Kenaikan harga patokan rumah bersubsidi ini sudah disesuaikan dengan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah dan kenaikan inflasi material bangunan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menaikkan harga rumah bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60 Tahun 2023. Harga patokan baru rumah subsidi tahun 2023 naik 6,8-7,7 persen dibandingkan tahun 2022 dan pada 2024 ditetapkan naik di kisaran 2,2-2,9 persen menurut zonasi.
Program rumah subsidi digulirkan pemerintah melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). Berdasar Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 60/2023 tentang Besaran Rumah Umum, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Rumah Pekerja yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), harga baru tersebut berlaku sejak peraturan diundangkan, yakni pada 9 Juni 2023. Aturan itu menggantikan ketentuan sebelumnya, yakni PMK No 81/2019.
Direktur Pelaksanaan Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Haryo Bekti Martoyoedo mengemukakan, Kementerian PUPR akan menindaklanjuti PMK No 60/2023 dengan menerbitkan keputusan menteri serta melakukan sosialisasi terkait perpajakan dan pelaksanaan PMK tersebut. Sosialisasi kebijakan dijadwalkan berlangsung serentak mulai pekan depan.
Menurut Haryo, kenaikan harga patokan rumah bersubsidi telah mempertimbangkan daya beli masyarakat. Penyesuaian harga tersebut diharapkan mendorong peningkatan pasokan rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Namun, penyesuaian harga diharapkan baru diterapkan setelah dilakukan sosialisasi kepada pengembang sehingga pelaksanaan aturan berjalan lancar.
”Kenaikan harga sudah mempertimbangkan daya beli. Tentunya, pembangunan perumahan bersubsidi semakin meningkat untuk segera dapat memfasilitasi masyarakat memiliki rumah,” kata Haryo, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (16/6/2023).
Berdasarkan PMK No 60/2023, batasan maksimum harga jual rumah yang bebas PPN di Jawa (kecuali Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi/Jabodetabek) dan Sumatera (kecuali Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kepulauan Mentawai) sebesar Rp 162 juta per unit pada 2023 dan menjadi Rp 166 juta pada tahun 2024. Rumah tapak di Kalimantan (kecuali Kabupaten Murung Raya dan Mahakam Ulu) maksimal Rp 177 juta per unit pada 2023 dan menjadi Rp 173 juta pada 2024.
Adapun rumah tapak bersubsidi di Sulawesi, Bangka Belitung, Kepulauan Mentawai, dan Kepulauan Riau (kecuali Kepulauan Anambas) ditetapkan maksimal Rp 168 juta per unit pada tahun ini dan menjadi Rp 173 juta pada 2024.
Rumah bersubsidi diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan batasan penghasilan bulanan di kisaran Rp 7 juta-Rp 10 juta menurut zonasi.
Sementara itu, batas harga rumah tapak bersubsidi di Maluku, Maluku Utara, Bali, Nusa Tenggara, Jabodetabek, Kepulauan Anambas, Murung Raya, dan Mahakam Ulu dipatok Rp 181 juta per unit tahun ini dan menjadi Rp 185 juta pada 2024. Adapun di Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya Rp 234 juta per unit tahun ini dan menjadi Rp 240 juta pada 2024.
Sebelumnya, harga maksimum rumah bersubsidi dipatok antara Rp 150,5 juta dan Rp 219 juta per unit, yang terbagi menurut zonasi. Dalam skema rumah bersubsidi, konsumen mendapat insentif berupa pembebasan komponen biaya PPN dan keringanan Pajak Penghasilan (PPh). Rumah bersubsidi diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan batasan penghasilan bulanan di kisaran Rp 7 juta-Rp 10 juta menurut zonasi.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, dalam keterangan pers di laman resmi BKF, mengemukakan, kenaikan batasan harga itu mengikuti kenaikan rata-rata biaya konstruksi 2,7 persen per tahun berdasarkan Indeks Harga Perdagangan Besar.
Fasilitas pembebasan PPN diharapkan meningkatkan pemenuhan kebutuhan rumah layak huni yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah, serta berdampak positif pada perekonomian nasional, termasuk investasi industri properti dan industri pendukungnya, penciptaan lapangan pekerjaan, dan peningkatan konsumsi masyarakat.
”Sejak berlakunya FLPP tahun 2010 lalu, sudah lebih dari 2 juta masyarakat berpenghasilan rendah yang mendapatkan rumah subsidi. Pembaruan fasilitas pembebasan PPN ini menjadi instrumen pemerintah untuk menambah lagi jumlah rumah yang disubsidi sehingga lebih banyak masyarakat yang dapat membeli rumah layak huni dengan harga terjangkau,” ujar Febrio.
Kejar target
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia Paulus Totok Lusida, saat dihubungi terpisah, mengemukakan, kenaikan harga patokan rumah bersubsidi dinilai sesuai dengan kenaikan inflasi. Selama tiga tahun terakhir, harga rumah bersubsidi tidak naik meski kenaikan inflasi material bangunan terus terjadi.
Kenaikan harga patokan rumah bersubsidi dinilai sesuai dengan kenaikan inflasi. Selama tiga tahun terakhir, harga rumah bersubsidi tidak naik meski kenaikan inflasi material bangunan terus terjadi.
Ia menambahkan, REI membangun sekitar 60 persen atau 120.000 unit dari total unit rumah masyarakat berpenghasilan rendah yang dipasok pengembang. Pada paruh pertama tahun ini, pasokan rumah sederhana bagi masyarakat berpenghasilan rendah sempat terhambat karena tidak kunjung ada kenaikan harga rumah subsidi. Terbitnya ketentuan harga patokan baru itu diharapkan mendorong pengembang untuk memasok rumah bersubsidi.
”Kami optimistis bisa mengejar target pembangunan rumah bersubsidi hingga akhir tahun ini. Kekurangan rumah masih sangat besar dan pengembang siap membangun,” kata Totok.
Ketua Umum Organisasi Lembaga Pengkajian Pengembangan Perumahan dan Perkotaan Indonesia (The HUD Institute) Zulfi Syarif Koto mengemukakan, penyesuaian harga rumah bersubsidi telah dinantikan pengembang selama hampir tiga tahun.