Dokumen JETP Dinegosiasikan Ulang, Pemerintah Sasar Porsi Hibah Lebih Besar
Sejumlah isu dalam dokumen rencana investasi JETP perlu dinegosiasikan ulang oleh pemerintah dan negara-negara donatur. Pemerintah berharap hibah bisa mendominasi porsi pendanaan publik demi transisi energi yang adil.
Oleh
AGNES THEODORA,, BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA, ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah membutuhkan waktu untuk menegosiasikan isi dokumen perencanaan investasi pada Kerja Sama Transisi Energi yang Adil atau JETP. Masih banyak isu mendasar yang perlu didiskusikan ulang, termasuk upaya untuk mendapat porsi dana hibah yang lebih besar dari total komitmen pendanaan senilai 20 miliar dollar AS.
Sebelumnya, pemerintah sempat menunda peluncuran Dokumen Perencanaan dan Kebijakan Investasi Komprehensif (CIPP) JETP, dari yang seharusnya digelar pada 16 Agustus 2023 menjadi jelang akhir 2023. Dokumen itu berisi keterangan terkait skema pendanaan, rekomendasi kebijakan, daftar proyek investasi dan transisi energi yang adil, serta kajian dampak transisi energi di Indonesia. Salah satu proyek besar yang menurut rencana didanai lewat skema ini adalah penghentian lebih dini pengoperasin pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Namun, Wakil Ketua Sekretariat JETP Paul Butarbutar, Rabu (23/8/2023), mengatakan, dana yang sejauh ini terkumpul untuk melakukan pensiun dini PLTU batubara sesuai rencana masih sangat terbatas. Dari total pendanaan publik sebesar 10 miliar dollar AS yang dijanjikan, hanya sedikit yang benar-benar dialokasikan untuk penghentian dini PLTU batubara.
Oleh karena itu, pemerintah masih membutuhkan waktu untuk mematangkan berbagai aspek dalam dokumen CIPP JETP, termasuk aspek pendanaan yang dinilai masih kurang, baik dari segi jumlah total maupun porsi hibah yang terlalu kecil.
Berdasarkan target awal, pendanaan dari JETP diharapkan dapat mempercepat dekarbonisasi di sektor ketenagalistrikan dengan target emisi puncak sebesar 290 juta ton karbon dioksida pada tahun 2030. Untuk itu, Indonesia mendapat komitmen pendanaan senilai 20 miliar dollar AS atau setara Rp 314 triliun dari sejumlah negara maju.
”Setelah evaluasi dari tim teknis yang dipimpin International Energy Agency (IEA), kita melihat bahwa target itu sebenarnya bisa dieksekusi, tetapi itu akan membutuhkan jumlah uang yang substansial dan usaha luar biasa dari semua pihak, sampai membuat rencana ini hampir mustahil diterapkan,” kata Paul dalam seminar yang digelar saat Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN (AFMGM) Ke-2 di Jakarta.
Pendanaan yang tersedia untuk menjalankan berbagai proyek pensiun dini PLTU ini tidak akan cukup.
Paul mengatakan, untuk memulai program pensiun dini PLTU, pemerintah sejauh ini hanya bisa mengandalkan sumber pendanaan dari skema Mekanisme Transisi Energi (ETM) yang diluncurkan di saat bersamaan dengan JETP, November 2022 lalu. Lewat ETM, Indonesia mendapat komitmen dana konsesional awal berupa pinjaman lunak senilai 500 juta dollar AS (Rp 7,8 triliun).
”Secara umum pendanaan yang tersedia untuk menjalankan berbagai proyek pensiun dini PLTU ini tidak akan cukup. Diperlukan lebih banyak funding kalau kita mau lanjut dengan skenario awal yang kita tetapkan,” katanya.
Pemerintah berharap skema pendanaan bisa didominasi porsi hibah. Namun, menurut Paul, komposisi hibah dari total pendanaan JETP terlalu sedikit. Meski tidak bersedia membuka detail angka yang disepakati, ia mengatakan, porsi dana hibah dalam JETP di bawah 300 juta dollar AS. ”Sekitar setengah dari dana hibah itu pun dialokasikan untuk bantuan teknis (technical assistance),” kata Paul.
Menurut dia, porsi dana hibah dalam JETP seharusnya lebih besar dari itu, mengingat prioritas dari skema JETP adalah transisi energi yang berkeadilan. ”Aspek just atau adil itu seharusnya ditunjukkan melalui porsi grant yang lebih banyak. Ini yang masih harus didiskusikan lagi antara pemerintah dan negara-negara IPG,” ujarnya.
Pendanaan JETP menggunakan skema pembiayaan campuran (blended finance) dari sektor publik dan swasta, masing-masing sebesar 10 miliar dollar AS. Pendanaan publik datang dari negara-negara maju anggota G7, plus Denmark dan Norwegia, yang tergabung dalam International Partners Group (IPG).
Sementara, pendanaan swasta datang dari sejumlah perbankan dan lembaga keuangan internasional yang tergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ). Bentuk pendanaan itu bisa berupa dana hibah, pinjaman lunak (konsesional), pinjaman komersial, jaminan, atau investasi swasta.
Perdagangan karbon
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, Indonesia memang masih membutuhkan tambahan biaya yang sangat besar untuk menjalankan proyek pensiun dini PLTU batubara. Besaran dana yang dibutuhkan adalah 281 miliar dollar AS atau setara Rp 4,305 triliun untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) pada tahun 2030.
Pemerintah pun akan mengeluarkan berbagai inisiatif untuk mengejar target dekarbonisasi sesuai dengan NDC. Salah satunya, perdagangan karbon (carbon trading) yang akan mulai diterapkan pada akhir tahun 2023.
"Akhir tahun ini diharapkan kita sudah bisa meluncurkan pasar karbon, khususnya fokus di sektor kehutanan. Indonesia salah satu negara yang memiliki hutan terluas di dunia sehingga kita punya potensi kredit karbon yang sangat besar," katanya.
Akhir tahun ini diharapkan kita sudah bisa meluncurkan pasar karbon, khususnya fokus di sektor kehutanan.
Ia memastikan kredit karbon yang diperdagangkan nanti benar-benar berkualitas dan kredibel. ”Indonesia bersama-sama dunia punya concern yang sama, bahwa kita tidak sedang melakukan green washing,” ujar Febrio.
Pembiayaan lewat perdagangan karbon itu juga diharapkan bisa membantu mendanai program pensiun dini PLTU. Menurut Principal Energy Specialist Bank Pembangunan Asia (ADB) David Elzinga, Indonesia bisa memonetisasi kredit karbon untuk menekan kebutuhan pembiayaan yang belum tercukupi lewat JETP ataupun ETM.
”Ini opsi yang menarik untuk tidak terlalu bergantung pada dana konsesional. (Dana konsesional) Itu cukup di tahap awal, tetapi di tahap berikutnya bisa digunakan mekanisme pasar dengan pendanaan karbon untuk menarik pendekatan berbasis pasar lainnya,” kata David.
Sementara itu, untuk mendukung implementasi perdagangan karbon, pada 2 Agustus 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon (POJK Bursa Karbon).
Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK Aman Santosa menjelaskan, peraturan ini akan menjadi pedoman dan acuan perdagangan karbon melalui bursa karbon yang dilaksanakan oleh penyelenggara pasar. POJK Bursa Karbon ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
”POJK ini bagian dari upaya OJK untuk mendukung pemerintah dalam melaksanakan program pengendalian perubahan iklim melalui pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), sejalan dengan komitmen Paris Agreement, serta mempersiapkan perangkat hukum domestik dalam pencapaian target emisi GRK itu,” ujar Aman pada keterangannya, Rabu.
Ia menyebutkan, POJK itu mengatur beberapa substansi soal bursa karbon. Unit karbon yang diperdagangkan melalui bursa karbon adalah efek serta wajib terlebih dahulu terdaftar di Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) dan Penyelenggara Bursa Karbon.
Pihak yang dapat menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai bursa karbon merupakan penyelenggara yang telah memiliki izin usaha sebagai penyelenggara bursa karbon dari OJK. Penyelenggara dapat melakukan kegiatan lain serta mengembangkan produk berbasis unit karbon setelah memperoleh persetujuan OJK.
Beberapa ketentuannya adalah penyelenggara bursa karbon wajib memiliki modal yang disetor paling sedikit Rp 100 miliar serta dilarang berasal dari pinjaman. Pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris penyelenggara bursa karbon juga wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh OJK serta wajib melalui penilaian kemampuan dan kepatutan.