Banjir Dana Transisi Energi dan Pertaruhan Utang ”Hijau”
Perlu kehati-hatian ekstra dalam menegosiasikan syarat dan ketentuan pinjaman agar banjir dana hari ini tidak menjadi beban keuangan publik di kemudian hari.
Oleh
agnes theodora
·6 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (kanan) bersama Staf Khusus Bidang Iklim Kementerian Keuangan Amerika Serikat (AS) John Morton melakukan konferensi pers di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT G20) di Nusa Dua, Bali, Selasa (15/11/2022). Pemerintah mengumumkan hasil kerja sama Pemerintah Indonesia dengan AS dan Jepang terkait pendanaan transisi energi melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Nilai komitmen awal pendanaan yang disepakati adalah 20 miliar dollar AS untuk melakukan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.
Perhelatan G20 yang baru saja berakhir membawa ”durian runtuh” bagi Indonesia selaku tuan rumah. Di sela-sela panasnya tensi geopolitik di ajang KTT G20, pekan lalu, komitmen pendanaan mengucur dari negara-negara maju senilai ratusan triliun rupiah untuk membiayai percepatan transisi energi di Indonesia.
Suntikan dana itu didapat lewat skema Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP) dengan komitmen pendanaan 20 miliar dollar AS atau Rp 314 triliun (kurs Rp 15.717 per dollar AS) selama 3-5 tahun ke depan.
JETP menggunakan skema pembiayaan campuran (blended finance) alias ”patungan” dari sektor publik dan swasta, masing-masing sebesar 10 miliar dollar AS. Bentuknya bisa berupa dana hibah, pinjaman lunak (konsesional), pinjaman komersial, jaminan, atau investasi swasta.
Pendanaan publik berasal dari negara maju anggota forum G7, plus Denmark dan Norwegia. Proyek awal itu digawangi Amerika Serikat dan Jepang. Adapun pendanaan swasta datang dari aliansi Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) yang berisi sejumlah perbankan dan lembaga keuangan internasional.
Tak hanya JETP, ada pula pendanaan lewat skema Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism/ETM). Dana konsensional awal yang terkumpul adalah 500 juta dollar AS (Rp 7,8 triliun) dan akan dikembangkan menjadi 4 miliar dollar AS (Rp 62,8 triliun) dalam lima tahun.
Pembiayaan awal itu didapat dari Climate Investment Fund (CIF), salah satu lembaga pendanaan multilateral terbesar untuk membiayai aksi iklim negara berkembang. Bentuknya berupa pinjaman konsensional alias pinjaman lunak dengan suku bunga rendah dibandingkan pinjaman komersial.
KOMPAS/AGNES THEODORA
Menteri Keuangan Sri Mulyani, President Asian Development Bank Masatsugu Asakawa, President Islamic Development Bank Muhammad Sulaiman Al Jasser, dan Managing Director of Operations Bank Dunia Axel Van Trotsenburg meluncurkan inisiatif skema Energy Transition Mechanism (ETM) di Jimbaran, Bali, Senin (14/11/2022).
Ke depan, pendanaan itu juga bisa berupa hibah, pinjaman komersial, kerja sama penelitian, atau investasi dari berbagai mitra global yang akan dikoordinasikan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau PT SMI sebagai pengelola ETM Country Platform Indonesia.
Skema JETP dan ETM sama-sama menyasar percepatan transisi energi di sektor ketenagalistrikan. ETM khusus digunakan untuk pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap batubara dan akan menyasar PLTU Cirebon-1 berkapasitas 660 megawatt sebagai proyek pilot.
Sementara, selain penghentian PLTU, dana JETP bisa dipakai untuk pengembangan proyek lain berbasis energi terbarukan, seperti kendaraan listrik. Sejauh ini peruntukannya belum jelas. Rencana detail pendanaan dan penggunaannya baru akan dimatangkan dalam enam bulan ke depan.
Sejauh ini peruntukan dana JETP belum jelas. Rencana detail pendanaan dan penggunaannya baru akan dimatangkan dalam enam bulan ke depan.
Enam bulan penentu
Tak dimungkiri, ikhtiar mempercepat transisi energi di negara berkembang seperti Indonesia mustahil dilakukan jika hanya mengandalkan kemampuan sendiri. Pemerintah memperkirakan percepatan transisi energi butuh investasi 1 triliun dollar AS atau setara Rp 15.727 triliun sampai tahun 2060.
Untuk itu, dukungan pendanaan dari komunitas internasional pun jadi keniscayaan. Pertanyaannya, apakah skema pendanaan yang ditawarkan sudah cukup ”bersahabat” bagi negara berkembang? Apakah pemanfaatannya kelak setimpal dengan beban utang yang harus ditanggung?
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Aktivitas di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Senin (11/10/2021).
Berkaca dari pengalaman Afrika Selatan yang lebih dulu menerima pendanaan JETP, dari total dana 8,5 miliar dollar AS yang didapat, hanya 4 persen yang merupakan hibah. Sisanya adalah pinjaman konsensional (63 persen) dan pinjaman komersial (18 persen).
Pemerintah belum bisa memastikan porsi pendanaan yang diterima. Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang akan memimpin negosiasi pendanaan dengan AS dan Jepang, detail tersebut baru akan dibahas dalam enam bulan ke depan.
”Bagaimana jadwal penghentian PLTU-nya, berapa porsi pinjaman dan hibah yang kita dapat, seberapa menguntungkan tingkat suku bunga yang kita dapat, itu nanti harus didiskusikan lagi,” kata Luhut di sela-sela KTT G20.
Di tengah terpaan krisis bertubi-tubi pascapandemi dan gejolak di pasar keuangan akhir-akhir ini, perlu kehati-hatian ekstra dalam menegosiasikan syarat dan ketentuan pinjaman agar banjir dana hari ini tidak menjadi beban keuangan publik di kemudian hari.
Peneliti dan Program Manager Trend Asia Andri Prasetiyo menilai, pemerintah masih punya celah untuk menegosiasikan porsi hibah yang lebih besar daripada utang atau setidaknya mendorong skema pinjaman konsensional murah yang lebih bersahabat dan fleksibel, dengan tingkat suku bunga rendah atau tenor berjangka panjang.
YOLA SASTRA
Warga sedang menanam ketela pohon di salah satu kebun di Desa Sijantang, Sawahlunto, Sumatera Barat, Kamis (17/10/2019), yang lokasinya tidak jauh dari PLTU Ombilin.
Pemerintah bisa memanfaatkan isu reformasi pembiayaan iklim yang sempat diangkat di COP27, Mesir. Banyak negara menyuarakan pentingnya reformasi pendanaan iklim untuk meringankan beban keuangan yang kini dialami negara berkembang akibat inflasi, mata uang yang terus melemah terhadap dollar AS, dan utang yang bertambah pascapandemi.
”Belajar dari Afrika Selatan, 3-6 bulan ke depan ini jadi fase paling krusial. Kita masih punya ruang untuk negosiasi terms and conditions, dari tenor, suku bunga, sampai meminta menambah porsi hibah dan pinjaman lunak,” ujarnya.
Pemerintah masih punya celah untuk menegosiasikan porsi hibah yang lebih besar daripada utang atau mendorong skema pinjaman konsensional murah yang lebih bersahabat.
Utang produktif
Penggunaan dana tak kalah penting. Pinjaman besar yang didapat perlu diarahkan untuk mendanai solusi yang benar-benar mendukung pengurangan emisi, bukan solusi palsu yang seolah-olah hijau. Pemerintah harus tegas melarang penambahan PLTU baru dan memberi disinsentif di sektor batubara agar upaya menekan emisi lewat pensiun dini PLTU tidak sia-sia.
Sejauh ini, sinyal dari pemerintah untuk lepas dari batubara masih ambigu. Meski sudah ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 yang mengatur penghentian perencanaan pembangunan PLTU batubara, pemerintah masih membolehkan pembangunan 13 gigawatt PLTU yang ada dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Perpres yang sama juga masih membolehkan penambahan kapasitas PLTU batubara untuk penggunaan industri. ”Kalau kita tegas menghentikan PLTU baru, meski berutang pun, itu menjadi utang produktif karena dekarbonisasinya berjalan. Jangan sampai kita terjebak utang tapi emisi tetap tinggi. Pertaruhannya terlalu besar, apalagi mengingat ini dana hasil pinjaman, bukan hibah,” kata Andri.
Selama lima tahun terakhir (2017-2021), penggunaan batubara dalam sektor ketenagalistrikan di Indonesia masih yang tertinggi di antara negara G20, naik sekitar 40 persen. Laju pengembangan energi terbarukan di Indonesia juga termasuk yang terendah di antara negara G20 lainnya.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance Berly Martawardaya mengatakan, pemerintah harus membuktikan keseriusannya dalam mempercepat transisi energi. Ia mewanti-wanti bahaya solusi palsu, seperti gasifikasi batubara, biodiesel, atau nuklir yang tetap menghasilkan emisi cukup tinggi meski tidak murni bersandar pada batubara. ”Perlu ada kebijakan yang konsisten dan target niremisi yang lebih ambisius lagi,” katanya.
Jangan sampai kita terjebak utang, tetapi emisi tetap tinggi. Pertaruhannya terlalu besar, apalagi mengingat ini dana hasil pinjaman, bukan hibah.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal menambahkan, proyek yang didanai lewat pinjaman berukuran jumbo itu juga harus dipastikan memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang kuat. ”Bukan hanya menjawab tantangan dekarbonisasi, dalam prosesnya, dana besar itu harus ikut menciptakan lapangan kerja dan melindungi warga yang paling terdampak oleh transisi energi,” katanya.
Indonesia perlu belajar dari penyusunan rencana investasi JETP di Afrika Selatan yang baru-baru ini dikecam kelompok masyarakat sipil setempat karena proses yang terlalu tertutup dan solusi yang cenderung mengabaikan kelas pekerja serta kelompok masyarakat yang terdampak. Kesalahan yang sama jangan terulang. Transisi energi yang adil (just) jangan sampai hanya menjadi stempel semata.