Buruh dan Pengusaha Masih Beda Pendapat soal UU Cipta Kerja
Di tengah proses serap aspirasi publik peraturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja, kelompok pekerja dan pengusaha masih berbeda sikap soal kehadiran regulasi ”omnibus law” tersebut.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F09%2F3caa5c90-d3c3-4e80-a21d-cea62b9e6842_jpg.jpg)
KSPI dan KSPSI berunjuk rasa di sekitar Monas, Jakarta, Rabu (9/8/2023). Salah satu tuntutannya adalah cabut UU Cipta Kerja.
JAKARTA, KOMPAS — Penolakan kelompok pekerja terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) masih bergulir sampai sekarang. Penolakan ini terjadi di tengah berlangsungnya proses pembahasan revisi peraturan turunan UU Cipta Kerja.
Kelompok pekerja yang masih menolak, antara lain, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) yang dipimpin oleh Andi Gani Nena Wea dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang dipimpin oleh Said Iqbal. Said Iqbal diketahui juga menjabat sebagai Partai Buruh yang dibentuk pada 5 Oktober 2021.
Kedua konfederasi itu, Rabu (9/8/2023), berunjuk rasa di sekitar Patung Kuda Arjuna Wiwaha di Jalan Merdeka Barat, Jakarta. Kerumunan pekerja yang tergabung di dua konfederasi itu juga terlihat di sepanjang Jalan Merdeka Selatan. Mereka memadati lokasi tersebut sekitar pukul 11.00 dan sempat berjalan menuju ke arah Gedung Sarinah.
Wakil Presiden KSPSI Roy Jinto Ferianto mengatakan, 60 federasi serikat pekerja di bawah dua konfederasi itu ikut berunjuk rasa. Roy mengklaim terdapat sekitar 3.000 orang pekerja hadir di lokasi. ”Tuntutan yang kami semua serukan di sini sama, yakni cabut UU Cipta Kerja. Ini yang utama, selain itu ada juga tuntutan cabut omnibus law kesehatan dan meminta kenaikan upah minimum tahun 2024 sebesar 15 persen,” ujar Roy.

Mereka memang melakukan uji materi (judicial review) UU No 6/2023 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa kali aksi demonstrasi, termasuk demonstrasi pada Rabu (9/8/2023), dilakukan untuk mendukung upaya tersebut.
Keputusan mengajukan uji materi diambil karena mereka menilai pemerintah tidak mematuhi keputusan MK yang sebelumnya menyatakan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional dan malah mengeluarkan Perppu No 2/2022 yang sekarang sudah menjadi UU No 6/2023.
”Kalau kami mendukung proses revisi peraturan pemerintah (PP) turunan UU No 11/2020 berarti kami mendukung UU Cipta Kerja. Mekanisme penghitungan upah minimum yang diamanatkan oleh UU ini tidak berpihak pada pekerja karena berpotensi melahirkan nilai batas atas dan batas bawah,” imbuh Roy.
Said Iqbal sebelumnya melepas rombongan ratusan pekerja yang jalan kaki (long march)selama 8 hari mulai Rabu (2/8/2023) dari Gedung Sate di Bandung hingga Rabu (9/8/2023) di Jakarta dan ikut berunjuk rasa bersama massa pekerja dari KSPSI pimpinan Andi Gani.
”Melalui kesempatan ini, Partai Buruh mengajak seluruh kelas pekerja untuk melakukan perlawanan terhadap omnibus law UU Cipta Kerja, UU Kesehatan, dan upah minimum harus naik 15 persen. Tuntutan yang kami bawa adalah untuk kesejahteraan pekerja,” kata Said.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F01%2Fc2d8ae00-b98e-45cf-a4db-4ccb2e701297_jpg.jpg)
Kacamata buruh saat unjuk rasa pada Hari Buruh Internasional di depan kantor DPRD Jawa Tengah, Kota Semarang, Senin (1/4/2023).
Unjuk rasa dengan tuntutan yang sama akan berlanjut pada Kamis (10/8/2023), tetapi bukan datang dari KSPSI yang dipimpin Andi Gani Nena Wea dan KSPI yang dipimpin Said Iqbal, melainkan dari Aliansi Aksi Sejuta Buruh di bawah koordinator Jumhur Hidayat. Rute aksi mengarah ke Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan MH Thamrin, Jakarta.
”Kalau kami sampai sekarang masih menolak omnibus law Cipta Kerja yang kini telah jadi UU No 6/2023 itu bukan langkah mundur. Sejumlah substansi tetap berpotensi tidak berpihak pada pekerja, seperti ketidakjelasan kriteria pekerjaan alih daya. Kami khawatir malah timbul pemutusan hubungan kerja pekerja tetap lalu diangkat lagi jadi karyawan kontrak,” kata Jumhur.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi, saat dihubungi terpisah, di Jakarta, mengatakan, pihaknya tidak turut bergabung dalam kelompok pekerja yang mengajukan uji materi UU No 6/2023 ke MK. Beberapa substansi UU yang ingin digugat KSPN ke MK relatif sama dengan serikat pekerja lain yang lebih dulu mengajkan gugatan. Jadi, KSPN memilih untuk mengolah substansi lain yang memungkinkan untuk dilakukan uji materi.
KSPN juga tidak turun berunjuk rasa. Sejauh ini masih memilih mengkritisi praktik dari penerapan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang kini telah menjadi UU No 6/2023. Sebagai contoh, aturan sistem pengupahan yang diamanatkan oleh UU itu masih membuat kesenjangan upah minimum antardaerah sehingga mendorong pengusaha terus mencari daerah yang nilai upahnya rendah untuk berinvestasi. Contoh lainnya adalah kecenderungan terjadi penurunan nominal uang pesangon dan disertai ketidakjelasan jaminan pekerja memperolehnya.
Dia mengakui ada substansi positif dari UU No 11/2020. Salah satunya adalah jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), tetapi sejauh ini belum semua pekerja menikmatinya.
Dia mengakui ada substansi positif dari UU No 11/2020. Salah satunya adalah jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), tetapi sejauh ini belum semua pekerja menikmatinya. Sebab, masih ada sejumlah perusahaan tidak mengikutsertakan pekerjanya ke jaminan sosial ketenagakerjaan ataupun suka menunggak iuran.
”Apa yang kami suarakan ini murni soal isu ketenagakerjaan dan industri. Tidak ada tendensi kepentingan politik apa pun karena kami mencoba memisahkan diri dari gerakan buruh yang cenderung bernuasa politik,” kata Ristadi.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita, saat dihubungi terpisah, mengatakan, KSBSI juga tidak ikut aksi unjuk rasa. Meski demikian, KSBSI mengikuti proses uji materiUU No 6/2023 dan beberapa kali sidang di Mahkamah Konstitusi. KSBSI menilai, secara formil, pengesahan Perppu No 2/2022 menjadi UU kurang tepat. Alasan dia, persetujuan DPR diambil dalam sidang paripurna ke-2 setelah Perppu ditetapkan Presiden.
”Tidak apa-apa kalau hak buruh disesuaikan dengan keadaan ekonomi sekarang asalkan itu diatur dalam tingkat UU. Jika kelak ekonomi Indonesia sudah maju, KSBSI berkesempatan mengajukan perbaikan UU ke MK,” kata Elly.
Tanggapan pengusaha
Menanggapi masih adanya aksi unjuk rasa menolak UU No 6/2023, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, Apindo berpendapat bahwa demonstrasi tersebut merupakan ekspresi dari hak menyatakan pendapat yang dijamin oleh konstitusi Indonesia. Namun, Apindo juga mengharapkan agar pemerintah mengajak serikat pekerja/serikat buruh untuk melihat persoalan mendasar mengenai kebutuhan akan perluasan kesempatan kerja yang merupakan persoalan bangsa. ”Kami meyakini UU No 6/2023 bertujuan untuk mengatasi hal itu,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum ApindoBidang Ketenagakerjaan Bob Azam menambahkan, unjuk rasa memang hak serikat pekerja karena diatur oleh undang-undang. Di antara konten unjuk rasa yang muncul, Apindo memilih tidak mengomentari tema konten terkait politik. Misalnya, presidential threshold. Apindo fokus kepada penciptaan lapangan kerja dan transformasi sektor informal ke formal.
”Anggota kami, terutama di sektor padat karya, sekarang sedang berada di situasi sulit karena menghadapi fenomena penurunan permintaan ekspor,” ujar Bob.

Baca juga : Perppu Cipta Kerja Siap Disahkan di Paripurna
Shinta menambahkan, Apindo menyampaikan masukan kepada pemerintah (Kementerian Ketenagakerjaan) untuk substansi revisi peraturan pemerintah turunan UU No 6/2023. Selain itu, Apindo, baik di tingkat nasional maupun provinsi dan kabupaten/kota, aktif mengikuti program serap aspirasi.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri menyatakan, proses revisi peraturan pemerintah turunan UU No 6/2023 sedang dalam tahap serap aspirasi publik.
Merespons dinamika kehadiran UU No 6/2023 tersebut, dosen Hukum Perburuhan Universitas Gadjah Mada (UGM) Nabiyla Risfa Izzati memandang, putusan pengadilan MK biasanya sangat terkait dengan fakta-fakta yang disampaikan saat sidang. Dengan demikian, beberapa unjuk rasa di jalan raya yang dilakukan sejumlah serikat pekerja tidak akan secara langsung memengaruhi putusan MK.
”Namun, bisa jadi ini (aksi unjuk rasa) menjadi gambaran faktual bahwa sekarang terdapat penolakan besar serikat pekerja terhadap UU Cipta Kerja. Hakim bisa mempertimbangkannya. Sebab, di MK sekarang sedang berjalan beberapa sidang terkait UU Cipta Kerja, antara lain, membahas problem formil dan materiil,” ujarnya.
Lebih jauh, Nabiyla menilai masih banyak substansi UU No 6/2023 yang tidak jelas dan tidak konkret. Kendati pemerintah sempat menjanjikan akan dibuat detailnya di peraturan turunan, janji ini perlu pembuktian. Pelaksanaan di lapangan akan sulit jika tidak ada peraturan turunan.
Baca juga : Perppu Bisa Jadi Pedang Bermata Dua