Penolakan atas eksploitasi dan ekspor pasir laut terus bergulir. Pemerintah diminta mengkaji ulang aturan yang dikhawatirkan mengganggu sumber penghidupan nelayan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penolakan terhadap kebijakan eksploitasi pasir laut masih terus bergulir. Sejumlah kalangan meminta pemerintah mencabut peraturan pemerintah yang membuka keran ekspor laut tersebut.
Kebijakan eksploitasi pasir laut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut. Aturan itu memungkinkan pemanfaatan hasil sedimentasi yang berupa pasir laut dan lainnya untuk reklamasi dalam negeri, pembangunan infrastruktur, hingga ekspor.
PP No 26/2023 mencabut larangan ekspor pasir laut selama 21 tahun terakhir yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Saat ini, pemerintah sedang menyelesaikan rancangan peraturan menteri sebagai turunan PP No 26/2023.
Wakil Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Sugeng Nugroho mengungkapkan, nelayan telah menghadapi sejumlah masalah terkait eksploitasi perikanan, privatisasi perairan, dan perubahan iklim. Namun, persoalan yang telah terbukti berdampak pada kehancuran penghidupan nelayan adalah pengerukan pasir laut.
Ia mencontohkan kasus pengerukan pasir laut di Surabaya untuk reklamasi Teluk Lamong pada tahun 1983-2002. Penambangan pasir laut itu menyebabkan air laut semakin keruh, menyapu terumbu karang dan padang lamun sehingga merusak tempat hidup ikan dan menyebabkan nelayan semakin sulit mencari ikan. Peralatan jaring nelayan juga kerap tersangkut kapal penyedot pasir.
Sugeng menambahkan, nelayan saat ini tengah berjuang menghadapi dampak perubahan iklim yang mengancam penghidupan dan keselamatan nelayan di laut. Nelayan terus berusaha melaut di tengah gangguan ombak besar dan angin kencang yang tidak bisa diprediksi. Sementara itu, hampir tidak ada intervensi pemerintah dan upaya mitigasi untuk nelayan sehingga tidak sedikit nelayan hilang saat melaut.
Perjuangan nelayan menghadapi dampak perubahan iklim jika masih ditambah lagi dengan dampak pengerukan pasir laut dinilai akan semakin menyengsarakan penghidupan nelayan. Negara seharusnya memperhatikan rakyat yang paling menderita. Di pesisir, rakyat yang paling menderita adalah nelayan. Kampung nelayan adalah penyumbang kemiskinan nasional.
”Pengambilan pasir laut akan menyebabkan kembali terjadi peristiwa-peristiwa yang menyengsarakan kehidupan nelayan. Nelayan hanya bisa omong, Pak Presiden, Pak Menteri, kami mau diapakan? Kepentingan negara adalah kepentingan kita, tetapi kepentingan negara jangan sampai membunuh rakyatnya,” ujar Sugeng dalam seminar nasional ”Urgensi Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023”, secara hibrida, Sabtu (15/7/2023).
Sugeng meminta pemerintah mengkaji ulang PP No 26/2023 agar pengerukan pasir laut yang merupakan bencana bagi nelayan tidak terulang lagi. Sedimentasi di muara sungai yang mengganggu tambat labuh kapal nelayan dinilai dapat dikeruk tanpa harus membuat PP dan membuka keran ekspor pasir laut. Upaya mengatasi pendangkalan muara sungai dinilai hanya menjadi pintu masuk untuk eksploitasi dan ekspor pasir laut.
Dewan Pakar Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia Muhammad Karim menilai, PP No 26/2023 sampai hari ini menimbulkan polemik di Indonesia. Sebagian besar kalangan akademisi, organisasi lingkungan, dan asosiasi nelayan telah menolak peraturan itu. Aturan tersebut hanya disetujui kalangan pemerintah dan sebagian pengusaha.
Ia menilai, PP No 26/2023 lemah secara konstitusional karena kontradiktif dengan substansi Undang-Undang No 32/2014 tentang Kelautan yang menjadi acuan peraturan itu. UU Kelautan antara lain mengamanatkan pemerintah mengelola dan memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tujuan melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan.
Pengambilan sedimentasi laut, termasuk pasir laut, dengan tujuan menanggulangi sedimentasi laut dinilai tidak akan efektif jika persoalan hulu yang memicu sedimentasi tidak tertanggulangi. Eksploitasi itu justru berpotensi menimbulkan pencemaran di laut dan merusak ruang hidup nelayan. Dicontohkan, sedimentasi di Delta Sungai Mahakam sudah sangat tinggi dipicu kerusakan di hulu sungai akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit, pertambangan, dan deforestasi hutan.
”Kalau mau selesaikan masalah sedimentasi laut, ya, selesaikan dulu (persoalan) hulunya. Tidak mungkin menyelesaikan masalah di hilir jika persoalan hulu tetap dibiarkan,” kata Karim.
Karim menyoroti masifnya pengerukan pasir laut di Kepulauan Riau pada masa lalu yang menyebabkan enam pulau hampir hilang, di antaranya Pulau Nipah. Eksploitasi pasir laut membuat kerusakan karang dan laut menjadi keruh. Nelayan, terutama nelayan kecil, kehilangan sumber penghidupan dari hasil tangkapan ikan, sedangkan ukuran kapal yang terbatas menyulitkan nelayan untuk melaut lebih jauh.
Sebaliknya, pengerukan pasir laut yang dulu dikirim ke Singapura telah memperbesar daratan negara tetangga itu. Singapura dinilai memiliki kriteria pasir laut yang bisa dipasok ke negara itu, di antaranya pasir laut yang bersumber dari tengah laut dan bukan berasal dari sedimentasi muara sungai. Di sisi lain, sedimentasi laut tidak selalu berdampak negatif, tetapi bisa juga berdampak positif bagi ekosistem laut.
”Pemerintah sebaiknya mencabut PP No 26/2023 karena mengulang kesalahan masa lalu yang berdampak kompleks secara ekosistem, ekologi dan ekonomi, serta mengakibatkan pulau kecil terancam hilang. Secara sosial, nelayan kehilangan sumber mata pencarian,” ujar Karim.