Keekonomian Krusial untuk Akselerasi Energi Terbarukan
Dua hal yang dinilai menjadi kunci untuk akselerasi energi terbarukan adalah nilai keekonomian dan program yang jelas. Dua faktor itu dianggap turut membuat lambatnya perkembangan energi terbarukan selama ini.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lambatnya perkembangan energi terbarukan di Indonesia dinilai turut dipicu oleh belum tercapainya skala keekonomian dan kalah bersaing dengan energi fosil. Selain kejelasan regulasi, kerja sama transisi energi yang adil atau JETP diharapkan dapat mengakselerasi capaian energi terbarukan, terutama untuk mengantisipasi perubahan iklim.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, hingga akhir tahun 2022, realisasi energi terbarukan dalam bauran energi primer nasional baru 12,3 persen. Padahal, Indonesia menargetkan dapat mencapai porsi EBT 23 persen pada tahun 2025.
Ketua I Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Bobby Gafur Umar, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (18/8/2023), mengatakan, salah satu kendala yang membuat perkembangan energi terbarukan lambat adalah terkait keekonomian. Kendati sudah turun, harga energi terbarukan masih kalah bersaing dengan energi fosil yang mendapat subsidi.
Menurut Bobby, kondisi tersebut membuat investasi pembangkit energi terbarukan menjadi tidak menarik. ”Jadi dua hal yang menjadi kunci (akselerasi energi terbarukan) adalah nilai keekonomian dan program yang jelas dan pasti. Bukan kebijakan yang tiba-tiba berubah,” ujarnya.
Padahal, kata Bobby, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang besar, yakni sekitar 3.636 gigawatt dengan potensi utama energi hidro (air) dan surya. Guna mengoptimalkan potensi itu, keekonomian serta keberlanjutan terkait pengembangan energi terbarukan mesti dipastikan.
Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang sedang dibahas pemerintah dan DPR, katanya, harus selesai 2023 karena tahun depan sudah masuk tahun pemilu. Program JETP atau komitmen pendanaan negara-negara maju senilai total 20 miliar dollar AS juga jadi harapan.
Partisipasi publik
Sebelumnya, Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP yang sedianya diluncurkan pada Rabu (16/8/2023) mundur hingga menjelang akhir 2023 karena akan diulas (review) dulu oleh pemerintah. Konsultasi publik akan dibuka sebelum peluncuran dokumen tersebut.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mulyanto, meminta pemerintah melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya dalam forum konsultasi CIPP JETP. Hal itu agar program lebih transparan, inklusif, berkeadilan, serta menguntungkan negara dan masyarakat. ”Kita tak mau didikte pihak luar terkait kebijakan ketahanan energi nasional,” ujarnya.
Peneliti senior Institute for Essential Services Reform (IESR), Raditya Wiranegara, menilai, untuk pengurangan emisi dari sektor transportasi, pembatasan subsidi seperti pada bahan bakar pertalite, masih sulit karena dibutuhkan masyarakat. Yang menjadi permasalahan krusial selama ini ialah penyalurannya yang belum tepat sasaran.
Sementara pada ketenagalistrikan, pembatasan harga batubara, yang merupakan energi fosil, untuk PLTU, membuat harga energi terbarukan terkesan mahal. ”Padahal, dari tahun ke tahun, sudah harganya sudah semakin menurun. Harga energi terbarukan sebenarnya sudah lebih kompetitif,” katanya.
Sebelumnya, Koordinator Penyiapan Program Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM Mustaba Ari Suryoko menuturkan, pihaknya tengah menanti beroperasinya sejumlah pembangkit energi terbarukan. Salah satunya PLTS terapung Cirata di Purwakarta, Jawa Barat, dengan kapasitas 145 megawatt.
Setelah tertunda, PLTS tersebut diharapkan bisa beroperasi tahun ini. ”Itu bisa berkontribusi dalam tambahan kapasitas (energi terbarukan) tahun ini. Kami juga harapkan tambahan dari beberapa jenis pembangkit energi terbarukan lain,” ujar Mustaba dalam diskusi daring yang digelar IESR, Kamis (27/7/2023).