Hasil Survei Nasional Opini Publik terkait JETP menunjukkan, antara lain, sebanyak 76 persen responden tidak mengetahui tentang pendanaan transisi energi dengan skema JETP di Indonesia.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proses peningkatan keterampilan atau up skilling menjadi elemen penting dalam implementasi kerja sama energitransisi yang adil atau Just Energy Transition Partnership/JETP. Warga di area tapak pertambangan batubara, misalnya, perlu didampingi agar tidak menganggur akibat penghentian lebih dini operasi pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU.
Situasi tersebut berkait dengan Survei Nasional Opini Publik terkait dengan JETP oleh Center of Economic and Law Studies (Celios) dan Unitrend kepada 1.245 responden yang tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. Survei dilakukan selama dua pekan dengan memanfaatkan fitur Facebook Ads dan Instagram Ads.
Hasil studi itu menunjukkan, antara lain, sebanyak 76 persen responden tidak mengetahui tentang pendanaan transisi energi dengan skema JETP di Indonesia. Berdasarkan lokasi domisili, wilayah Nusa Tenggara dan Bali yang dominan mengetahui JETP (91 persen tahu, sisanya tidak). Papua dan Maluku menjadi daerah yang terendah tentang informasi JETP ( hanya 5 persen tahu JETP).
Dari mereka yang mengetahui JETP, sebanyak 89 persen mendukung penutupan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Sementara dari mereka yang tidak mengetahui JETP, hanya 38 persen yang setuju. Dari studi tersebut, ditemukan adanya korelasi signifikan antara pengetahuan tentang JETP dan dukungan masyarakat terhadap penutupan PLTU batubara.
Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar, dalam peluncuran hasil survei itu, di Jakarta, Rabu (5/7/2023), mengatakan, di daerah tambang, sebagian responden khawatir pemasukan (income) mereka berkurang jika pengakhiran lebih dini operasi PLTU dilakukan. Mereka menggantungkan perekonomian dari operasional PLTU.
Namun, bagaimanapun, pengakhiran operasi PLTU penting guna mencapai target JETP dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. ”Yang mereka harapkan ialah up skilling. Dilatih untuk pekerjaan lain,” ujarnya.
Diskursus mengenai mitigasi dampak kepada warga akibat transisi energi penting dalam menerapkan prinsip just (adil) dalam JETP turut mengemuka. ”Harus diarahkan ke sana. Jadi, tidak hanya soal biaya pengembangan energi terbarukan dan lainnya. Namun, juga program-program pendampingan di sekitar area tambang,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menuturkan, dua kata kunci dalam JETP ialah just (adil) dan partnership (kerja sama). Artinya, harus ada kolaborasi dari semua pihak. Pihaknya ingin masyarakat, terutama di tapak atau yang terdampak langsung dan tidak langsung, paham serta terlibat dalam JETP.
Pasalnya, ada kecemasan terkait dengan keterampilan pekerja saat ada transisi energi. Up skilling dan reskilling (persiapan menjalani peran baru) perlu jadi perhatian. Ia pun mendukung percobaan reskilling, misalnya yang dilakukan PLN dengan mempersiapkan tenaga kerja untuk menjadi teknisi pembangkit listrik tenaga surya.
”Semakin banyak upaya untuk reskilling di semua rantai pasok yang akan terdampak akan menjadi best practice (praktik terbaik) dalam transisi pekerja. Sebab, transisi energi juga harus berarti ada transisi pekerja yang berkeadilan. Itu termasuk bagi para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM),” ucap Bhima.
Indonesia mendapat komitmen JETP di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada November 2022. Komitmen pendanaan lewat JETP total sebesar 20 miliar dollar AS atau sekitar Rp 300 triliun. Rinciannya, 10 miiar dollar AS dari pendanaan publik negara-negara anggota International Partners Group (IPG) dan 10 miliar dollar AS dari anggota Glasgow Financial Alliance for Net Zero.
Bhima mengemukakan, komitmen awal JETP untuk Indonesia sebesar 20 miliar dollar AS sebenarnya kurang. Pasalnya, negara-negara berkembang dituntut bertanggung jawab akan polusi di tingkat global. Dari sejumlah studi, kewajiban negara maju (rich polluting country) disebut seharusnya memberi hibah 100 miliar dollar AS per tahun kepada negara berkembang.
”Kalau (hibah) hanya dikasih 160 juta dollar AS (seperti mengemuka sebelumnya), sangat sedikit. Ini yang sebenarnya mencederai komitmen negara-negara maju yang memiliki tanggung jawab (dalam pengurangan emisi). Dari komitmen 20 miliar dollar AS, harusnya lebih dari 40 persen yang merupakan hibah,” katanya.
Communications Specialist Sekretariat JETP Adhityani Putri menuturkan, belum ada angka-angka pasti, antara lain terkait porsi hibah dan pinjaman. Proses negosiasi masih berlangsung. Pihaknya akan mendukung untuk memastikan besarnya porsi hibah mengingat target JETP di atas target-target transisi energi Indonesia.
Saat ini tengah disusun Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) yang diberi tenggat waktu 16 Agustus 2023 untuk diselesaikan. ”Sebelum 16 Agustus, saya tidak bisa memastikan angka-angka (porsi hibah). Angkanya masih berubah-ubah,” ucap Adhityani.