Kampung Nila Bernilai Fantastis dari Ciamis
Kampung Nila di Ciamis, Jawa Barat, perlahan memberikan kesejahteraan bagi warga. Selain hasil panen, kawasan ini menjadi wisata edukasi.
Masyarakat di Dusun Banjarwaru, Desa Kawali, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, membangun Kampung Nila memanfaatkan potensi daerah. Kampung itu membuka pintu rezeki hingga menjelma destinasi wisata edukasi. Ikan nila pun semakin bernilai.
Jarum jam belum menunjukkan angka 11 siang, Kamis (16/2/2023). Namun, Syamsul Ma’arif (35) sudah pulang dari Pasar Kawali. Penjual ikan nila ini punya banyak agenda, mulai dari menemani keluarga sampai menyiapkan kedatangan pejabat di Kampung Nila, tempat usahanya.
Berada 21 kilometer arah selatan dari pusat pemerintahan Ciamis, Kampung Nila adalah lokasi budidaya ikan nila (Oreochromis niloticus). Di sana, warga memijahkan, membesarkan, hingga menjual hasil panen dan produk olahan ikan nila. Dari rantai itu, Syamsul terlibat di pemasaran.
Sebelum 2020, warga setempat ini tidak menyangka bisa hidup dari ikan nila di kampungnya. Sejak 2011, ia merantau ke Kabupaten Sukabumi, sekitar delapan jam dari Kawali. Syamsul bekerja di sebuah pabrik sepatu dengan rutinitas pukul 07.00– 16.00, jika tak ada lembur.
Akan tetapi, pandemi Covid-19 akhir 2019 di beberapa negara menjelma mimpi buruk. Permintaan sepatu di pabrik dengan 25.000 karyawan itu anjlok. ”Ada pengurangan karyawan, salah satunya saya. Mungkin ribuan yang kena PHK (pemutusan hubungan kerja) dan dirumahkan,” ujarnya.
Baca juga : Inovasi Asuransi Penjaga Nyali
Setelah hampir 10 tahun bekerja, Syamsul kembali menganggur. Dengan uang pesangon dan tabungannya, bapak dua anak ini mencoba membuka warung kecil-kecilan di Sukabumi. Sayangnya, enam bulan berjalan, usahanya jalan di tempat. Ia lalu berpikir kembali ke daerah.
”Saya tanya kakak (Iim Gala Permana), ada potensi enggak di desa? Katanya, pulang aja dulu. Dua bulan awal, saya kerja serabutan. Terus disuruh kakak jual ikan nila,” kata Syamsul mengenang masa awal perkenalan dengan usaha ikan nila. Sejak puluhan tahun silam, desanya memang merupakan salah satu sentra budidaya ikan nila.
Syamsul sempat ragu. Sebab, ikan nila di kampungnya dulunya dikenal dengan kepala besar dan daging tipis. ”Ternyata banyak yang minat dengan ikan nila di sini. Katanya, dagingnya sekarang bagus. Sehari, saya jual 20-30 kilogram (kg). Kalau ramai, 50 kg per hari,” ujarnya.
Ia pun mampu membawa pulang Rp 50.000-Rp 100.000 dari jualan pukul 05.00 hingga 12.00. Dengan asumsi laba bersih Rp 75.000 per hari, ia bisa meraup Rp 2,25 juta per bulan. Jumlah ini memang lebih sedikit dibandingkan dengan upahnya per bulan kala jadi buruh pabrik, yakni Rp 2,8 juta.
Akan tetapi, kerja di desa baginya lebih enak dan untung. Ketika merantau, ia harus berpisah dengan keluarga besar dan mengeluarkan ongkos indekos, Rp 500.000 per bulan. ”Kadang setahun sekali pulang ke desa. Kalau kerja di pabrik, pulang capek, langsung istirahat,” ujarnya.
Kini, ia tidak lagi pusing dengan biaya kontrak rumah. Syamsul menikmati sejuknya perbukitan di daerah 500 meter di atas permukaan laut itu. Ia juga mulai belajar cara budidaya ikan nila. Istrinya bahkan menjual bakso goreng berbahan ikan nila dan ikan tuna.
Ia pun memutuskan tinggal di desanya. ”Saya ditelepon orang pabrik dua kali. Dia ngajak kembali kerja. Saya bilang, nanti pikir-pikir. Kalau di pabrik, tekanan dari atasan banyak. Di sini mah bebas,” ucapnya tersenyum.
Orang ”atas”
Tidak hanya Syamsul dan keluarga, sejumlah ibu-ibu juga menikmati berkah Kampung Nila. Ria Nurayu Ani (44) dan Dede Aah (48), misalnya, mengolah ikan nila menjadi aneka produk, dari paket nasi liwet ikan nila, kerupuk, hingga es krim berbahan nila.
”Hari ini ada yang pesan tiga paket nasi liwet ikan nila. Besok ada sekitar 100 orang yang datang, termasuk Pak Bupati Ciamis dan Pak Dandim,” ujar Ria sembari mengulek sambal. Satu paket nasi liwet, berisi ikan nila, tempe, dan lalapan, bisa dinikmati lima orang.
Sebelum lahirnya Kampung Nila, Ria sibuk mengurus kebutuhan rumah tangga dan sesekali menjadi buruh tani. ”Sekarang, ibu-ibu jadi kenal orang ’atas’. Dulu, boro-boro ketemu bupati. Bapak camat saja enggak tahu. Bapak Gubernur (Ridwan Kamil) juga sudah ke sini,” ujarnya.
Sekitar 10 ibu rumah tangga setempat kini punya penghasilan tambahan. ”Yang paling penting, kami dapat pengalaman mengolah ikan nila. Kami juga ikut bazar, pelatihan, dan pameran UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah),” kata Dede.
Syamsul, Ria, dan Dede termasuk dalam 80 keluarga yang hidup dari Kampung Nila. Ada yang mengurus pemijahan, pembesaran, pengolahan, hingga pemasaran ikan nila. Tidak hanya di pasar, ikan nila dan produk olahannya juga tersedia di Nilamart.
Minimarket milik warga itu menyediakan oleh-oleh khas setempat. Warga dari banyak daerah kerap berkunjung ke Kampung Nila untuk menikmati nasi liwet di atas saung sembari memandangi kolam ikan nila.
Hampir setiap hari ada panen di sini. Produksi dari sekitar 100 kolam bisa 2 kuintal per hari.
Budidaya terintegrasi ini digagas oleh Iim Gala Permana sejak 2019. Saat itu, ia ingin membeli bibit nila dari pedagang di Ciamis. Tapi, ia tidak bisa karena bukan langganan. Sebagian besar kebutuhan ikan nila di Ciamis, lanjutnya, dipasok dari Waduk Darma dan Waduk Saguling.
”Di situ saya berpikir, apa enggak bisa kita produksi sendiri ikan nila?” ucapnya. Apalagi, potensi air dari Gunung Sawal melimpah di Kawali. Bahkan, katanya, air tetap mengalir di musim kemarau. Banyak warga juga sudah punya kolam.
Sayangnya, mereka belum tahu cara budidaya yang ideal. Pakannya masih mengandalkan sisa bahan pangan. Setelah belajar tentang ikan nila dari pembudidaya lainnya, Iim mulai mengatur kepadatan kolam, menggunakan pakan pelet, serta menjaga kualitas ikan.
Hasilnya memuaskan. Warga lainnya perlahan mengikutinya. Beruntung, tokoh masyarakat setempat, H Wahyu, mendukungnya dan menawarkan ide Kampung Nila. Pemkab Ciamis pun menyambut gagasan itu dengan meresmikan Kampung Nila, pertengahan Desember 2021.
Baca juga : Menghadirkan Sentuhan Teknologi pada Budidaya Perikanan
Dinas Peternakan dan Perikanan Ciamis serta Kementerian Kelautan dan Perikanan juga mendampingi mereka. Warga turut bermitra dengan pihak lainnya, seperti perusahaan pakan hingga petani milenial, program Pemprov Jabar.
Tidak berhenti di situ, sejumlah kolam warga mengadopsi teknologi, seperti memakai mesin pakan otomatis hingga kincir. Panen nila yang dulunya hitungan bulan, kini bisa harian. ”Hampir setiap hari ada panen di sini. Produksi dari sekitar 100 kolam bisa 2 kuintal per hari,” ujar Iim.
Dengan harga jual Rp 22.000 per kg dan produksi 2 kuintal, potensi pendapatan di Kampung Nila per hari bisa Rp 4,4 juta atau Rp 132 juta dalam sebulan. Artinya, setahun, uang yang berputar di kampung itu bisa mencapai Rp 1,58 miliar, lebih tinggi dari dana desa. Fantastis.
Jumlah itu, lanjut Iim, masih bisa meningkat. Sebab, saat ini, warga baru memanfaatkan 3 hektar lahan untuk budidaya dari potensi 10 hektar. Ia bahkan mengaku mendapatkan permintaan 2 ton ikan nila per hari. Adapun produksi ikan nila di Ciamis pada 2021 tercatat 11.232 ton.
Meskipun masih sangat kecil, Kampung Nila Kawali turut menyumbang produksi ikan nila dalam skala nasional yang mencapai sekitar 1,4 juta ton pada 2021. ”Harapan kami, Ciamis mampu mandiri dengan ikan nila yang kualitasnya bagus dan bisa keluar daerah,” ucap Iim.