Tiktok Bantah Tudingan Mengakomodasi Perdagangan Barang Impor
Jumlah mitra penjual di Tiktok Shop telah mencapai 2 juta penjual. Jumlah ini diperoleh dalam kurun waktu dua tahun Tiktok Shop beroperasi di Indonesia.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tiktok membantah segala kecurigaan mengenai inisiatif Proyek S akan diterapkan di Indonesia. Tiktok menyatakan, sejak awal Tiktok Shop dioperasikan di Indonesia dua tahun lalu, tak ada niat mengimplementasikan proyek yang membuka perdagangan barang impor untuk Indonesia.
Selain itu, Tiktok menyatakan telah mengantongi izin sebagai penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dalam pengoperasian Tiktok Shop di Indonesia, Tiktok juga mengeklaim telah memperoleh surat izin usaha perwakilan perusahaan perdagangan asing bidang perdagangan melalui sistem elektronik (SIUP3A PMSE) dari Kementerian Perdagangan.
”Begitu kami mengoperasikan Tiktok Shop di Indonesia, kami sudah mengurus administrasi perizinan di bidang perdagangan secara elektronik atau e-dagang. Kami senantiasa tunduk dan patuh dengan segala peraturan yang diminta Pemerintah Indonesia,” ujar Head of Communications Tiktok Indonesia Anggini Setiawan seusai menghadiri undangan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Rabu (26/7/2023), di Jakarta.
Ketika ditanya apakah Tiktok Shop yang berupa social commerce (layanan fasilitasi e-dagang melalui media sosial) membayar pajak, Anggini menegaskan bahwa Tiktok sudah menunaikan kewajiban perpajakan di Indonesia. Operasionalisasi Tiktok di Indonesia pun telah setor kewajiban pajak.
”Kendati ketentuan pemerintah belum ada (yang secara detail menyebut social commerce wajib dikenai pajak), kami sudah membayar pajak,” katanya.
Menurut Anggini, di Indonesia, jumlah mitra penjual di Tiktok Shop telah mencapai 2 juta penjual. Jumlah ini diperoleh dalam kurun waktu dua tahun Tiktok Shop beroperasi di Indonesia. Semua mitra penjual tersebut, bahkan penjual berskala usaha mikro, terverifikasi dengan kartu tanda penduduk (KTP).
Dari jumlah 2 juta mitra penjual, Tiktok belum mengklasifikasikan porsi mitra yang benar-benar produsen dan mitra yang bertindak hanya sebagai reseller. Kendati demikian, ia memastikan bahwa sebagian besar mitra tersebut berlatar belakang sebagai pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Tiktok tidak bisa mendeteksi produk impor yang diperjualbelikan di Tiktok Shop. Kebijakan Pemerintah Indonesia yang khusus untuk mendeteksi hal itu juga belum ada.
”Bahkan, kami rasa tidak perlu berbicara platform e-dagang. Di ranah pasar luring bisa dilihat berapa banyak porsi produsen yang sekaligus jadi pedagang serta porsi reseller,” katanya.
Kecurigaan lain yang viral adalah Tiktok memfasilitasi akses perdagangan barang lintas negara. Kecurigaan ini juga dibantah. Sebab, Tiktok sejak awal berdiri tidak berniat membuka akses itu untuk pasar Indonesia.
”Kami bahkan telah bekerja sama dengan beberapa kementerian/lembaga untuk memberdayakan UMKM, seperti program Jalin Nusantara bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan program #MajuBarengTikTok 2022 yang dibuka oleh Kementerian Koperasi dan UKM,” ujarnya.
Selanjutnya, terkait kecurigaan bahwa algoritma Tiktok mendorong produk buatan luar negeri cenderung lebih banyak dipromosikan, Anggini juga menyatakan bahwa itu tidak benar. Algoritma Tiktok bekerja berdasarkan kebiasaan konsumen sehingga rekomendasi tampilan for your page (FYP) atau ”halaman untuk Anda” di Tiktok memang sesuai kebiasaan itu. Setiap pengguna Tiktok bisa memperoleh rekomendasi FYP berbeda.
Anggini menambahkan, pihaknya mengetahui adanya proses revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Tiktok berharap substansi revisi bisa membuat Tiktok dan pelaku platform e-dagang lain diperlakukan secara seimbang dan setara.
Direktur Bisnis dan Pemasaran Smesco Indonesia Wientor Rah Mada, yang juga hadir dalam pertemuan tersebut, berpendapat, fokus mengatasi gelombang barang impor yang dijual murah sebaiknya menjadi perhatian bersama. Sebab, itulah yang menjadi salah satu pemicu UMKM lokal menderita.
”Bisnis perdagangan lintas negara sejak awal tidak dilakukan oleh Tiktok. Di sejumlah negara, Tiktok sepertinya tidak menerapkan bisnis perdagangan lintas negara. Permasalahan di depan mata kita semua adalah produk impor yang diperjualbelikan dan dikirim antarkota di Indonesia, termasuk secara daring, tetapi siapa operator toko sebenarnya bisa dari luar negeri,” ujar Wientor.
Pembatasan produk impor
Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif Fiki Satari, yang memimpin pertemuan, menambahkan, pihaknya mengajak semua platform e-dagang mengutamakan produk UMKM. Dia mengakui bahwa pada saat bersamaan, kebanyakan UMKM di Indonesia masih mengalami permasalahan skala ekonomi. Untuk mengatasinya, kementerian telah bersinergi dengan pemerintah daerah untuk membangun factory sharing supaya UMKM bisa secara kolektif berbagi sarana produksi hingga pergudangan.
”Salah satu hal yang krusial dalam revisi Permendag No 50/2020 yaitu pembatasan produk impor. Kami telah sepakat, barang yang bisa diperjualbelikan lintas negara minimal senilai 100 dollar AS,” kata Fiki.
Praktisi ekonomi digital Ignatius Untung mengungkapkan pentingnya mendudukkan inti masalah social commerce yang dilakukan Tiktok melalui fitur Tiktok Shop. Social commerce sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Beberapa tahun lalu, Facebook pernah meluncurkan Facebook Marketplace. Akan tetapi, Facebook menyatakan tidak bertanggung jawab terhadap kemungkinan produk yang dijual impor ataupun ilegal.
”Sebelum platform e-dagang marak, termasuk media sosial yang dipakai memfasilitasi e-dagang, barang impor mudah ditemukan di pasar luring dan apakah pemerintah tegas mengendalikan? Saya rasa, jika pemerintah ingin memproteksi UMKM, pemerintah harus intervensi melalui bea masuk yang lebih tinggi,” ucap Ignatius.