Indonesia Pastikan Komitmen Transisi Energi dalam G20
Transisi energi merupakan upaya penting dalam mengatasi perubahan iklim. Transisi energi juga menjadi fokus isu dalam pertemuan G20, dan negara-negara tersebut telah mendeklarasikan pencapaian emisi bersih.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Infrastruktur SPKLU di Nusa Dua, Bali, untuk keperluan KTT G20, Senin (12/9/2022). Penggunaan kendaraan dengan energi listrik dalam ajang internasional ini menjadi salah satu bagian kampanye gerakan konversi energi bahan bakar.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia sebagai presidensi pertemuan negara-negara G20 akan menunjukkan komitmennya dalam mempercepat upaya transisi energi. Namun, upaya transisi energi khususnya di dalam negeri masih menemui sejumlah tantangan.
Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Perencanaan Strategis Yudo Dwinanda Priaadi menyampaikan, transisi energi merupakan salah satu upaya penting dalam mengatasi perubahan iklim. Transisi energi juga menjadi fokus isu dalam pertemuan G20 dan negara-negara tersebut bahkan telah mendeklarasikan pencapaian emisi bersih.
”Tahun ini merupakan pelaksanaan pertama dari pertemuan G20 dengan semua negara anggota telah mendeklarasikan akan mencapai net zero emission (emisi bersih). Namun, waktu dan istilah emisi bersih ini berbeda-beda untuk beberapa negara,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring tentang perkembangan pertemuan G20, Selasa (8/11/2022).
G20 berkomitmen menjadi bagian dari solusi kunci mengatasi krisis energi global yang sedang terjadi.
Pembahasan negara-negara G20 tentang transisi energi ini sebelumnya telah dilakukan dalam pertemuan tingkat menteri energi dan sumber daya mineral (ETMM) pada 2 September 2022 di Bali. Pertemuan ini membahas tiga isu prioritas, yakni mengamankan aksesibilitas energi, peningkatan teknologi yang cerdas dan bersih, serta pemajuan energi.
Pertemuan ini menghasilkan dokumen G20 bertajuk ”Bali Compact” dengan sembilan percepatan transisi energi yang mempertimbangkan manfaat bagi semua pihak. Percepatan transisi energi ini juga akan tetap mengakui perbedaan situasi dan kondisi di setiap negara serta menyepakati pencapaian target-target global seperti Kesepakatan Paris 2015.
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
PLTS Papagarang yang menjadi sumber listrik utama sejak November 2019.
”G20 berkomitmen menjadi bagian dari solusi kunci mengatasi krisis energi global yang sedang terjadi. Kami juga sepakat untuk memastikan tercapainya target pembangunan global berkelanjutan di tahun 2030 khususnya akses energi modern yang andal, berkelanjutan, dan terjangkau bagi semua,” ujarnya.
Selain itu, kata Yudo, G20 juga mengakui pengembangan teknologi yang inovatif dan terjangkau guna mendukung transisi energi. Di sisi lain, G20 akan meningkatkan investasi dan mendorong aliran dana kepada negara berkembang serta memperkuat kerja sama untuk percepatan transisi energi.
Komitmen upaya transisi energi melalui pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) yang telah dilakukan Indonesia juga akan ditekankan dan ditunjukkan dalam pertemuan puncak G20 di Bali. Contoh pemanfaatan EBT itu ialah pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap di gedung PLN Bali, PLTS hibrid Nusa Penida, dan PLTS Apung Muara Tukad.
Meski demikian, Yudo menyebut upaya transisi energi khususnya di Indonesia masih menemui sejumlah tantangan. Tantangan tersebut antara lain dari aspek ekonomi dan teknologi, pendanaan, permintaan dan penawaran, serta tingkat komponen dalam negeri.
Dari aspek keekonomian dan teknologi, dibutuhkan dorongan keandalan sistem tenaga listrik. Hal ini penting agar tercipta harga yang semakin kompetitif. Sementara aspek pendanaan juga dibutuhkan untuk pengembangan EBT sekaligus menghentikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.
Sejumlah terobosan kebijakan pun telah dikeluarkan sebagai upaya mempercepat pengembangan energi baru terbarukan. Beberapa di antaranya penetapan rencana usaha penyediaan tenaga listrik, pengembangan PLTS atap, pengesahan peraturan presiden tentang percepatan pengembangan EBT, dan penyediaan pendanaan.
Bergantung G20
Sebelumnya, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari, juga mendorong agar Indonesia menunjukkan komitmennya dalam mengatasi krisis iklim saat pertemuan G20 dan Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-27 (COP27) yang tengah berlangsung saat ini di Sharm El-Sheikh, Mesir.
Menurut Adila, negara-negara G20 menyumbang sekitar 80 persen emisi global dan mayoritas dari sektor energi. Oleh karena itu, upaya mengatasi krisis iklim dengan mencapai emisi bersih di tahun 2050 atau lebih cepat sangat tergantung kepada negara G20 untuk mengurangi emisinya secara signifikan.
”Indonesia perlu memastikan pertemuan G20 menghasilkan aksi nyata dalam mendorong upaya transisi energi ataupun aksi iklim lainnya yang lebih ambisius. Sementara saat COP27, Indonesia juga bisa mendorong agar negara bisa mengakses pendanaan untuk melakukan mitigasi atau mengatasi krisis iklim,” katanya.