Pemulihan Tidak Merata, Ketimpangan Semakin Tajam
Meski kemiskinan menurun, jurang antara yang kaya dan miskin semakin melebar akibat pemulihan laju konsumsi yang timpang pascapandemi. Kesenjangan tidak bisa diatasi hanya dengan mengandalkan bantuan sosial.
Warga menjemur kasurnya di antara rel yang melalui kawasan hunian semipermanen padat penduduk di Pademangan, Jakarta Utara, Kamis (17/7/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun tingkat kemiskinan menurun, ketimpangan ekonomi di Indonesia per Maret 2023 melebar dan mencatat rekor terburuk lima tahun terakhir. Potret tersebut menggambarkan laju pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 yang belum merata dirasakan masyarakat sampai ke lapisan terbawah.
Kondisi itu tecermin dari data Profil Kemiskinan di Indonesia edisi Maret 2023 yang dirilis Badan Pusat Statistik pada Senin (17/7/2023). BPS mencatat, tingkat kemiskinan per Maret 2023 turun menjadi 9,36 persen dari total populasi Indonesia atau 25,9 juta orang.
Angka itu lebih rendah dari angka kemiskinan per September 2022 yang tercatat 9,57 persen atau 26,36 juta orang serta data kemiskinan per Maret 2022 yang tercatat 9,54 persen atau 26,16 juta orang.
Baca juga: Kemiskinan Menurun, tetapi Ketimpangan Meningkat
Penurunan tingkat kemiskinan itu juga semakin mendekati kondisi sebelum pandemi meski belum kembali pulih sepenuhnya. Pada September 2019, angka kemiskinan menyentuh level terendah dalam sejarah, yakni 9,22 persen atau 24,78 juta orang.
Namun, jurang antara yang kaya dan miskin justru semakin lebar. BPS mencatat, per Maret 2023, rasio gini naik ke level 0,388 dari sebelumnya 0,381 pada September 2022 dan 0,384 pada Maret 2022. Ketimpangan yang menajam itu terjadi di wilayah perkotaan, sementara di perdesaan tetap stagnan.
Sebagai catatan, rasio gini digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pengeluaran masyarakat. Nilai rasio gini berkisar 0-1. Semakin tinggi nilai rasio gini, semakin tinggi ketimpangan di suatu wilayah.
Kondisi ketimpangan per Maret 2023 itu tercatat sebagai yang terburuk dalam lima tahun terakhir. Sebelumnya, pada Maret 2018, rasio gini menyentuh level 0,389, kemudian trennya menurun. Pada puncak pandemi, rasio gini meningkat, tetapi hanya menyentuh level tertinggi 0,385 pada September 2020.
Kendati kemiskinan menurun, jurang antara yang kaya dan miskin justru semakin lebar.
Konsumsi timpang
Sekretaris Utama BPS Atqo Mardiyanto menjelaskan, ketimpangan meningkat karena laju pengeluaran kelompok terkaya selama September 2022-Maret 2023 lebih tinggi dibandingkan kelompok masyarakat menengah dan bawah. Indonesia memang mengukur tingkat kemiskinan dan ketimpangan berdasarkan pengeluaran atau konsumsi bukan pendapatan.
Berdasarkan data BPS, sumbangan dari kelompok 20 persen terkaya terhadap total pengeluaran masyarakat meningkat sebesar 1,59 persen. Sementara, kontribusi dari kelompok 40 persen terbawah turun -1,10 persen dan sumbangan pengeluaran dari kelompok 40 persen menengah menurun -1,48 persen.
”Jadi, ’kue’ pertumbuhan pengeluaran yang dikuasai kelompok 20 persen teratas itu semakin besar, sementara 40 persen kelompok menengah dan bawah itu semakin kecil,” kata Atqo dalam konferensi pers di Jakarta, Senin.
Naiknya tingkat ketimpangan terjadi di hampir seluruh wilayah. Satu-satunya wilayah yang mengalami penurunan tingkat ketimpangan selama periode September 2022-Maret 2023 adalah Maluku Papua yang menurun sebesar 0,012 poin.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Haryono mengatakan, salah satu faktor yang mendorong naiknya ketimpangan dalam pengeluaran itu adalah melejitnya konsumsi dari kelompok teratas setelah pandemi berlalu dan pembatasan mobilitas dicabut, seperti berwisata. Sementara pada periode yang sama, konsumsi kelompok menengah dan bawah stagnan, tidak banyak meningkat.
”Jadi itu salah satu penyebab yang mendorong ketimpangan pengeluaran semakin tajam. Ketimpangan bisa saja tidak terjadi jika konsumsi masyarakat menengah-bawah juga naik dan ’menyodok’ ke atas,” katanya.
Baca juga: Pendapatan Rendah, Kemiskinan Bertambah
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal menilai, ketimpangan yang melebar itu menunjukkan pemulihan ekonomi belum merata dirasakan hingga ke lapisan terbawah.
Pendapatan masyarakat miskin dan rentan miskin di perkotaan menurun seiring dengan terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja di sektor padat karya yang terjadi mulai akhir tahun lalu sampai sekarang. Pendapatan yang turun itu otomatis turut menekan tingkat pengeluaran atau konsumsi kelompok tersebut.
”Ini berbeda dari kalangan atas. Spending mereka tidak berkurang karena pendapatannya sudah besar. Kalaupun pendapatan mereka berkurang pun, konsumsi mereka tetap jalan karena punya tabungan besar,” kata Faisal.
Akar masalah
Menurut dia, kesenjangan akan terus melebar selama akar masalah kemiskinan tidak teratasi. Kemiskinan tidak cukup hanya diatasi dengan bantuan sosial. Bansos dapat mengangkat kelompok masyarakat yang selama ini hidup di bawah garis kemiskinan ke atas, tetapi jarak mereka dengan garis kemiskinan masih dekat.
”Masyarakat rentan miskin dan hampir miskin terangkat sedikit ke atas berkat bansos, tetapi faktanya mereka masih hidup di sekitar garis kemiskinan. Tidak bisa dibilang sudah mampu. Itu sebabnya, kemiskinan kita bisa menurun, tetapi ketimpangan justru meningkat,” ujarnya.
Masyarakat rentan miskin dan hampir miskin terangkat sedikit ke atas berkat bansos, tetapi faktanya mereka masih hidup di sekitar garis kemiskinan.
Untuk itu, akar masalah kemiskinan perlu diatasi antara lain dengan meningkatkan akses masyarakat rentan terhadap lapangan kerja yang layak dan relevan dengan kondisi mereka, seperti di sektor padat karya. Investasi dan penciptaan lapangan kerja yang tinggi tetapi tidak selaras dengan kebutuhan masyarakat hanya akan memperburuk ketimpangan.
Selain itu, diperlukan perbaikan terhadap akses pendidikan, kesehatan, air bersih, listrik, dan kebutuhan dasar lainnya. ”Harapannya, kalau masyarakat pintar, sehat, dan bisa mengakses lapangan kerja yang cocok dengan mereka, mereka bisa mendapat penghidupan yang lebih layak,” kata Faisal.
Baca juga: Garis Kemiskinan Dievaluasi, Pemerintah Kaji Pendekatan Multidimensi
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam kesempatan terpisah mengatakan, pemerintah akan terus mendorong pemulihan ekonomi untuk menekan angka kemiskinan dan ketimpangan.
”Kita punya target bahwa kemiskinan ekstrem tahun 2024 turun mendekati nol persen. Tentu kualitas sumber daya manusia dan berbagai program akan kita dorong terus untuk mencapai target itu,” katanya.