Sektor Pertanian Berisiko Tinggi akibat Perubahan Iklim
Pertanian jadi salah satu sektor yang paling terdampak perubahan iklim. Pemerintah dituntut intervensi guna menekan kerugian petani, mulai dari menekan kesenjangan hingga meminimalkan konversi lahan.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan iklim berisiko mencetak kerugian ekonomi yang tembus Rp 500 triliun pada 2020-2024 jika pemerintah tidak melakukan intervensi kebijakan. Pertanian menjadi salah satu sektor yang paling terdampak, mulai dari bergesernya musim tanam hingga konversi lahan yang terus terjadi. Akibatnya, pendapatan petani berisiko turun 9-25 persen.
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) sekaligus Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa, iklim ekstrem akibat perubahan iklim mengakibatkan beragam bencana dan kerugian ekonomi. Indonesia pun terkena imbasnya.
Ia memperkirakan kerugian ekonomi Indonesia pada 2020-2024 dapat menyentuh Rp 544 triliun jika tak ada intervensi kebijakan alias business as usual. Dari jumlah tersebut, risiko kerugian ini berasal dari pesisir dan laut (Rp 408 triliun), diikuti pertanian (Rp 78 triliun), kesehatan (Rp 31 triliun), dan air (Rp 28 triliun).
Pada 2020-2034, Indonesia diproyeksi mengalami penurunan curah hujan tahunan pada kisaran 1-4 persen dibandingkan periode 1995-2010, kecuali di wilayah Kalimantan dan Sulawesi. Fenomena ini berdampak pada kekeringan yang berakibat kurangnya ketersediaan air sehingga berpeluang menimbulkan konflik alokasi kebutuhan air untuk pertanian, industri, dan energi.
”Perubahan iklim juga menyebabkan sulitnya menentukan waktu tanam karena terjadi pergeseran puncak musim hujan, kapan awal dan akhir,” ujar Suharso dalam seminar bertajuk ”Antisipasi Dampak Perubahan Iklim untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045”, di Gedung Bappenas, Jakarta, Senin (21/8/2023).
Dalam acara tersebut, hadir pula sejumlah pembicara lain. Mereka adalah Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati serta pakar lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan, Emil Salim. Selain itu, sejumlah peneliti dan akademisi turut memberikan materinya, yakni peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Fahmuddin Agus; serta Guru Besar IPB Univeristy Rokhmin Dahuri dan Daniel Murdiyarso.
Suharso melanjutkan, akibat periode tanam yang tidak menentu, produktivitas pertanian pun turun. Selain itu, fenomena Osilasi Selatan El Nino (ENSO) dapat menurunkan produksi padi Indonesia sebesar 1,13 juta-1,89 juta ton. Kejadian tersebut mengancam 2.256 hektar (ha) lahan sawah sehingga terjadi kekeringan.
Perubahan kondisi iklim juga mempersempit area pertanian yang sesuai pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pendapatan petani berisiko turun 9-25 persen.
Hal serupa diutarakan Fahmuddin Agus. Menurut dia, peningkatan suhu akan menurunkan efektivitas tanaman sehingga tingkat keuntungan petani menurun.
Masalah utama yang dihadapi sektor pertanian Indonesia adalah adanya sejumlah kesenjangan, antara lain hasil (yield), informasi, kemampuan daya beli, dan kebijakan. Hal ini menunjukkan kompleksnya masalah yang dihadapi sektor pertanian dari sisi petani hingga pemerintah.
”Misalnya, kita tahu ada yield gap di suatu tempat, lalu petani enggak tahu kalau ada gap, (artinya) ada masalah. Jadi information gap juga ada,” kata Fahmuddin.
Setelah itu, petani harus membeli pupuk. Namun, ia tak mampu membiayai sendiri yang artinya ada kesenjangan daya beli (affordability). Pemerintah seharusnya mengeluarkan kebijakan untuk menekan gap tersebut.
Salah satu contoh lain adalah ketika pemerintah tidak memberikan pupuk bersubsidi bagi petani sebab berfokus pada pangan. Hal ini dinilai menimbulkan kesenjangan kebijakan.
”(Hal) itu secara ekonomi merugikan petani dan untuk (kelapa) sawit pun, walaupun banyak (menyumbang) devisa, tetapi kalau yield gap bisa ditutup, keuntungan bisa lebih besar,” ujar Fahmuddin.
Guna menghadapi perubahan iklim, pemerintah mengacu pada rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Pemerintah menargetkan proporsi kerugian ekonomi langsung akibat bencana terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 0,14 persen pada 2025, kemudian menyusut jadi 0,11 persen saat 2045.
Kemandirian pangan masyarakat ditargetkan terus bertumbuh. Tingkat prevalensi ketidakcukupan pangan masih bertengger pada 6,2 persen (2025), kemudian turun jadi 2,1 persen (2045).
Suharso mengatakan, beberapa strategi pembangunan berketahanan iklim disiapkan untuk sektor pertanian. Pihaknya akan menerapkan smart agriculture, pengembangan kualitas dan daya saing sumber daya manusia lokal, serta menguatkan sistem intensifikasi padi (SRI). Selain itu, menjawab perubahan iklim melalui penerapan pertanian adaptif rendah karbon juga memodernisasi perbibitan varietas baru yang tahan terhadap kekeringan.
Sementara itu, Fahmuddin optimistis Indonesia dapat mencapai ketahanan pangan jelang 2045 meski kondisi iklim mengancam sektor pertanian. Namun, sejumlah upaya masih perlu dilakukan.
Pemerintah perlu mengendalikan alih fungsi lahan, khususnya sawah, hingga di bawah 30.000 ha per tahun. Produktivitas juga perlu didongkrak bertahap sampai menyentuh 80 persen dari potensi hasil. Selain itu, para petani dapat didorong untuk menerapkan sistem usaha yang adaptif terhadap perubahan iklim dan tahan cuaca ekstrem. Varietas yang adaptif terhadap perubahan iklim juga perlu terus dikembangkan.
Pengamanan lahan sawah atau ”lahan sawah abadi” dari alih fungsi skala besar untuk industri, infrastruktur, dan permukiman perlu ditetapkan, sekaligus perlu jadi bagian RPJPN. Guna memaksimalkan upaya tersebut, skema insentif dan disinsentif (penghargaan dan hukuman) diperlukan, termasuk mengendalikan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang cenderung menjustifikasi alih fungsi lahan pertanian.
”Walaupun Pulau Jawa merupakan city island, tetapi kalau konversi (lahan) terjadi di Jawa dan tidak dapat dikendalikan, ancaman terhadap ketahanan pangan Indonesia sangat besar. Ketahanan pangan akan berdampak terhadap sosial dan stabilitas politik,” tutur Fahmuddin.