Buruh Khawatir Aturan Pelonggaran Berlanjut Tanpa Tenggat
Permenaker No 5/2023 mulai berlaku 8 Maret 2023. Dengan masa berlaku enam bulan, penerapan peraturan ini semestinya berakhir pada 8 September 2023. Kalangan buruh mendesak kejelasan tentang tenggat pemberlakuannya.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah elemen buruh khawatir Peraturan Menteri Ketenagakerjaan atau Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global berjalan tanpa tenggat. Situasi itu dikhawatirkan menekan pendapatan dan daya beli para buruh terdampak.
Masa berlaku aturan yang melonggarkan pengupahan di industri padat karya berorientasi ekspor itu semestinya berakhir pada awal September 2023. Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia Dian Septi di Jakarta, Kamis (17/8/2023), mengatakan, sampai saat ini masih ada perusahaan garmen yang baru akan memberlakukan peraturan itu.
Berdasarkan laporan anggota yang bekerja di salah satu kawasan industri di Jakarta Utara, ada tambahan satu perusahaan garmen lagi yang akan menerapkan permenaker tersebut. Menurut dia, ada kecenderungan perusahaan itu memangkas upah buruh secara sepihak.
Melalui Permenaker No 5/2023, pemerintah mengizinkan perusahaan padat karya berorientasi ekspor mengurangi waktu kerja dan membayarkan upah paling sedikit 75 persen. Perusahaan yang dimaksud dalam regulasi itu mesti memenuhi kriteria memiliki pekerja minimal 200 orang, persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi minimal 15 persen, serta bergantung pada pesanan dari Amerika Serikat dan negara di Eropa.
Industri padat karya berorientasi ekspor itu meliputi industri tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, kulit dan barang kulit, furnitur, serta mainan anak. Menurut Dian, hampir 80 persen pekerja di industri garmen merupakan perempuan. Pemotongan upah menyebabkan daya beli pekerja turun.
”Pekerja anggota kami di kawasan industri itu sudah sempat menolak dengan menggalang tanda tangan pekerja, tetapi pihak perusahaan tetap menerapkan libur dan tanpa upah. Pengurus basis kami di sana rata-rata perempuan. Hingga sekarang, mereka tetap akan menolak,” ujar Dian.
Dia menambahkan, kendati Permenaker No 5/2023 memiliki tenggat berlaku, praktik di lapangan dikhawatirkan terus berlaku tanpa waktu kedaluwarsa. Akibatnya, pekerja tidak akan mengalami kenaikan upah.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal secara terpisah mengatakan, penetapan upah minimum biasanya diputuskan pada bulan November. Untuk upah minimum tahun 2024, keputusan penetapan seharusnya November 2023 dan mulai berlaku Januari 2024.
Sementara Permenaker No 5/2023 mulai berlaku 8 Maret 2023. Masa berlakunya adalah enam bulan terhitung sejak permenaker ini berlaku. Dengan demikian, waktu kedaluwarsa permenaker ini semestinya sekitar 8 September 2023.
”Jadi, ketika upah minimum tahun 2024 ditetapkan, Permenaker No 5/2023 tidak berlaku lagi. Dengan kata lain, pemotongan upah 25 persen harus sudah stop,” ujarnya.
Menurut dia, dasar perhitungan kenaikan upah minimum tahun 2024 adalah upah minimum tahun 2023, bukan upah buruh yang sudah dipotong karena mengikuti Permenaker No 5/2023. Dengan kata lain, upah buruh yang diterima sebesar upah minimum 2024 yang ditetapkan.
Dalam catatan KSPI, sekitar 25.000 pekerja anggota terdampak penerapan Permenaker No 5/2023. Sejumlah anggota KSPI yang bekerja di salah satu perusahaan tekstil di Pekalongan, Jawa Tengah, diduga mengalami pemotongan upah melebihi ketentuan dalam permenaker itu. KSPI sudah mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara.
Total anggota KSPI saat ini berkisar 1,4 juta pekerja/buruh. Jumlah ini belum termasuk Forum Pendidik Tenaga Honorer dan Swasta Indonesia (FPTHSI) yang juga telah menggabungkan diri ke KSPI. Jumlah anggota FPTHSI mencapai 800.000 orang.
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengklaim, belum ada basis/pimpinan unit kerja KSPN yang bekerja di pabrik TPT melaporkan pengusaha menggunakan Permenaker No 5/2023. Di luar KSPN, dia menduga, sedikit pengusaha mengimplementasikan permenaker itu. Itu pun kemungkinan terjadi secara sepihak dari pengusaha.
Perusahaan berorientasi ekspor hanya sekitar 30 persen dari total industri tekstil dan produk tekstil (TPT), sementara sisanya 70 persen berorientasi lokal. Fenomena pemutusan hubungan kerja yang tengah terjadi saat ini justru menyasar seluruhnya. Ini berarti, pasar ekspor tergerus karena situasi ekonomi global dan pasar lokal dibanjiri impor karena kalah harga jual.
Perusahaan-perusahaan yang dulu mendorong terbitnya Permenaker No 5/2023 adalah perusahaan berorientasi ekspor. Merekalah yang seharusnya menerapkan permenaker itu. ”Apabila praktik adopsi Permenaker No 5/2023 berjalan melebihi enam bulan dari yang diamanatkan, kami menilai hal itu sudah cacat hukum,” kata Ristadi.
Sebelumnya, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kemenaker Chairul Fadhly Harahap mengatakan, sesuai Permenaker No 5/2023, baik penyesuaian upah maupun jam kerja harus berdasarkan kesepakatan serikat pekerja/buruh dengan pengusaha. Artinya, peran serikat pekerja/buruh sangat penting bagi tercapai tidaknya kesepakatan (Kompas, 21/3/2023).
Sementara itu, Menaker Ida Fauziyah saat memberikan sambutan pada upacara peringatan Hari Ulang Tahun Ke-78 Republik Indonesia menyadari, masih terdapat banyak persoalan dalam pembangunan ketenagakerjaan. Program-program pembangunan ketenagakerjaan perlu terus dikembangkan untuk mengatasi permasalahan itu secara jangka panjang.
Dalam kesempatan yang sama, dia turut menyentil bahwa dalam konteks ketenagakerjaan, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi harus mampu menciptakan beragam kesempatan kerja. ”Penciptaan kesempatan kerja harus diiringi dengan perbaikan kualitas, produktivitas, dan kesejahteraan tenaga kerja,” ujar Ida dalam siaran pers, Kamis.