Pencapaian target kemiskinan ekstrem nol persen pada 2024 membutuhkan percepatan koordinasi lintas pihak. Penurunan kemiskinan tidak dapat diatasi dengan mengandalkan bansos, tetapi juga mesti memandirikan masyarakat.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angka kemiskinan ekstrem di Indonesia sempat naik akibat pandemi Covid-19, tetapi kembali menurun dan menyentuh 1,12 persen pada Maret 2023. Koordinasi multipihak mesti dipercepat untuk memastikan angka kemiskinan ekstrem di Indonesia menjadi nol persen pada 2024.
Demikian disampaikan Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi yang juga Ketua Pelaksana Satuan Konvergensi Program Percepatan Penghapusan Kemiskinan EkstremArif Budimanta, Senin (24/7/2023), menanggapi penyampaian Badan Pusat Statistik terkait tingkat kemiskinan ekstrem Indonesia per Maret 2023 yang sebesar 1,12 persen.
Pada kesempatan tersebut, Arif menuturkan, pihaknya mensyukuri angka kemiskinan ekstrem yang dapat terus ditekan, di mana pada 2019 angkanya masih berada pada level 3,71 persen. Angka kemiskinan ekstrem ini sempat meningkat menjadi 3,85 persen pada tahun 2020, terutama akibat pandemi.
Namun, angka kemiskinan ekstrem dapat kembali diturunkan menjadi 2,14 persen pada 2021. Per Maret 2022, angka kemiskinan ekstrem tercatat 2,04 persen, turun lagi menjadi 1,74 persen pada September 2022.
”Hingga menjadi 1,12 persen pada Maret 2023 menurut hasil perhitungan BPS. Namun, tugas kita belum selesai karena Presiden Jokowi telah menargetkan agar kemiskinan ekstrem dapat dihapuskan atau menjadi 0 persen pada tahun 2024, tujuh tahun lebih cepat dari target SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan),” ujar Arif.
Arif menuturkan arti penting dorongan untuk mempercepat koordinasi multipihak demi benar-benar memastikan tahun 2024 tidak ada lagi rakyat Indonesia yang berada pada kondisi miskin ekstrem atau pengeluarannya (purchasing power parity/PPP) kurang dari 1,9 dollar AS per orang per hari. Setidaknya ada tiga pendekatan dalam strategi penghapusan kemiskinan ekstrem tersebut.
”Pertama, mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin ekstrem. Kedua, meningkatkan pendapatan atau income generating. Serta ketiga, mengurangi jumlah kantong kemiskinan. Dengan demikian, siapa pun dapat turut berperan sesuai dengan bidang kemampuannya untuk melakukan upaya-upaya tersebut,” ujar Arif.
Menurut Arif, keinginan untuk menjadikan kemiskinan ekstrem nol persen pada 2024 nanti adalah hal yang dapat dicapai. ”Terlebih dengan komitmen kuat dari Bapak Presiden yang juga telah dituangkan dalam Inpres Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem serta juga berbagai program serta kegiatan yang sudah dan sedang terus dilakukan,” kata Arif.
Terkait strategi dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan ekstrem tersebut, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menuturkan, program pengurangan beban pengeluaran masyarakat ditempuh seperti melalui pemberian bantuan sosial, bantuan langsung tunai, subsidi, dan juga jaminan sosial. Selanjutnya, program peningkatan pendapatan masyarakat dilakukan melalui peningkatan peran badan usaha milik desa, program Umi atau kredit ultra mikro, program Mekaar atau membina ekonomi keluarga sejahtera, perhutanan sosial, dan Pena atau pahlawan ekonomi Nusantara.
”Sedangkan strategi ketiga adalah melalui program pengurangan kantong kemiskinan, seperti rehabilitasi rumah tidak layak huni, perbaikan sanitasi, penyediaan air bersih, dan perbaikan jalan,” kata Moeldoko.
Moeldoko menuturkan, pemerintah optimistis dengan strategi besar dalam mengatasi kemiskinan ekstrem yang disusun Presiden Jokowi. ”Dan, kita (optimistis) mampu mencapai target nol persen tingkat kemiskinan ekstrem pada tahun 2024. Sebab, hasil terbaru dari BPS pada Maret 2023, angka kemiskinan ekstrem hanya tinggal 1,12 persen,” ujarnya.
Moeldoko pun meminta seluruh pihak untuk serius dalam memperkuat koordinasi lintas lembaga serta menajamkan kegiatan intervensi penanggulangan kemiskinan di berbagai sektor. ”Kepada semuanya kita patut bersyukur dan alhamdulillah atas pencapaian ini. Dan, saya ingin menekankan kepada semua jajaran pemerintahan, kementerian, dan lembaga agar kita rajin turun ke lapangan untuk mengikuti perkembangan atas keberhasilan dari strategi itu,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua AKSES (Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis) Suroto ketika dihubungi menuturkan, upaya mengatasi persoalan kemiskinan ekstrem berkaitan dengan keberlanjutan atau daya lestari dalam membangun. ”Sebab, kalau kemiskinan ekstrem meningkat, perutnya mudah lapar, itu bisa menyebabkan revolusi sosial,” katanya.
Suroto menuturkan, skema untuk mengatasi persoalan kemiskinan tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan bantuan sosial. Kemiskinan ekstrem berhubungan dengan akses makanan, air bersih, sanitasi, kesehatan, dan juga akses informasi terhadap layanan sosial. ”Dalam paradigma pembangunan progresif, bansos itu bukan instrumen untuk menyelesaikan kemiskinan,” katanya.
Dalam paradigma pembangunan progresif, bansos itu bukan instrumen untuk menyelesaikan kemiskinan.
Suroto menuturkan adanya resep membebaskan orang dari kemiskinan. Resep tersebut berasal dari Frederic Weilheim Raiffeisen (1818-1888), seorang pengacara yang kemudian menjadi wali kota di Westewarld dan Flammersfeld, Jerman, serta turut mengembangkan sejak awal gerakan Credit Union.
Raiffeisen saat itu mengamati dan kemudian mengidentifikasi beberapa sebab kemiskinan, yakni pinjaman dari rentenir yang mencekik, ketergantungan pada sumbangan, dan juga ketergantungan pada janji-janji para politisi yang akan menyelesaikan problem mereka. ”Maka, kemudian muncullah konsep tiga S, yakni self-help atau menolong diri sendiri, self reliance atau kemandirian, dan self government atau mengelola organisasi sendiri,” ujarnya.
Merujuk resep tersebut, Suroto menuturkan, masyarakat miskin perlu diberdayakan agar mampu mengelola keuangan secara rasional, termasuk menabung, agar tidak terjerat pinjaman yang dapat semakin menyulitkan kehidupan mereka. Praktik seperti menabung itu dapat memperkuat kemandirian ekonomi sekaligus membuat orang memiliki perencanaan hidup lebih baik. ”Warga pun dapat mengorganisasi diri melalui gerakan koperasi yang mereka bentuk dan kelola,” kata Suroto.