Pengembangan kluster percontohan budidaya nila salin dimulai, dengan target diikuti oleh pembudidaya lokal. Komoditas nila dinilai memiliki prospek pasar cerah.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan mulai membangun percontohan kluster budidaya ikan nila salin di Karawang, Jawa Barat. Nilai produksi nila salin di kluster itu ditargetkan mencapai Rp 20 miliar per siklus. Potensi pasar nila salin dinilai terbuka lebar, baik pasar domestik maupun ekspor.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Tb Haeru Rahayu mengemukakan, Indonesia merupakan salah satu produsen nila andalan dunia. Dari data Trademap 2021, Indonesia berada pada posisi kelima pengekspor ikan nila di pasar global.
”Ikan nila saat ini semakin diminati masyarakat sehingga permintaan pasar meningkat tinggi. Selain untuk konsumsi lokal, permintaan terhadap komoditas ikan nila untuk ekspor, terutama dari Amerika Serikat, juga tinggi, khususnya dalam bentuk fillet (irisan daging),” kata Tb Haeru, dalam keterangan pers, Minggu (9/7/2023).
Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang melakukan pembangunan modelling kluster budidaya ikan nila salin, bersinergi dengan Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi. Ukuran panen ikan nila salin perlu diatur rata-rata 700 gram per ekor agar tembus pasar ekspor dan bisa dijual dalam bentuk fillet.
Pembangunan kluster percontohan itu diharapkan meningkatkan produksi ikan nila sebagai salah satu komoditas perikanan strategis. Model percontohan budidaya ikan nila salin yang diterapkan adalah berbasis darat (land base), dan bukan danau (lake base). Kluster budidaya tersebut juga diharapkan dapat mengantisipasi kerusakan lingkungan di perairan umum.
Kepala BLUPPB Karawang M Tahang mengemukakan, kluster budidaya ikan nila salin akan dibangun di kawasan seluas 16 hektar, terdiri dari 10 petak berukuran 2.000 meter persegi dan 10 petak berukuran 4.000 meter persegi. Pemenuhan kebutuhan benih ikan nila salin akan dibantu oleh BBPBAT Sukabumi.
Padat tebar benih nila berkisar 25 ekor per meter persegi (m2) dengan rata rata berat 50 gram per ekor, serta ukuran panen rata rata mencapai 700 gram. Produktivitas diharapkan 42 ton per ha per siklus dengan masa pemeliharaan selama 150-180 hari. Pihaknya menargetkan total produksi 672 ton per siklus. ”Jika harga rata rata ikan nila salin Rp 30.000 per kg, perolehan dapat dicapai sekitar Rp 20 miliar (per siklus),” ujar Tahang.
Saat ini, pihaknya berupaya menggenjot produksi benih ikan nila jenis unggul yang telah melewati penyesuaian secara bertahap selama masa pertumbuhan sehingga dapat hidup di air payau. Benih ikan nila salin dinilai memiliki keunggulan pertumbuhan yang lebih cepat sehingga dapat dipanen lebih cepat dan memiliki daya tahan yang tinggi terhadap penyakit.
”Budidaya ikan nila salin sangat prospek untuk dikembangkan mengingat jenis ikan ini lebih mudah dipelihara dan harga jual yang relatif lebih baik,” jelas Tahang.
Produksi dan nilai budidaya ikan nila di Indonesia pada 2015 mencapai 1,084 juta ton dengan nilai produksi Rp 21,2 triliun. Pada 2021, produksi meningkat 1,3 juta ton dengan nilai produksi Rp 32,35 triliun.
Di pantai utara Jawa, diperkirakan terdapat 80.000 hektar (ha) lahan eks tambak udang atau tambak udang potensial yang bisa dikembangkan untuk budidaya nila salin. Teknologi yang akan diterapkan bisa berskala tradisional, intensif, ataupun polikultur. Selain itu, mengantisipasi pembudidaya yang beralih usaha dari udang.
Pengembangan induk dan benih unggulan ikan nila salin tengah dilakukan BBPBAT Sukabumi. Beberapa jenis ikan nila yang sudah dibudidayakan di BBPBAT Sukabumi adalah ikan nila hitam sultana, ikan nila gesit (YY-Supermale), dan ikan nila merah.