Dinamika Politik Perlu Diperhatikan dalam Implementasi JETP
Rasa kepemilikan dan kebermanfaatan transisi energi, termasuk melalui JETP, harus dibangun. Masyarakat perlu lebih menyadari bahwa transisi dari energi fosil ke energi yang rendah emisi amat diperlukan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dinamika politik lokal dan geopolitik perlu diperhatikan dalam implementasi Kerja Sama Transisi Energi yang Adil atau Just Energy Transition Partnership/JETP. Kepercayaan negara-negara maju dalam mendukung transisi energi perlu dipastikan tidak terganggu saat berpindah kepemimpinan negara ataupun eskalasi dinamika global.
JETP yang pertama kali diumumkan di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, November 2022, adalah komitmen pendanaan sebesar 20 miliar dollar AS atau sekitar Rp 310 triliun. Pendanaan berasal dari dana publik negara-negara maju, yang dipimpin Amerika Serikat dan Jepang, serta dari swasta.
Komitmen pendanaan publik senilai 10 miliar dollar AS itu berasal dari anggaran negara-negara maju meliputi Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Inggris, Denmark, Norwegia, dan Uni Eropa yang tergabung dalam International Partners Group (IPG). Pendanaan bisa berupa hibah, pinjaman lunak, dan penjaminan (guarantee).
Sementara 10 miliar dollar AS lainnya berasal dari pendanaan sejumlah bank internasional ternama yang tergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ). Bentuknya berupa pinjaman komersial.
Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Novia Xu, dalam diskusi dengan media terkait dengan tantangan dan risiko JETP, di Jakarta, Selasa (22/8/2023), mengatakan, politik domestik dan ketidakpastian global menjadi salah satu tantangan dalam program kemitraan itu. Oleh karena itu, berbagai antisipasi perlu dilakukan.
Ia mencontohkan, perlu ada mekanisme pengamanan (safeguard) agar JETP tak terpengaruh politik domestik. ”Kita harus menjaga konsep JETP tetap berlangsung jika ada perubahan administrasi pemerintahan ke depan. Kita, kan, tidak tahu apakah (pemimpin baru) nanti akan mengubah prioritasnya atau tidak,” kata Novia.
Menurut Novia, rasa kepemilikan dan kebermanfaatan transisi energi, termasuk melalui JETP, harus dibangun. Masyarakat perlu lebih menyadari bahwa transisi dari energi fosil ke energi yang rendah emisi amat diperlukan. Dialog sosial, yang saat ini dirasa kurang, didorong lebih intensif agar mendapat dukungan lebih jauh dari masyarakat.
Dinamika geopolitik juga perlu menjadi perhatian. ”Contohnya persaingan Amerika Serikat dan China. Itu dikhawatirkan mengubah prioritas IPG. Bisa saja mereka menganggap rivalitas AS dan China meningkat sehingga transisi energi di Indonesia ditunda dulu, misalnya. Hal-hal seperti itu harus dimitigasi sejak sekarang,” ujar Novia.
Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri mencontohkan jika satu saat datang tawaran dukungan pendanaan dari China. ”Apakah kemudian negara-negara IPG yang ’di-drive’ G7 ini bisa terima dengan mudah atau tidak. Atau untuk menggabungkan beberapa mekanisme dan inisiatif (pendanaan transisi energi),” katanya.
Perlu selaras
Di samping itu, dinamika di ASEAN juga perlu diperhatikan. Misalnya terkait dengan ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance versi kedua (ATSF v2) yang diterbitkan pada Maret 2023. Salah satu hal baru yang dipertimbangkan dalam ATSF v2 ialah pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara secara bertahap.
”Contoh lainnya, ASEAN Center for Energy di Indonesia mendorong peta jalan jangka panjang energi terbarukan di ASEAN. Tentu kami berharap ini (peta jalan tingkat nasional dan kawasan) nantinya selaras dengan JETP, baik jangka pendek maupun panjang. Jangan sampai Indonesia dan internasional bergerak pada arah yang berbeda,” ucap Novia.
Sejumlah tantangan dan risiko lain dalam JETP, sebagaimana laporan CSIS bersama Tenggara Strategics, ialah pasar ketenagalistrikan Indonesia yang monopoli dan monopsoni, serta adanya kelebihan pasokan listrik pada jaringan Jawa-Bali dan Sumatera-Bangka. Di samping itu, rendahnya pelibatan dan koordinasi antarpemangku kepentingan.
Adapun Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) pada JETP yang sedianya diluncurkan Rabu (16/8/2023) mundur hingga menjelang akhir 2023. Dokumen itu akan memuat peta jalan teknis dalam pengurangan emisi di sektor ketenagalistrikan, termasuk proyek-proyek yang akan didanai.
Pihak Sekretariat JETP pada Rabu (16/8/2023) menyerahkan draf CIPP kepada Pemerintah Indonesia serta para mitranya untuk diulas (review). Selanjutnya, Pemerintah Indonesia akan memberi masukan terhadap dokumen CIPP. Mundurnya tenggat peluncuran memungkinkan diadakannya konsultasi publik.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin dalam keterangannya, pekan lalu, menyambut penyerahan draf CIPP kepada Pemerintah Indonesia.
”Kami memahami bahwa ini merupakan upaya dunia mendukung Indonesia untuk mengatasi tantangan yang kompleks. Kami akan review dan memastikan isi dokumen ini selaras dengan prioritas Indonesia dalam transisi energi dan sesuai dengan apa yang telah disepakati dalam joint statement (pernyataan bersama Pemerintah Indonesia dan IPG),” kata Kaimuddin.