa (29/8/2023).
Pelaku usaha perlu membangun merek yang tak hanya sekadar logo, gambar, atau nama. Cerita di balik merek, upaya meraih empati masyarakat, serta pesan yang ingin disampaikan jenama perlu dikelola agar melekat pada masyarakat.
Pembahasan merek menunjukkan pula persoalan kesenjangan keahlian (skill gap). Para pelaku UMKM semestinya dapat berpikir lebih jauh bahwa menjalankan usaha itu tak hanya berorientasi pada jumlah produk yang berhasil diperdagangkan. Namun, ia juga dapat memikirkan metode penjualan, distribusi, dan cara memaksimalkan performa iklan.
Hal itu menunjukkan sejumlah komponen perlu diperhitungkan untuk mendapat ceruk pasar signifikan. Idealnya, UMKM Indonesia dapat mengantongi pangsa pasar terbesar atas konsumsi negara sendiri, diikuti produksi secara domestik pula.
”Kadang, masalahnya setelah itu bukan skill, tapi kemauan. Enggak banyak orang mau mendorong (diri) sampai pada tahap tertentu. Jadi tantangannya itu,” ujar Raymond.
Pemerintah menargetkan ada 30 juta UMKM yang memanfaatkan konsep ekonomi digital pada 2024. Hingga saat ini, sekitar 21 juta UMKM yang menggunakan konsep tersebut. Guna mengejar kekurangannya, pemerintah tak dapat bergerak sendiri, sehingga dibutuhkan kerja sama pihak lain.
KOMPAS/YOSEPHA DEBRINA R PUSPARISA
Seorang pedagang (live streamer) tengah menawarkan produk-produknya secara daring di ICE BSD, Tangerang, Banten, Selasa (29/8/2023).
ISSE 2023 terdiri atas sejumlah rangkaian acara. Beberapa di antaranya berupa panggung konferensi, yakni 15 sesi panel dengan puluhan pembicara yang akan berbagi wawasan mengenai berbagai aspek bisnis; area siaran langsung (live streaming), yaitu demonstrasi langsung dari sejumlah pelaku siaran sehingga pengunjung dapat mempelajari trik berjualan daring; serta ruang pengalaman yang memungkinkan pengunjung mendapat ide juga solusi langsung dari beberapa perwakilan lokapasar.
Kesenjangan kemampuan
Kesadaran pentingnya jenama bagi para pelaku UMKM dapat dilakukan antara pemerintah dan pihak swasta. Sebab, merek dengan ciri khas yang kuat makin diminati generasi muda.
Pixy mengakui, meningkatkan kesadaran pelaku usaha UMKM butuh kolaborasi dari banyak pihak. Pihaknya tak mampu bergerak sendiri menuntaskan persoalan ini.
”Saya lihat malah banyak dari pihak swasta yang justru membantu membangun brand awareness agar UMKM bangga dengan mereknya,” katanya.
KOMPAS/YOSEPHA DEBRINA R PUSPARISA
Asisten Deputi Kemitraan dan Perluasan Pasar Kementerian Koperasi dan UKM Pixy menjawab pertanyaan wartawan di ICE BSD, Tangerang, Banten, Selasa (29/8/2023). Ia menyayangkan mayoritas pelaku UMKM Indonesia saat ini belum memedulikan pentingnya jenama atau merek.
Pemerintah dapat mempersempit kesenjangan kemampuan antarpelaku UMKM. Gerakan kolektif dibutuhkan untuk membina mereka.
Raymond mengatakan, ia tak berharap banyak pada pemerintah untuk membina hingga ke level terkecil atau personal. Alasannya, berkaca dari negara-negara maju lainnya, pemerintah tersebut pun memberikan pendidikan dasar secara umum, tetapi tak menyentuh pembinaan secara pribadi. Namun, pemerintah Indonesia bisa menyusun konsep yang jelas terkait regulasi dan perizinan dalam sektor UMKM.
”Mereka juga melakukan investasi yang tepat untuk meningkatkan (kemampuan) masyarakat,” ujar Raymond.
Saat ini, bantuan dana penting untuk pembinaan. Pemerintah juga dapat menyubsidi potongan-potongan biaya bagi UMKM yang menjual produknya di lokapasar.
KOMPAS/YOSEPHA DEBRINA R PUSPARISA
Pendiri Sevenpreneur, Raymond Chin, menggalakkan konsep revolusi lokal di ICE BSD, Tangerang, Banten, Selasa (29/8/2023). Ia mendorong agar masyarakat sebagai konsumen belajar mencintai produk lokal, produsen dapat menjalankan usahanya dari hulu hingga hilir dilakukan dalam negeri.
Masyarakat sebagai konsumen pun perlu mendukung pelaku usaha UMKM dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berkembang. Salah satunya dengan menggunakan produk lokal.
”Rantai suplai kita, manufaktur kita, memang enggak secanggih luar (negeri), tapi selama ada nasionalisme, orang-orang (pelaku UMKM) sadar untuk mencoba lagi (memperbaiki produknya). Jadi, konsumsi lokal biar uang beredar di negara kita sendiri,” kata Raymond sekaligus pengusaha ini.
Pembinaan melekat bagi UMKM juga didorong Franky. Saat ini, Indonesia memiliki beragam metode untuk menyinergikan kerja sama berbagai pihak, tinggal bagaimana menyamakan arah dan visi. Jangan ada tarik-menarik, perbedaan tujuan.
”UMKM (dapat) naik kelas melalui inclusive closed loop model. Bagaimana kita bisa memberikan pendampingan melekat untuk UMKM supaya bisa menikmati apa yang didapatkan perusahaan besar,” ujar Franky.