Kontribusi pada Rantai Pasok, Kepercayaan pada SDM Lokal
Selain berkontribusi pada proses alih teknologi dan pengetahuan, keberadaan perusahaan-perusahaan Jepang di Indonesia dinilai turut membangun rantai pasok industri di Tanah Air beberapa dekade terakhir.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Pekerja menyelesaikan produksi mesin bensin dan etanol tipe TR di pabrik Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Sunter, Jakarta, Senin (9/5/2016).
Keberadaan perusahaan-perusahaan manufaktur asal Jepang dinilai menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomiIndonesia. Selain terkait proses alih teknologi dan pengetahuan, eksistensinya dianggap turut mengembangkan perusahaan dalam negeri. Apalagi regulasi mendorong peningkatan komponen dalam negeri.
PT Sharp Electronics Indonesia (SEID), di bawah Sharp Corporation di Jepang, misalnya, bermitra dengan PT Yasonta saat hadir di Indonesia tahun 1970. SEID berkembang meraih pangsa pasar Indonesia, khususnya pada alat-alat elektronik, seperti televisi, lemari es, mesin cuci, dan pengatur suhu ruangan (AC).
Setelah pabrik televisi, lemari es, dan mesin cuci di Karawang International Industrial City (KIIC), Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Sharp mengoperasikan pabrik AC sejak April 2023. Pada tahap awal, kapasitas produksinya masih terbatas. Namun, pabrik tersebut ditargetkan beroperasi dengan kapasitas penuh pada semester II-2023.
Apabila sebelumnya AC mesti diimpor dari luar, kini SEID memproduksinya di Indonesia. ”Kami melihat pasar yang luas (di Indonesia) dan juga sebagai adaptasi terhadap kebijakan pemerintah yang mengarah ke produksi lokal serta mengurangi impor,” kata National Sales Senior GM SEID Andry Adi Utomo, di Jakarta, Jumat (23/6/2023).
Andry menambahkan, rantai pasok produksi melibatkan perusahaan di Indonesia kendati sebagian di antaranya terafiliasi dengan perusahaan asal Jepang. Tak dimungkiri, tingginya nasionalisme membuat SEID memprioritaskan perusahaan-perusahaan Jepang. Namun, jika harganya tak kompetitif, SEID memilih perusahaan asal negara lain.
”Namun, untuk produksi AC, sekarang sudah 50 persen lebih komponen (berasal) dari dalam negeri. Kami sedang mencari kompresor buatan lokal. Sebab, saat ini masih impor, seperti dari Malaysia, Thailand, dan China. Kalau ada pabrik kompresor di Indonesia, TKDN (tingkat komponen dalam negeri) AC akan meningkat,” ujarnya.
Bagaimanapun, kualitas selalu diutamakan oleh perusahaan-perusahaan Jepang. Namun, kata Andry, Jepang juga memiliki prinsip hari ini harus lebih baik dari kemarin. Saat ada vendor lokal ditinjau dan hasilnya tidak memuaskan, para pemimpin Sharp Corporation selalu mendorong untuk terus meningkatkannya.
Oleh karena prinsip itu, kata dia, orang Jepang terkesan kurang atau jarang mengapresiasi. Namun, hal itu didasari tuntutan untuk menjadikan segala sesuatu harus dicapai dengan lebih baik dan berkelanjutan.
Kepercayaan
Di Indonesia, Sharp pertama hadir pada 1970 lewat kemitraan dengan PT Yasonta. Pada 2005, PT Sharp Yasonta Indonesia dan PT Sharp Yasonta Antarnusa dimerger menjadi PT Sharp Electronics Indonesia (SEID). Dalam perkembangannya, sumber daya manusia (SDM) warga Indonesia semakin banyak, sementara SDM Jepang berkurang. Saat ini, karyawan SEID sekitar 3.000 orang, hampir semuanya warga Indonesia. Ekspatriatnya hanya lima orang.
”Artinya, mereka (Jepang) sudah percaya dengan SDM Indonesia. Memang ekspatriat awalnya banyak, setelah berkembang, ada efisiensi biaya. Ternyata dipegang (SDM) lokal pun bisa, bahkan membaik. Sejak 2015, ekspatriat berkurang banyak,” ujarnya.
PT SHARP ELECTRONICS INDONESIA
Pegawai mengecek lemari es di pabrik Sharp di Karawang International Industrial City (KIIC), Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Rabu (28/6/2023). Setelah memiliki pabrik TV, lemari es, dan mesin cuci, tahun 2023, Sharp mulai mengoperasikan pabrik pendingin ruangan (AC).
Namun, imbuh Andry, pengawasan mutu tetap dijaga. Audit pun dilakukan Sharp Corporation setiap tahun dan prosedur standar operasi dipantau agar tetap sesuai standar international Jepang.
Distribusi
Hubungan Jepang dengan Indonesia sejatinya memang terjalin kokoh di berbagai sektor sejak lama. Tak hanya manufaktur otomotif dan alat elektronika, relasi juga terjalin di sektor fast-moving consumer goods (FMCG) atau barang konsumen bergerak cepat. Kemitraan terkait rantai pasok dan distribusi pun tumbuh.
PT Suntory Garuda Beverage (SGB), sebagai aliansi strategis antara Suntory di Jepang dan Garuda Food di Indonesia, juga menerapkan relasi itu dalam bisnisnya. Sebab, rantai pasok untuk FMCG di Indonesia sering kali merupakan model distribusi multi-tier (berjenjang).
CEO SGB Neeraj Kumar Goyal menyatakan, di Indonesia, pemasok memproduksi produk yang didistribusikan melalui berbagai saluran hingga akhirnya dijual oleh jaringan pengecer yang luas kepada konsumen. Penjualan itu baik secara luring (offline), daring (online), maupun kombinasi keduanya (O2O).
”Oleh karena itu, salah satu tantangan utama yang dihadapi perusahaan FMCG adalah menghadapi jaringan distribusi yang kompleks dan tersebar luas ini. Hal ini sering berdampak pada kemampuan perusahaan untuk memperkirakan permintaan secara akurat,” kata Goyal.
Menurut dia, SGB berupaya untuk terus menyempurnakan model forecasting guna meningkatkan akurasi serta pemenuhan permintaan, termasuk lewat digitalisasi. Pasalnya, digitalisasi akan membantu mengubah rantai pasok industri hingga pada akhirnya mengarah pada efisiensi dan kepuasan konsumen.
Keberadaan perusahaan-perusahaan Jepang, yang dikenal berstandar mutu tinggi, juga dianggap membantu pengembangan Indonesia di berbagai aspek. Itu, antara lain, dirasakan PT Kalbe Farma Tbk, yang bekerja sama dengan Daiichi Sankyo Pharmaceutical dan Astellas, memproduksi susu berjenama Morinaga. Pada 2019, Kalbe juga menjalin kerja sama dengan Hoken Kagaku dan Toyota Tsusho Corporation.
Presiden Direktur PT Kalbe Farma Tbk Vidjongtius mengemukakan, kemitraan dengan Jepang dapat mempercepat proses peningkatan ekonomi, sosial, dan infrastruktur. Tingginya standar mutu Jepang dapat diaplikasikan ke berbagai bidang lain, termasuk terkait industrialisasi serta riset dan inovasi.
”Standar kualitas mutu Jepang yang tinggi sangat membantu peningkatan kualitas SDM dan layanan masyarakat Indonesia,” kata Vidjongtius.
Pengamat ekonomi yang juga dosen Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya, Rossanto Dwi Handoyo, berpendapat, kendati kini negara-negara yang berinvestasi di Indonesia sudah beragam, Jepang tidak bisa dilupakan begitu saja. Pasalnya, kerja sama RI-Jepang sudah terjalin lama dan dalam.
Kaisar Jepang Naruhito (tengah) memotret candi menggunakan kamera sakunya, di pelataran Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (22/6/2023). Itu merupakan kunjungan hari ke-6 dalam lawatannya ke Indonesia. Ia tertarik dengan kisah mengenai sumber daya air terkait candi tersebut.
”Hal itu telah membuat Jepang berkepentingan dengan perekonomian di Indonesia. Kalau perekonomian Indonesia turun, atau bahkan hingga resesi, otomatis perekonomian Jepang terdampak. Investasi-investasi strategis dari Jepang, yang punya keunggulan dalam high maupun medium technology, seharusnya selalu masuk dalam pertimbangan,” kata Rossanto.