Meski Jadi Angin Segar, Sistem Resi Gudang Dinilai Belum Optimal
Pemerintah terus mengembangkan sistem resi gudang agar dapat memberikan stabilitas bagi petani saat harga komoditas anjlok. Namun, implementasinya dinilai masih perlu diperbaiki, terutama agar menjangkau petani.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masuknya tembakau dalam sistem resi gudang atau SRG dapat menjadi pilihan bagi para petani saat harga tembakau anjlok. Namun, pelaksanaan SRG terhadap sejumlah komoditas dinilai masih belum optimal, terutama bagi komoditas yang dihasilkan oleh para petani. Saat ini, pemerintah tengah mengembangkan SRG agar terintegrasi dengan pasar lelang komoditas.
Melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Permendag No 33/2020 tentang Barang dan Persyaratan Barang yang Dapat Disimpan dalam Sistem Resi Gudang (SRG), pemerintah menambah dua komoditas yang masuk dalam SRG sehingga kini tercatat ada 22 komoditas. Dua tambahan komoditas tersebut yakni tembakau dan kayu manis.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Pamuji, Minggu (6/8/2023), mengatakan, pihaknya telah mengusulkan agar komoditas tembakau masuk ke dalam SRG sejak tahun 2008. Dengan adanya SRG ini, diharapkan dapat menjadi pilihan bagi para petani saat harga tembakau tertekan.
”Harapannya bisa menjaga stabilitas (harga) saat harga tembakau kurang bagus. Apalagi, tembakau masih dibutuhkan oleh industri,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Selama ini, ratusan ribu petani tembakau dengan lahan seluas 221.000 hektar dirundung oleh gejolak harga, antara lain ditentukan oleh kualitas tembakau. Kualitas tersebut ditentukan oleh kondisi tanah, kualitas bibit, masa perawatan, dan regulasi.
Menurut Agus, faktor utama yang membuat harga tembakau terpuruk adalah cukai yang setiap tahunnya naik, impor tembakau yang tidak terkendali, serta musim yang sedang tidak bagus. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, impor tembakau pada tahun 2022 telah 50 persen lebih dari produksi nasional, yakni mencapai 164.000 ton dibandingkan 225.000 ton.
”Secara umum, harga tembakau mengalami penurunan sebesar 25 persen pada 2022 dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan adanya resi gudang ini, para petani bisa mendapatkan harga yang bagus. Sembari kami menunggu upaya pemerintah membuat perlindungan bagi pertanian lokal, khususnya (petani) tembakau,” katanya.
Sebelum komoditas tembakau dan kayu manis dimasukkan, terdapat komoditas lain yang terlebih dahulu menjajaki SRG, antara lain beras, gabah, garam, ikan, ayam karkas, dan bawang merah. Di antara komoditas itu, beras dan gabah hasil panen para petani masih belum terserap dengan optimal dalam SRG.
Tata pelaksanaannya perlu perubahan yang cukup mendasar, misalnya, apakah memungkinkan pihak resi gudang langsung mendatangi petani? Lalu, petani dapat langsung menerima uang ketika hasil panen disetorkan. Terlebih, skema ini hanya berlaku pada petani skala besar.
Padahal, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 9 Tahun 2006 tentang SRG mengamanatkan mekanisme tunda jual sekaligus pembiayaan bagi produsen sewaktu harga komoditas mereka anjlok. Para petani sebagai produsen menghadapi gejolak harga ketika komoditas yang dihasilkannya melimpah, yakni pada masa panen.
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa menjelaskan, selama ini, SRG belum berfungsi sebagaimana diharapkan, yakni memberikan stabilitas harga bagi petani saat harga anjlok. Hal ini tampak dari tren penurunan, baik penerbitan resi gudang (RG) maupun pembiayaan resi gudang komoditas gabah.
Berdasarkan data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), jumlah penerbitan resi gudang komoditas gabah pada tahun 2022 tercatat 78 resi senilai Rp 21,4 miliar atau turun dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 220 resi senilai Rp 27 miliar. Sementara jumlah pembiayaan RG komoditas gabah pada tahun 2022 tercatat 33 resi senilai Rp 11,28 miliar atau turun dibandingkan tahun sebelumnya, yakni 110 resi senilai Rp 11,82 miliar.
”Meski beras naik secara signifikan, gabah turun tajam. Beras yang disimpan di SRG bukan dari petani, melainkan dari penggilingan padi karena secara umum penggilingan padi yang besar kekurangan gudang sehingga mekanisme SRG menguntungkan mereka dan tidak berdampak sama sekali ke petani kecil. Total beras yang disimpan pada tahun 2022 hanya 0,017 persen dari total produksi nasional jadi praktis SRG tidak berdampak apa pun khususnya untuk komoditas beras,” ujar Andreas saat dihubungi dari Jakarta.
Menurut Kepala Biotech Center IPB University tersebut, gabah yang disimpan di SRG kemungkinan besar juga bukan berasal dari petani, melainkan dari para pengepul gabah. Ini karena para petani mengalami kendala dalam mengakses SRG, terutama terkait keterbatasan gudang dan mekanisme pembiayaan.
Terkait dengan keberadaan gudang yang terbatas, para petani yang berada jauh dari gudang harus mengeluarkan biaya transportasi untuk menjangkau SRG. Di sisi lain, para petani juga membutuhkan uang tunai secara langsung sebagai modal untuk masa tanam kedua pascapanen. Sementara itu, mekanisme pembayaran SRG bersifat inden, yakni menunggu selama tiga bulan.
”Tata pelaksanaannya perlu perubahan yang cukup mendasar, misalnya, apakah memungkinkan pihak resi gudang langsung mendatangi petani? Lalu, petani dapat langsung menerima uang ketika hasil panen disetorkan. Terlebih, skema ini hanya berlaku pada petani skala besar,” kata Santosa.
Berdasarkan data yang tercatat di Bappebti, dari 123 Gudang SRG pemerintah, hanya 55 gudang yang memiliki pengelola. Lebih lanjut, dari 55 gudang tersebut, hanya 28 gudang yang aktif menerbitkan resi gudang. Sementara itu, terdapat 92 total gudang swasta dengan pengelola gudang.
Keterbatasan
Melalui Laporan Kinerja 2022, Bappebti menyebut, implementasi SRG di Indonesia masih belum berkembang sebagaimana yang diharapkan. Pemanfaatan SRG masih jauh di bawah potensi yang seharusnya dapat dioptimalkan lantaran masih terdapat beberapa gudang SRG pemerintah yang belum dimanfaatkan sehingga perlu perluasan pemanfaatan, baik dari sisi komoditas yang disimpan di gudang maupun pemanfaatan gudang swasta.
Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko menjelaskan, perluasan komoditas untuk masuk dalam SRG mengalami kendala pengembangan teknologi. Tidak semua komoditas dapat disimpan dalam gudang dengan tenggat tertentu.
”Kuncinya SRG barangnya itu tidak turun mutu, makanya cabai tidak bisa karena belum ada teknologi yang memastikan cabai tidak turun mutu. Tantangan adalah gudang harus ada teknologinya. Setiap komoditas memiliki spesifikasi gudang tersendiri, seperti pada bawang merah, harus menggunakan control atmospher system (CAS) yang mengatur tekanan udara,” tuturnya kepada wartawan, Kamis (3/8/2023).
Di sisi lain, saat ini pemerintah tidak hanya mengembangkan SRG di sektor hulu, tetapi juga hilir. Pengembangan SRG sektor hilir ini memungkinkan komoditas tersebut masuk rantai pasok ekspor, antara lain telur ikan terbang, rumput laut, dan furnitur.
Didid menambahkan, pihaknya juga tengah menyusun mekanisme pasar lelang komoditas yang terintegrasi dengan SRG. Perdagangan melalui pasar lelang komoditas tersebut telah diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2022 tentang Penataan, Pembinaan, dan Pengembangan Pasar Lelang Komoditas (PLK).
”Kami akan kembangkan pasar ini agar tercipta harga yang wajar antara penjual dan pembeli. Akan dicoba digabungkan antara SRG dan PLK sehingga saat musim panen barang masuk gudang dan nanti sedikit-sedikit dikeluarkan ke PLK untuk memastikan barangnya tidak terlalu banyak,” katanya.
Lebih lanjut, mekanisme tersebut diharapkan dapat dimulai pada tahun 2023. Oleh sebab itu, saat ini, pemerintah sedang menentukan mekanisme dan para aktor di dalamnya, seperti, pemilik barang, pembeli, pelaksana lelang, penyelesaian transaksi atau lembaga kliring, dan bank.
Pada periode Januari-Juli 2023, nilai transaksi PLK tercatat Rp 43,85 miliar. Sementara nilai resi gudang yang diterbitkan dan pembiayaan SRG pada Januari-Juli 2023 masing-masing mencapai Rp 338,14 miliar dan Rp 160,04 miliar.