Pastikan Kemitraan Transisi Energi Mengedepankan Aspek Keadilan
Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan diyakini akan mengurangi penggunaan energi fosil. Namun, implementasinya tetap harus mengedepankan aspek berkeadilan dan didukung dengan kebijakan yang kuat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Turbin angin Lentera Bumi Nusantara berputar di pinggir pantai di Desa Ciheras, Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Sabtu (6/8/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan yang diinisiasi oleh Pemerintah Indonesia sebagai salah satu mekanisme pendanaan untuk mempercepat transisi energi diyakini akan mengurangi penggunaan energi fosil. Implementasi kemitraan ini tetap harus melihat berbagai aspek khususnya dalam mewujudkan transisi energi yang berkeadilan.
Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership/JETP) merupakan mekanisme kerja sama pendanaan iklim global khususnya terkait program transisi energi yang disepakati para pemimpin negara dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada 2022 lalu. Pada Februari 2023, Sekretariat Tim Kerja JETP juga telah terbentuk untuk merealisasikan kerja sama pendanaan transisi energi tersebut.
Manajer Program Energi Transformasi Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo dalam diskusi daring bertajuk ”Transisi Energi JETP: Apa dan Bagaimana Dia Bekerja?”, Rabu (2/8/2023), menyampaikan, sejauh ini informasi tentang nominal dan skema pendanaan dalam JETP belum terlalu jelas diketahui publik.
Sekarang masih ada tugas besar terkait reformasi kebijakan bila kita ingin benar-benar mewujudkan keadilan dalam transisi energi dan hal ini membutuhkan kemauan politik yang tinggi.
Meski demikian, mengingat pendanaan ini salah satunya berasal dari anggota negara G7, Indonesia perlu menjalin komunikasi internal atau bilateral dengan negara-negara tersebut. Indonesia perlu menegaskan apa saja skema yang akan digunakan, seperti pendanaan komersial, pendanaan dengan bunga rendah, atau hibah serta bagaimana kebijakannya.
Menurut Deon, adanya target JETP secara otomatis akan mengurangi penggunaan energi batubara. Di sisi lain, penggunaan energi baru dan terbarukan hingga ratusan gigawatt sebagai pengganti batubara tersebut juga perlu didorong lebih masif.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pasokan batubara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap Sintang di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Senin (11/10/2021).
Meski demikian, implementasi JETP tetap harus melihat berbagai aspek termasuk transisi energi yang berkeadilan. Namun, sampai sekarang informasi terkait proses untuk mencapai transisi energi yang berkeadilan ini juga belum banyak tersedia untuk publik.
”Ada banyak definisi terkait keadilan dan hal ini merupakan salah satu tugas tim kerja untuk menjabarkannya. Jadi, keadilan ini perlu didefinisikan apakah mencakup para pekerja seperti di PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) dan kegiatan tambang serta bisnis kecil yang mendukung operasi pembangkit listrik tersebut,” ujar Deon.
Deon pun berharap bahwa ke depan ada sebuah upaya mitigasi untuk menanggulangi dampak dari transisi energi yang bisa dibantu didanai oleh JETP. Hal ini termasuk mitigasi bagi kelompok rentan khususnya masyarakat pekerja. Contohnya bisa dilakukan dengan memberikan pelatihan kepada pekerja sebelum dipindahkan ke sektor pekerjaan lainnya.
Koordinator Gerakan Bersihkan Indonesia Ahmad Ashov juga menyoroti terkait aspek keadilan dalam percepatan percepatan pendanaan transisi energi. Ia memandang bahwa aspek keadilan menjadi tantangan dalam konteks pembangunan selama ini.
”Jika kita jujur melihat dari konteks Indonesia dengan berbagai produk kebijakan kontroversial yang memengaruhi transisi energi secara langsung atau tidak, aspek keadilan ini akan sulit diwujudkan. Ini terutama untuk konteks percepatan transisi energi,” ucapnya.
Ashov pun menekankan, keadilan dalam percepatan transisi energi ini harus mengedepankan aspek prosedural sehingga masyarakat perlu dilibatkan dan ada keterbukaan informasi. Kemudian aspek distribusi juga dikedepankan dalam keadilan ini sehingga masyarakat tidak hanya mendapatkan beban, tetapi juga keuntungan. Ada juga terkait konsep keadilan restoratif untuk pemulihan dari dampak percepatan transisi ini.
Selain itu, Ashov juga menegaskan bahwa mencapai transisi energi yang berkeadilan tidak bisa dengan pendekatan proyek. Namun, transisi energi harus berlandaskan kebijakan yang kuat. Transisi energi bisa dicapai salah satunya melalui kebijakan disinsentif PLTU batubara.
”Saat ini memang masih dalam masa penyusunan JETP, tetapi skema pendekatannya masih sangat proyek. Oleh karena itu, sekarang masih ada tugas besar terkait reformasi kebijakan jika kita ingin benar-benar mewujudkan keadilan dalam transisi energi dan hal ini membutuhkan kemauan politik yang tinggi,” katanya.