Target penurunan emisi gas rumah kaca mutlak dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Di sisi lain, aksesibilitas masyarakat akan energi haruslah dijamin. Pengembangan energi terbarukan masih menantang.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·6 menit baca
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Teknisi berjalan di area Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) binary organic rankine cycle (ORC) berkapasitas 500 kilowatt yang dikelola PT Pertamina Geothermal Energy di Lahendong, Tomohon, Sulawesi Utara, Senin (25/4/2022). PLTP Binary ORC ini merupakan proyek percontohan penerapan teknologi biner atau optimalisasi uap air panas dari sumur geotermal Lahendong untuk produksi listrik. PT PGE berencana mengembangkan PLTP biner dengan kapasitas 25 MW sebagai komitmen mewujudkan sumber energi baru dan terbarukan.
Dengan potensi yang amat besar, sumber energi terbarukan di Indonesia belum optimal termanfaatkan. Sejumlah regulasi yang diterbitkan pemerintah untuk mendukung optimalisasi energi terbarukan belum begitu berdampak karena kenyataannya ketergantungan Indonesia pada energi fosil masih tinggi.
Catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sumber daya energi terbarukan Indonesia lebih dari 3.600 gigawatt (GW). Namun, realisasi kapasitas terpasang pembangkit listrik energi terbarukan hingga semester I-2023 baru 12,7 GW dengan kenaikan rata-rata sekitar 5 persen per tahun dalam lima tahun terakhir.
Regulasi terkait target-target pengembangan energi ke depan antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Kemudian, aturan turunannya berupa Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Juga ada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) 2021-2030 yang disebut RUPTL paling hijau karena 51 persen pembangkit listrik yang akan dibangun memanfaatkan sumber energi terbarukan. Tahun lalu juga terbit Perpres No 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Akan tetapi, menurut data Kementerian ESDM, hingga akhir 2022, realisasi energi terbarukan dalam bauran energi primer baru 12,3 persen atau di bawah target 15,7 persen. Pekerjaan rumah pun kian berat karena ada target capaian energi terbarukan 23 persen dalam bauran energi primer pada 2025.
Konsumsi energi terbarukan sebenarnya terus meningkat setiap tahun. Namun, pada saat yang sama, peningkatan juga terjadi pada konsumsi energi fosil, seperti minyak bumi, gas bumi, dan batubara. Dengan demikian, secara persentase, pengembangan energi terbarukan masih terbilang kecil.
Pada bauran di sektor ketenagalistrikan hingga akhir 2022, energi terbarukan pun masih 14,12 persen. Angka tersebut di bawah jenis energi fosil seperti gas yang 15,96 persen serta batubara yang masih dominan dengan 67,21 persen. Suka atau tidak suka, pasokan listrik nasional kini masih bergantung pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.
Di sisi lain, Indonesia sudah menetapkan target emisi nol bersih (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Nationally Determined Contribution (NDC) juga dimutakhirkan pada 2022 menjadi enhanced NDC dengan target penurunan emisi gas rumah kaca pada 2030 sebesar 31,89 persen melalui usaha sendiri dan 43,20 persen dengan bantuan internasional.
Ketua I Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Bobby Gafur Umar, Jumat (18/8/2023), mengatakan, pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan di Indonesia belum terlalu membuat investor tertarik. Hal itu, misalnya, terkait dengan harga pembelian listrik mengingat adanya sistem monopoli, yakni PLN sebagai pembeli tunggal.
Namun, di sisi lain, ia pun memahami posisi PLN tidak mudah karena harus menanggung beban ekonomi dari operasionalisasi pembangkit. Apalagi, program pembangunan pembangkit 35.000 megawatt (MW) yang meleset membuat sistem ketenagalistrikan PLN pada jaringan Jawa-Bali kelebihan pasokan (oversupply).
Di samping itu, menurut Bobby, pembiayaan (financing) di dalam negeri tidak selaras dengan energi terbarukan. Kalaupun ada skema pembiayaan proyek oleh perbankan, hal itu lebih pada pembiayaan korporasi. Artinya, korporasi dimintai collateral (jaminan) serta laporan keuangan dalam tiga tahun terakhir. Belum lagi bunga utang yang besarnya di atas 10 persen.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Jajaran kincir angin milik Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo-1 di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (2/2/2019). PLTB berkapasitas 72 megawatt (MW) ini menjadi PLTB terbesar kedua di Indonesia setelah PLTB Sidrap yang berkapasitas 75 MW.
”Harusnya kalau kita membangun project, jaminannya project itu sendiri. Jadi, masih banyak ekosistem yang belum masuk (dalam pengembangan pembangkit energi terbarukan),” katanya.
Gap keekonomian
Keekonomian energi terbarukan pun belum seperti yang diharapkan, apalagi jika harus bersaing dengan energi fosil seperti batubara. Dengan adanya pemenuhan kebutuhan domestik (DMO) batubara untuk penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum, harga batubara untuk kebutuhan PLTU dipatok 70 dollar AS per ton.
Menurut Bobby, gap keekonomian antara energi terbarukan dan batubara perlu diisi oleh pemerintah. ”Misalkan harga pembelian energi terbarukan mahal dan ada gap dengan batubara, pemerintah dapat menanggung selisihnya dengan membantu PLN (sebagai offtaker). Batubara disubsidi, kenapa energi terbarukan tak disubsidi juga,” katanya.
Kepastian regulasi juga memengaruhi laju investasi energi terbarukan. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang tengah dibahas pemerintah bersama DPR, misalnya. Bobby mengatakan, RUU itu mesti disahkan pada tahun ini karena akan berpotensi kian molor jika masuk tahun Pemilu 2024.
Sementara itu, lewat Perpres No 112/2022, pemerintah memastikan PLTU batubara dilarang dibangun kecuali yang telah ditetapkan dalam RUPTL sebelum berlakunya perpres. Juga PLTU yang memenuhi persyaratan, yakni yang terintegrasi proyek strategis nasional (PSN) dan berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca minimal 35 persen dalam 10 tahun sejak PLTU beroperasi. Adapun operasi paling lama hingga 2050.
Perpres itu juga mengamanatkan Menteri ESDM menyusun peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU, setelah dilakukan koordinasi dengan Menteri Keuangan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peta jalan tersebut memuat, antara lain, pengurangan emisi gas rumah kaca PLTU dan strategi percepatan pengakhiran masa operasional PLTU.
Komitmen pendanaan senilai 20 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 300 triliun dari negara-negara maju dalam Kerja Sama Transisi Energi yang Adil (JETP) bisa mendukung upaya itu. Begitu juga program Mekanisme Transisi Energi (ETM), yang merupakan program Asian Development Bank. Tinggal bagaimana program-program itu diimplementasikan.
Pada JETP, misalnya, ada lima area investasi dalam program kemitraan itu. Kelimanya adalah pengembangan jaringan transmisi dan distribusi, penghentian lebih dini operasi PLTU berbasis batubara, percepatan pemanfaatan energi terbarukan tipe baseload (andal), percepatan pemanfaatan energi terbarukan tipe variabel(relatif bergantung pada cuaca), dan pembangunan rantai pasok energi terbarukan.
Industri pendukung
Pakar energi sekaligus guru besar bidang teknik mesin Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Deendarlianto, berpendapat, rencana pengakhiran dini operasi PLTU batubara harus matang. Kesiapan energi terbarukan yang akan menggantikan saat masa operasi PLTU diakhiri lebih cepat harus jelas. Sebab, hal itu juga menyangkut keandalan pasokan listrik serta pertumbuhan ekonomi nasional.
Lebih jauh, yang krusial ialah kesiapan industri energi terbarukan. ”Kelemahan mendasar kita adalah tidak ada grand scenario industri yang jelas. Juga dukungan riset yang belum koheren dengan pertumbuhan industri kita. Harus dibangun zona industrialisasi industri manufaktur lokal energi terbarukan, misalnya. Harus dari hulu ke hilir,” ujarnya.
Ia menambahkan, pengembangan energi nasional mesti meningkatkan pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pengembangan energi terbarukan jangan hanya melibatkan korporasi besar, tetapi juga ekonomi kerakyatan. Dalam pemanfaatan biomassa dan pelet kayu untuk co-firing (pencampuran batubara dengan biomassa pada PLTU), misalnya, masyarakat perlu benar-benar dilibatkan demi keberlanjutan pasokan.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN (SET)
Air waduk digunakan untuk memutar turbin Pembangkit Listrik Tenaga Air Cirata di Waduk Cirata, Jawa Barat, Jumat (24/9/2021).
Catatan Kementerian ESDM, hingga semester I-2023, energi terbarukan untuk pembangkitan telah tercapai 12.737 megawatt (MW). Jumlah itu terdiri dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) 6.788,3 megawatt (MW), PLT bioenergi 3.118,3 MW, PLT panas bumi 2.373,1 MW, PLT surya 322,6 MW, PLT bayu 154,3 MW, dan PLT gasifikasi batubara (kategori energi baru) 30 MW.
”Untuk hasil capaian EBT nonlistrik meliputi realisasi bahan bakar nabati (BBN) yang hingga Juni 2023 mencapai 5,68 juta kiloliter. Perkiraan penghematan devisa dari menghindari penggunaan bahan bakar minyak sebesar Rp 54,24 triliun,” ujar Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.
Dadan menambahkan, pemerintah menyiapkan sejumlah strategi dalam rangka akselerasi pemanfaatan energi terbarukan. ”Antara lain pengembangan pembangkit EBT on grid (terhubung jaringan PLN) sesuai RUPTL, pengembangan PLTS atap, pengembangan EBT off grid untuk wilayah 3T (terpencil, terluar, dan terdepan), dan pemanfaatan BBN. Lalu program elektrifikasi di sisi demand, seperti (pengembangan) kendaraan listrik serta penguatan regulasi,” lanjutnya.
Executive Vice President Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Warsono menuturkan, pihaknya telah melakukan sejumlah hal untuk menurunkan penggunaan energi fosil. Misalnya, dengan co-firing serta program dedieselisasi.
”(Selain itu) Pembatalan 13,3 GW PLTU yang direncanakan pada RUPTL sebelumnya (dihapuskan di RUPTL terbaru). Juga pembatalan PLTU batubara dalam pipeline sebesar 1,3 GW serta mengganti 1,1 GW PLTU dengan pembangkit gas,” kata Warsono dalam diskusi tentang risiko dan tantangan JETP Indonesia, di Jakarta, Kamis (3/8/2023).
Pada akhirnya, pengembangan energi terbarukan mesti menyeimbangkan berbagai sisi kepentingan. Target penurunan emisi gas rumah kaca mutlak dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Namun, aksesibilitas masyarakat akan energi haruslah dijamin. Ketergantungan terhadap komponen-komponen impor pada energi terbarukan pun mesti dicegah.