Hingga akhir 2022, realisasi energi terbarukan dalam bauran energi primer baru 12,3 persen, padahal target 23 persen pada 2025 semakin mepet. Hingga semester I-2023, tambahan kapasitas pembangkit EBT juga relatif kecil.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi primer pada 2025 semakin sulit dikejar sehingga yang dapat dilakukan saat ini ialah mengoptimalkan sebesar mungkin potensi agar tidak semakin tertinggal. Sinergi pusat dan daerah akan dioptimalkan.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga akhir 2022, realisasi energi terbarukan dalam bauran energi primer sekitar 12,3 persen, dengan kapasitas terpasang pembangkit listrik sebesar 12.616 megawatt (MW). Selama semester I-2023 hanya ada penambahan 121 MW menjadi 12.737 MW.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Herman Darnel Ibrahim, dalam diskusi virtual tentang realisasi energi terbarukan yang digelar Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Kamis (27/7/2023), mengatakan, dengan kondisi serta tantangan yang ada, yang perlu dilakukan saat ini adalah bagaimana agar realisasi tidak terlalu terlambat.
Menurut Herman, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) yang paling memungkinkan untuk dipacu dalam dua tahun ke depan. ”Yang bisa dilakukan sekarang ialah penambahan lebih cepat dari sebelumnya meskipun (untuk skala besar) akan sulit jika diperlukan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) dan perizinan,” ucapnya.
Saat ini, DEN tengah menyiapkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang baru, yang akan diatur melalui Peraturan Pemerintah. Sementara, RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) yang akan diatur oleh Peraturan Presiden, juga akan dimutakhirkan setelah KEN rampung.
Di sisi lain, imbuh Herman, peran daerah juga amat penting dalam upaya mencapai target pengembangan energi terbarukan. Oleh karena itu, Rencana Umum Energi Daerah (RUED) juga akan diperbarui. Nantinya, RUED akan memadukan antara top down (berdasarkan RUEN) dan juga bottom up (kondisi di daerah).
Koordinator Penyiapan Program Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Mustaba Ari Suryoko menuturkan, pihaknya tengah menanti beroperasinya sejumlah pembangkit energi terbarukan. Salah satunya PLTS terapung Cirata di Purwakarta, Jawa Barat, dengan kapasitas 145 MW.
Setelah sempat tertunda, PLTS tersebut diharapkan bisa beroperasi tahun ini. ”Itu bisa berkontribusi dalam tambahan kapasitas (energi terbarukan) tahun ini. Kami juga harapkan tambahan dari beberapa jenis pembangkit energi terbarukan lain,” ucap Mustaba.
Terkendala TKDN
EVP Aneka Energi Baru Terbarukan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN Zainal Arifin mengatakan, salah satu kendala yang dihadapi ialah terkait dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Menurut dia, TKDN ialah program bagus pemerintah dalam mengoptimalkan produk-produk yang diproduksi di dalam negeri. Namun, di sisi lain, hal itu menjadi kendala bagi pengembangan energi terbarukan.
”Timing-nya mungkin kurang match. Contoh paling ekstrem adalah di PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) Hululais. Kami sudah mendapat (komitmen) pendanaan dari Japan International Cooperation Agency (JICA), tetapi kemudian tidak bisa approve karena konten lokalnya tidak sesuai dengan guideline mereka. Kami menghadapi hal-hal seperti ini pada beberapa proyek lain,” katanya.
Hal itu, imbuh Arifin, bisa membuat pengembangan pembangkit energi terbarukan tertunda. Pasalnya, kebutuhan pendanaan pembangkit energi terbarukan besar dan tak mungkin hanya mengandalkan pendanaan domestik.
Peneliti senior IESR, Raden Raditya Wiranegara, mengemukakan, sejumlah kendala, baik terkait lingkungan maupun sistem, yang membuat pembangkit energi terbarukan belum bisa beroperasi menjadi hambatan selama ini. Sementara dari jenisnya, yang mungkin untuk dikembangkan secara cepat ialah PLTS.
Di sisi lain, kelebihan pasokan (oversupply) listrik PLN pada sistem kelistrikan Jawa-Madura-Bali juga menjadi salah satu penghambat pengembangan energi terbarukan.
Wakil Kepala Desk Ekonomi dan Bisnis Harian Kompas Aris Prasetyo menuturkan, selama ini, isu-isu mengenai pentingnya pengurangan emisi hingga pengembangan energi terbarukan lebih bersifat eksklusif dan terpusat di Jakarta. Masyarakat di tingkat bawah belum terpikir ke arah sana. Bahkan, rasio elektrifikasi nasional pun belum juga 100 persen.
Oleh karena itu, menjadi tugas bersama untuk lebih membumikan isu-isu transisi energi hingga semakin lebih diterima masyarakat. Apalagi, daerah-daerah di Indonesia memiliki peran yang amat penting dalam mendukung transisi energi.