Keputusan masuknya Pertamina di Blok Masela membawa harapan agar sumber daya gas di Masela dapat segera diproduksikan dan memberikan manfaat bagi Indonesia, terutama bagi warga di sekitar lapangan gas tersebut.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Setelah terkatung-katung sejak 2020, kejelasan mitra pengelola Blok Masela menemui titik terang. Di sela-sela hajatan konvensi dan pameran Asosiasi Perminyakan Indonesia atau IPA di ICE BSD, Tangerang, Banten, Selasa (25/7/2023), Shell resmi melepas hak pengelolaannya di Blok Masela yang sebesar 35 persen. PT Pertamina (Persero) dan Petronas, perusahaan hulu migas milik Malaysia, masuk menggantikan Shell.
Pertamina, melalui anak usahanya, yaitu PT Pertamina Hulu Energi, membeli 20 persen saham Shell di Blok Masela, sementara Petronas lewat Petronas Masela Sdn Bhd mengambil 15 persen sisanya. Nilai penjualan 35 persen saham Shell tersebut adalah 650 juta dollar AS atau setara Rp 9,75 triliun. Rincian pembayaran adalah 325 juta dollar AS atau sekitar Rp 4,875 triliun dalam bentuk tunai dan sisanya dibayarkan saat final investment decision di Blok Masela tercapai.
Nasib Blok Masela yang berlokasi 160 kilometer dari Pulau Yamdena, di Laut Arafura, Maluku, penuh liku. Ditemukan sejak 1998, hingga kini kekayaan gas alam di blok tersebut tak kunjung diproduksikan. Rumitnya birokrasi di Indonesia dan hantaman pandemi Covid-19, beberapa waktu lalu, membuat rencana produksi gas Blok Masela terus molor. Sebelumnya, Blok Masela direncanakan berproduksi pada 2024, mundur menjadi 2026. Terakhir, Blok Masela diharapkan mulai berproduksi pada 2029.
Demikian pula proyek pengolahan gas Blok Masela. Di tubuh pemerintah, suara antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2014-2016 Sudirman Said dengan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya 2015-2016 Rizal Ramli, terpecah. Keduanya berselisih pendapat tentang lokasi yang tepat untuk mengolah gas Blok Masela, yaitu pilihan di darat atau di laut lepas.
Kementerian ESDM bersama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) ketika itu sepakat agar gas diolah di laut lepas di mana sumur gas berada. Alasannya adalah untuk efisiensi biaya dan operasi. Namun, Rizal Ramli menyarankan agar gas diolah di darat. Silang pendapat keduanya ditindaklanjuti dengan menyewa konsultan independen untuk memberikan masukan apakah gas sebaiknya diolah di darat atau di laut lepas. Hasilnya, konsultan menyarankan agar gas diolah di laut lepas.
Silang pendapat itu berakhir setelah Presiden Joko Widodo turun tangan. Pada Maret 2016, di tengah acara yang tidak biasa, tiba-tiba Presiden mengumumkan bahwa pengelolaan gas Blok Masela dilakukan di darat. Skenarionya adalah membangun kilang pengolahan gas, infrastruktur pipa gas, hingga membangun industri hilir pengguna gas. Setelah keputusan itu, tujuh tahun berlalu, nyatanya gas alam di Blok Masela masih tersimpan di perut bumi.
Tata ulang
Keputusan masuknya perusahaan pelat merah di Blok Masela membawa secercah harapan. Ada angan-angan agar sumber daya gas di Masela dapat segera diproduksikan dan memberikan manfaat bagi Indonesia, terutama bagi warga di sekitar lapangan gas tersebut. Pengelola Blok Masela pun diminta SKK Migas untuk segera merevisi kembali rencana pengembangan lapangan (plan of development/POD) sejak revisi pertama POD disetujui pada 2019.
Percepatan pengembangan gas Masela amat dibutuhkan. Pasalnya, proyek tersebut diperkirakan akan menyerap 10.000 tenaga kerja baru dan membawa manfaat ikutan lainnya (multiplier effect) dari pembangunan infrastruktur pengolahan gas di darat. Apalagi, pemerintah berencana membangun industri penyerap gas bumi, seperti pabrik pupuk, di daratan. Masela diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru di kawasan timur Indonesia.
Dengan cadangan gas lebih dari 10 triliun kaki kubik, direncanakan akan ada produksi gas alam cair (LNG) sebanyak 9,5 juta metrik ton per tahun, gas pipa sebanyak 150 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), dan 35.000 barel kondensat per hari. Gas di Blok Masela juga akan menjadi tulang punggung target pemerintah pada 2030, yakni produksi minyak sebanyak 1 juta barel per hari dan gas bumi sebanyak 12.000 MMSCFD.
Momentum masuknya Pertamina ke Blok Masela harus menjadi bukti bahwa perusahaan migas berstatus badan usaha milik negara (BUMN) ini merupakan perusahaan kelas dunia yang mampu mengelola lapangan migas raksasa. Beberapa tahun terakhir, Pertamina selalu di bawah bayang-bayang Petronas, perusahaan milik negara tetangga yang di awal berdirinya ”berguru” pada Pertamina.
Lebih dari itu, perbaikan tata kelola hulu migas Indonesia juga perlu dibenahi. Sudah bukan zamannya lagi birokrasi berbelit, perizinan rumit dan berlapis tanpa ada kejelasan waktu penyelesaian, serta regulasi tak konsisten. Shell tentu ”menelan pil pahit” mengenai hal ini sampai akhirnya melepas saham kepemilikannya di tengah berlarut-larutnya nasib Masela.