Pasar ritel daring di Indonesia dinilai masih memiliki peluang tumbuh seusai pencabutan pembatasan sosial karena pandemi Covid-19. Kondisi ini berbeda dengan di sejumlah negara maju di Barat.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transaksi perdagangan secara elektronik atau e-dagang, termasuk melalui platform lokapasar, masih berpeluang tumbuh seusai pencabutan pembatasan sosial. Kota kecil menjadi sasaran menarik transaksi baru. Kendati demikian, tantangannya adalah kebiasaan orang untuk berbelanja luring.
Peneliti Center of Digital Economy and Small Medium Enterprises di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Izzudin Al Farras Adha, saat dihubungi pada Senin (7/8/2023) berpendapat, di Indonesia, pasar e-dagang yang digerakkan oleh lokapasar masih akan terus bertumbuh, bahkan dia menduga tren pertumbuhannya bisa di atas sebelum terjadi pandemi Covid-19. Tren ini terjadi di banyak negara berkembang karena porsi belanja daring terhadap total penjualan ritel masih relatif kecil dan masih banyak potensi peningkatan adopsi digital pada sebagian besar masyarakat di negara berkembang, termasuk Indonesia.
”Pertumbuhan transaksi e-dagang, termasuk dari platform lokapasar, akan terus terjadi melalui penetrasi di kota tier kedua dan tier ketiga yang masih memiliki ruang potensi e-dagang sangat besar,” ujarnya.
Sebaliknya, di Amerika Serikat tampak sudah mencapai puncak pertumbuhan e-dagang, terutama transaksi di dalam lokapasar, karena adopsi digital yang sudah tinggi sebelum pandemi. Porsi belanja daring yang relatif besar terhadap penjualan ritel menyebabkan terjadinya akselerasi pada penjualan saat awal pandemi. Seusai pandemi dan restriksi perlahan ditiadakan, mayoritas masyarakat kembali beralih ke ritel luring untuk bertransaksi. Akibatnya, pertumbuhan pasar e-dagang, seperti di Amerika Serikat dan banyak negara maju lain menurun signifikan dibandingkan dengan pada awal pandemi dan tren pertumbuhan cenderung sama dibandingkan dengan sebelum pandemi.
Penerapan biaya transaksi di platform lokapasar, lanjut Izzudin, bisa menekan pertumbuhan lokapasar. Apalagi, ketika pandemi sudah usai, konsumen memiliki opsi untuk berbelanja kembali secara luring. Platform lokapasar harus menjaga keseimbangan antara penerapan biaya transaksi dan peningkatan kualitas layanan serta kemudahan berbelanja, misalnya melalui fitur live streaming sehingga konsumen yang loyal akan senantiasa bertransaksi.
”Selama biaya transaksi platform lokapasar yang dibebankan ke konsumen nilainya tetap (tidak berbentuk persentase tertentu dari harga barang) dan tidak memberatkan konsumen, konsumen tetap datang. Akan tetapi, jika nilai biaya transaksi platform lokapasar sudah memberatkan, konsumen akan dengan sendirinya meninggalkan platform tersebut,” tuturnya.
Sebelumnya, The Economist dalam artikel ”Has E-Commerce Peaked?", Jumat (4/8/2023), menyebut, ledakan pandemi di ritel daring telah membuka jalan bagi stagnasi dan persaingan yang semakin ketat. Tiga tahun lalu, ketika penguncian memaksa konsumen memindahkan sebagian besar pengeluaran mereka secara daring, masa keemasan e-dagang tiba. Investor kala itu optimistis bahwa pembeli akan terus membeli barang di internet. Pengecer lama dan baru berlomba untuk memperluas jaringan pengiriman.
Pada Kamis (3/8/2023), Amazon, pengecer daring terbesar di dunia, melaporkan pertumbuhan tahunan (yoy) sebesar 11 persen untuk triwulan II-2023, tidak termasuk divisi komputasi awan. Itu lebih baik dari yang diharapkan dan memicu lonjakan sekitar 10 persen harga saham perusahaan. Namun, pencapaian itu adalah sebagian kecil dari pertumbuhan penjualan 42 persen yang dilaporkan Amazon untuk triwulan yang sama pada 2020 dan lebih lambat dari tren prapandemi. Pada hari yang sama, Wayfair, pemasok mebel secara daring yang melonjak di tengah Covid-19, melaporkan penurunan penjualan selama sembilan triwulan berturut-turut.
Perlambatan ekonomi hanya sebagian yang harus disalahkan atas pembalikan ini. Setelah melonjak pada awal tahun 2020, pangsa belanja ritel daring di Amerika Serikat tetap stagnan di sekitar 15 persen, kira-kira seperti tren prapandemi. Ceritanya hampir sama di Inggris, Perancis, dan Jerman, menurut angka dari Euromonitor, sebuah perusahaan riset pasar.
Tantangan lain yang harus dihadapi pelaku lokapasar di Amerika Serikat, dalam tulisan The Economist disebutkan, adalah Tiktok, aplikasi video pendek yang disukai anak muda. Untuk memonetisasi jam bergulir penggunanya, Tiktok memungkinkan pebisnis memasukkan iklan dan demonstrasi berjualan langsung dengan tautan untuk membeli produk tanpa meninggalkan aplikasi.
Tantangan terakhir yang dihadapi petahana lokapasar di negara-negara Barat adalah meningkatnya selera jenama untuk berjualan langsung ke konsumen. Euromonitor memperkirakan, penjualan langsung ke konsumen sekarang meningkat empat kali lipat selama delapan tahun terakhir.
Hiperlokal
Direktur Corporate Affairs TokopediaNuraini Razak, yang ditemui di sela-sela konferensi pers menyambut ulang tahun ke-14 Tokopedia, Senin, mengatakan, penetrasi belanja e-dagang di Indonesia relatif masih rendah. Jadi, kesempatan untuk bertumbuh masih besar.
”Jika dulu transaksi e-dagang, terutama di platform lokapasar, marak di kota-kota besar, sekarang maraknya justru di kota-kota kecil. Oleh karena itu, strategi pemasaran hiperlokal yang kami terapkan menjadi penting,” ujarnya.
Strategi pemasaran hiperlokal yang dijalankan oleh Tokopedia, menurut dia, mampu meningkatkan transaksi e-dagang empat kali lipat di Aceh Tenggara (Aceh), Padang Lawas Utara (Sumatera Utara), Malaka (Nusa Tenggara Timur), Buton (Sulawesi Tenggara), dan Teluk Bintuni (Papua Barat).
Nuraini mengklaim, meredanya pandemi Covid-19 tidak berpengaruh ke transaksi e-dagang di Tokopedia. Transaksi tetap naik meskipun terjadi pergeseran kategori barang yang populer atau diminati konsumen. Sebagai gambaran, saat pandemi Covid-19, penjualan piyama melesat, kini seusai pembatasan sosial menjadi baju muslim dan baju pesta.
Lebih jauh, dia menyebutkan, jumlah mitra penjual di Tokopedia saat ini mencapai lebih dari 14 juta penjual. Jumlah ini diperkirakan lebih tinggi dibandingkan 2019 yang sekitar 6 juta penjual. Seluruh mitra tersebut berasal dari dalam negeri (domestik).
”Tidak ada penjual dari luar negeri (asing) dan tidak ada fitur ekspor barang di Tokopedia. Kami sangat mendukung UMKM Indonesia. Hampir 100 persen mitra penjual berlatar belakang UMKM,” katanya.
Pemilik usaha mode ThenBlank, Mutiara Kamila Athiyya, menceritakan telah mendirikan usaha sejak 2012 dan mulai menciptakan laman sendiri untuk berjualan pada 2017. ThenBlank saat ini juga mempunyai toko daring di beberapa lokapasar.
Menurut dia, animo orang untuk berbelanja luring mulai kembali setelah pembatasan sosial berakhir. Jika pada saat pandemi, porsi penjualan daring dibanding luring 80 banding 20 persen, kini perbandingannya menjadi 70 persen daring dan 30 persen luring. Dia menduga, orang beli pertama secara luring, tetapi pembelian berikutnya tetap berpotensi daring karena sudah tahu ukuran barang.
”Adanya implementasi biaya transaksi yang platform (lokapasar) terapkan menjadi tantangan bagi kami. Pada saat awal kebijakan itu diberlakukan platform lokapasar, berdampak kepada kami. Selanjutnya, kami langsung menciptakan aneka promo yang didukung platform lokapasar juga sehingga konsumen tetap mau beli barang,” tutur Mutiara.
Hal senada disampaikan pemilik usaha produk rias wajah, Luxcrime, Achmad Nurul Fajri. Dia mendirikan usahanya pada 2015. Pada awalnya, Luxcrime hanya dipasarkan secara daring, lalu belakangan dijual secara luring juga.
”Pada pandemi Covid-19, porsi penjualan daring sebesar 80 persen dan luring 20 persen. Kini, porsi penjualan daring dibanding luring 60 banding 40 persen. Semua material produksi kami lakukan di dalam negeri,” katanya.
Achmad berpendapat, jika ada penurunan biaya aplikasi buat mitra penjual lokapasar, akan berdampak positif bagi mitra. Mitra penjual bisa lebih fleksibel dalam menciptakan kampanye pemasaran bagi konsumen agar tertarik belanja daring.