Inkusivitas belum tercermin dalam program Just Energy Transition Partnership. Program kemitraan transisi energi berkeadilan harus dirasakan manfaatnya untuk semua kalangan termasuk masyarakat lokal.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
Indonesia mencanangkan beragam mekanisme kerja sama pendanaan iklim global, khususnya untuk mempercepat program transisi energi, salah satunya Kerja Sama Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP). Mekanisme kerja sama ini telah disepakati oleh para pemimpin negara dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada 2022 dan telah dibentuk Sekretariat Tim Kerja JETP.
Kalangan praktisi dan aktivis mulai menyoroti berbagai hal terkait implementasi JETP, salah satunya terkait aspek keadilan percepatan pendanaan transisi energi. Sebab, aspek keadilan kerap menjadi tantangan dalam konteks pembangunan ataupun kebijakan yang terjadi selama ini, termasuk di sektor energi.
Menurut Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira dalam diskusi media tentang JETP, pekan lalu, upaya transisi energi melibatkan berbagai aspek, seperti peralihan pekerjaan, ekonomi, dan pendapatan. Oleh karena itu, berbagai negosiasi terkait pendanaan transisi energi, khususnya JETP, juga harus mengedepankan aspek komunitas, seperti masyarakat lokal atau adat.
”Jangan kemudian kita melihat transisi energi ini untuk mengembangkan energi padat modal, seperti geotermal dan pembangkit listrik tenaga air skala besar. Keuntungan ini justru akan mengalir ke pihak yang terlibat dalam pengembangan energi fosil,” ujarnya.
Bhima menambahkan, pengembangan proyek transisi energi skala besar kerap tidak dirasakan manfaatnya secara signifikan oleh masyarakat lokal. Hal ini juga ditunjukkan dari program JETP di Afrika Selatan yang tidak melihat dampaknya terhadap masyarakat setelah penghentian lebih dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.
Bhima menekankan, konteks keterlibatan masyarakat atau komunitas lokal perlu terus disuarakan dalam program JETP. Sebab, selama ini komunitas sudah memiliki modal sosial dan keterampilan untuk melakukan transisi energi di lingkup area yang paling kecil.
Jadi, sudah tak ada alasan lagi komunitas ini dikesampingkan dalam transisi energi. Keahlian masyarakat juga akan semakin terasah apabila diberikan kesempatan, seperti satu atau dua kali pelatihan.
Transisi energi yang dilakukan komunitas lokal berpotensi dikembangkan selama area tersebut memiliki aliran irigasi, sungai, atau pancaran surya. Melalui sumber energi tersebut, komunitas bisa membangun mikrohidro atau panel surya. Pembangunan pembangkit listrik tenaga air atau tenaga surya juga dapat dengan mudah dilakukan seiring dengan biaya instalasi panel surya ataupun teknologi mikrohidro yang akan semakin murah ke depan.
”Jadi, sudah tak ada alasan lagi komunitas ini dikesampingkan dalam transisi energi. Keahlian masyarakat juga akan semakin terasah apabila diberikan kesempatan, seperti satu atau dua kali pelatihan. Selanjutnya, merekalah yang akan melakukan perawatan jika ada kerusakan pada teknologi atau alat energi terbarukan di skala komunitas,” tuturnya.
Pengampanye 350 Indonesia, Suriadi Darmoko, menambahkan, dalam implementasi JETP sangat dimungkinkan untuk melibatkan peran komunitas. Bahkan, pendanaan JETP juga berpotensi diarahkan ke komunitas agar turut berkontribusi dalam pencapaian target penurunan emisi dan bauran energi terbarukan di sektor pembangkit listrik sebesar 34 persen pada 2030.
”Namun, sejak kesepakatan JETP ditandatangani, kita tidak mendengar satu berita atau informasi dari pemerintah terkait porsi pendanaan yang akan diberikan kepada komunitas. Bahkan, Pemerintah Indonesia tidak mempromosikan hal ini,” ucapnya.
Suriadi menyebut pendanaan JETP untuk masyarakat memiliki banyak manfaat. Manfaat tersebut di antaranya untuk memperkuat kemandirian energi, mentransisikan sumber listrik berbasis energi fosil, dan meningkatkan adaptasi terhadap krisis iklim.
Sejak kesepakatan JETP ditandatangani, kita tidak mendengar satu berita atau informasi dari pemerintah terkait porsi pendanaan yang akan diberikan kepada komunitas.
Selain itu, pendanaan JETP untuk masyarakat secara tidak langsung juga akan melindungi kawasan hutan yang tersisa di Indonesia. Di sisi lain, hal ini turut memicu pengembangan ekonomi lokal dan berkontribusi langsung terhadap peningkatan bauran energi terbarukan serta pengurangan emisi di sektor kelistrikan.
Koordinator Gerakan Bersihkan Indonesia Ahmad Ashov dalam diskusi tentang JETP, awal Agustus lalu, juga menyoroti aspek keadilan dalam percepatan pendanaan transisi energi. Ia menekankan, aspek keadilan dalam program ini harus mengedepankan aspek prosedural sehingga masyarakat perlu dilibatkan dan ada keterbukaan informasi.
Kemudian aspek distribusi juga dikedepankan sehingga masyarakat tidak hanya mendapatkan beban, tetapi juga keuntungan. Ada juga terkait konsep keadilan restoratif untuk pemulihan dari dampak percepatan transisi ini.
”Saat ini memang masih dalam masa penyusunan JETP, tetapi skema pendekatannya masih bernuansa proyek. Oleh karena itu, sekarang masih ada tugas besar terkait reformasi kebijakan apabila kita ingin benar-benar mewujudkan keadilan transisi energi,” katanya.