Meski Lambat, Indonesia Mampu Lakukan Transisi Energi Sesuai Target
Permasalahan iklim membuat berbagai negara melakukan berbagai gebrakan dalam transisi energi, tak terkecuali Indonesia. Sampai saat ini, Indonesia menemui bermacam tantangan, salah satunya ketergantungan batubara.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski cenderung lambat, Indonesia dinilai mampu melakukan transisi energi sesuai dengan skema yang telah direncanakan. Di sisi lain, transisi energi juga membutuhkan anggaran yang besar sehingga dibutuhkan insentif untuk pembangunan energi terbarukan dan skema pembiayaan campuran.
Hal ini mengemuka dalam rangkaian diskusi Indonesia Net-Zero Summit (INZS) 2023, yakni konferensi iklim tahunan yang diadakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Djakarta Theater, Jakarta, Sabtu (24/6/2023). Acara yang terdiri atas berbagai panel diskusi dengan tema besar perubahan iklim ini dihadiri sejumlah pemangku kepentingan, mulai dari masyarakat sipil, aktivis, pejabat, hingga menteri.
Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, yang juga menjabat sebagai Ketua Kaukus Ekonomi Hijau, Mercy Chriesty Barends, menyampaikan, energi berbasis fosil masih mendominasi pasokan listrik di Tanah Air. Hal ini membuat upaya pemerintah dalam transisi energi menjadi lambat.
”Dalam upaya percepatan transisi energi, apakah peralihan dari batubara ke transisi energi memungkinkan? Sangat memungkinkan, tapi tidak bisa cepat. Subsidi energi pada tahun 2022 saja mencapai Rp 552 triliun karena faktor eksternal, yakni kondisi geopolitik Rusia-Ukraina dan pandemi Covid-19. Lalu, tahun 2023, subsidinya menjadi Rp 330 triliun dan pada tahun depan, angkanya tidak jauh berbeda,” ujarnya.
Selain itu, masih terdapat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara yang tersebar di seluruh Indonesia. Apabila dijumlahkan dengan PLTU berbasis fosil lainnya, bauran energi fosil di Indonesia lebih kurang 85 persen.
Padahal, lanjut Mercy, pemerintah telah menetapkan tingkat bauran energi baru dan energi terbarukan (EBT) pada tahun 2025 mencapai 23 persen. Sementara pada tahun 2022, realisasi bauran EBT baru mencapai sekitar 12 persen.
”Tahun ini, semoga bisa mencapai 15-17 persen bauran EBT-nya. Apabila sesuai dengan target pada tahun 2025, masih ada selisih 6 persen hingga 8 persen. Meski masih terhitung on track, dua tahun mendatang dirasa berat,” ucap Mercy.
Mercy menambahkan, biaya operasional pembangkit listrik berbasis energi terbarukan menghabiskan anggaran yang tidak sedikit. Untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan kapasitas 75 kilowatt peak (KWp), misalnya, dibutuhkan anggaran Rp 2,5 miliar per dua tahun untuk kebutuhan baterai. Apabila 10 persen dari jumlah pulau di Indonesia, yakni 1.700 wilayah, membangun PLTS tersebut, sedikitnya dibutuhkan biaya sekitar Rp 12,7 triliun untuk anggaran per lima tahun.
Oleh sebab itu, transisi energi dalam hal energi terbarukan harus dilakukan secara struktural dan progresif. Mercy menambahkan, Komisi VII DPR mendesak PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera mengeluarkan peta jalan transisi energi tahun 2045, tahun 2050, serta tahun 2060.
”Kami meminta seluruh peta jalan itu disimulasikan sehingga akan tampak berapa anggaran yang akan dibutuhkan. Kira-kira anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 4.000 triliun untuk sampai tahun 2030 atau lebih kurang membutuhkan Rp 300 triliun hingga Rp 400 triliun per tahun,” katanya.
Pada sesi diskusi lainnya, Direktur Keuangan PLN Sinthya Roesly menjelaskan, persoalan nol emisi (net zero emission/NZE) di Indonesia memerlukan tahap perencanaan, eksekusi, dan monitoring. Saat ini, Indonesia masih bergantung pada energi fosil, khususnya batubara, sementara di sisi lain ada kewajiban untuk menurunkan emisi.
”Sampai tahun 2045, PLN memiliki tiga skenario, yakni business as usual, percepatan dengan menambah 3 gigawatt energi terbarukan, dan ultrapercepatan. Salah satu hal yang dikaji adalah bagaimana pasar melihat kondisi keuangan PLN berdasarkan ketentuan balance sheet-nya,” katanya.
Saat ini, Indonesia masih bergantung pada energi fosil, khususnya batubara, dan di sisi lain wajib menurunkan emisi.
Dalam menjalankan skema tersebut, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi oleh PLN, baik dari aspek kapasitas, pertumbuhan permintaan listrik, maupun infrastruktur. Dalam membangun infrastruktur hijau, seperti PLTS, pembangkit listrik panas bumi (PLTP), dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA), tantangannya adalah membangun transmisi yang dekat dengan pusat-pusat beban energi terbarukan.
Insentif
Upaya untuk mencapai NZE membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Berdasarkan perhitungan Institute for Essential Services Reform (IESR), investasi yang dibutuhkan untuk mencapai NZE tahun 2060 di semua sektor secara kumulatif hampir mencapai Rp 20.000 triliun atau rata-rata sekitar Rp 450 triliun sampai Rp 600 triliun.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menjelaskan, target NZE meliputi berbagai sektor, seperti sektor listrik, industri, transportasi, dan bangunan, sehingga membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, perlu insentif untuk mengembangkan energi terbarukan skala kecil, salah satunya PLTS atap.
”PLTS atap adalah teknologi yang demokratis. Apalagi, jika dikombinasikan dengan baterai (storage), bisa menjadikan setiap rumah sebagai sumber energi,” tuturnya.
Insentif untuk mendorong pembangunan PLTS atap tersebut telah diatur pemerintah melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 26 tahun 2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang IUPTL untuk Kepentingan Umum. Regulasi ini adalah hasil revisi dari Permen ESDM No 49/2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Suiya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Fabby menambahkan, pembangunan infrastruktur energi terbarukan perlu turut mendorong sektor industri manufaktur dalam negeri. Sebab, industri manufaktur komponen infrastruktur energi terbarukan, seperti turbin, floaters, dan panel surya, dapat menciptakan 3,2 juta lapangan pekerjaan dan mengurangi ketergantungan impor.
Pembiayaan campuran
Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan anggaran dalam mencapai NZE adalah dengan pendanaan campuran (blended financing). PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau SMI menjadi kendaraan misi spesial (special mission vehicle/SMV) Kementerian Keuangan untuk membuat platform mekanisme transisi energi.
Pembangunan infrastruktur energi terbarukan perlu turut mendorong sektor industri manufaktur dalam negeri.
Direktur Pembiayaan dan Investasi SMI Sylvi J Gani memaparkan, tugas SMI adalah mengoordinasi, khususnya pendanaan terkait perubahan iklim. Sustainable Development Goals (SDGs) Indonesia One menjadi salah satu program untuk pendanaan iklim di Indonesia.
”Kami sudah memobilisasi pendanaan, baik dari publik maupun swasta, untuk proyek-proyek yang ramah energi. Sampai saat ini, sudah ada sekitar 67 proyek yang dibiayai platform SDGs Indonesia One. Selain itu, kami juga menyiapkan modal pendanaan untuk transisi energi yang terdiri dari dekarbonasi (coal phase out) dan clean energy (pembangunan energi terbarukan),” katanya.
Dalam menjalankan tugasnya, SMI turut bekerja sama dengan para pemangku kepentingan untuk mobilisasi pendanaan yang dibutuhkan sesuai peta jalan dari pemerintah. Sylvi menjelaskan, mobilisasi pendanaan tersebut tetap memperhatikan aspek sosial dan ekonomi masyarakat.
Dalam inisiatif ”memensiunkan” PLTU batubara, misalnya, penutupan PLTU tersebut tidak dilakukan begitu saja. Sebagai salah satu arah penentu kebijakan atas transisi energi, lanjut Sylvi, dampak sosial pada penduduk sekitar dan dampak ekonomi terhadap sektor-sektor yang terkena imbas di lokasi sekitar PLTU batubara juga diperhitungkan.