DPR Setujui Anggaran Kerja Kemenkeu 2024 Sebesar Rp 48,35 Triliun
Permintaan Kementerian Keuangan atas pagu indikatif sebesar Rp 48,34 triliun telah disetujui oleh DPR. Namun, terdapat beberapa catatan dari DPR seperti pengoptimalan penerimaan pajak dan pengelolaan utang.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui pagu indikatif anggaran kerja Kementerian Keuangan sebesar Rp 48,35 triliun untuk tahun 2024. Walakin, DPR mengingatkan mengenai optimalisasi penerimaan negara dan utang negara.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menjabarkan rencana kerja pemerintah dan rencana kerja anggaran pagu indikatif pada tahun 2024 kepada Komisi XI DPR selama dua hari hingga Selasa (13/6/2023 ). Terdapat lima program yang akan dijalankan oleh Kemenkeu, yakni program pengelolaan belanja negara, kebijakan fiskal, pengelolaan penerimaan negara, pengelolaan perbendaharaan, kekayaan negara dan risiko, serta dukungan manajemen.
”Anggaran Kemenkeu beserta dengan seluruh catatannya kami setujui,” ucap Ketua Komisi XI DPR Kahar Muzakir dalam Rapat Kerja bersama Kemenkeu, di Jakarta, Rabu (14/6/2023).
Program kebijakan fiskal mendapatkan pagu indikatif sebesar Rp 40,23 miliar, program pengelolaan penerimaan negara sebesar Rp 2,48 triliun, dan program pengelolaan belanja negara sebesar Rp 28,74 miliar. Selain itu, program pengelolaan perbendaharaan, kekayaan negara dan risiko (PKNR) sebesar Rp 310,82 miliar, dan program dukungan manajemen Rp 45,49 triliun.
Berdasarkan sumber dananya, pagu indikatif Kemenkeu terdiri atas rupiah murni sebesar Rp 38,90 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 21,76 triliun, hibah Rp 1,12 triliun, dan badan layanan umum (BLU) Rp 9,42 triliun. Adapun berdasarkan fungsinya, fungsi pelayanan umum sebesar Rp 44,70 triliun, fungsi ekonomi Rp161 miliar, dan fungsi pendidikan Rp3,48 triliun.
”Terima kasih atas pembahasan yang sangat maraton dan juga tetap detail. Berbagai catatan yang tadi telah disampaikan kepada kami pada masing-masing unit terkait isu-isu yang sangat penting juga merupakan sebuah masukan dan sekaligus menjadi fokus prioritas kami,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menanggapi putusan dari Komisi XI DPR.
Pada pembahasan mengenai program-program Kemenkeu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memaparkan mengenai 41 kegiatan dalam perumusan program kebijakan fiskal. Kegiatan tersebut ditujukan untuk mendorong stabilisasi dan transformasi ekonomi saat pandemi Covid-19 mulai mereda sekaligus di tengah ancaman krisis geopolitik.
Ini adalah untuk menjaga agar kita bisa betul-betul mendapatkan penerimaan negara sebesar Rp 2.717 triliun sampai dengan Rp 2.861 triliun pada tahun 2024.
Indikator sasaran program tersebut, antara lain, mencapai rasio defisit terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 2,16 persen hingga 2,64 persen pada tahun 2024 atau naik dari sebelumnya 2,85 persen pada tahun 2023. Selain itu, indeks efektivitas kebijakan fiskal dan sektor keuangan ditargetkan dapat mencapai angka 86 dari skala 100.
Suahasil menambahkan, program pengelolaan penerimaan negara memiliki 133 kegiatan. Kegiatan ini ditujukan untuk pelayanan perpajakan, PNBP, serta perbaikan dan reformasi berbagai sistem administrasi perpajakan guna memenuhi kebutuhan pendanaan pembangunan. Indikator sasaran program tersebut, antara lain, rasio penerimaan perpajakan sebesar 9,92 persen hingga 10,2 persen terhadap PDB.
”Ini adalah untuk menjaga agar kita bisa betul-betul mendapatkan penerimaan negara sebesar Rp 2.717 triliun sampai dengan Rp 2.861 triliun pada tahun 2024,” ujar Suahasil.
Untuk dapat memenuhi target tersebut, sosialisasi wajib pajak perlu dilakukan secara masif lantaran pajak menjadi salah satu tulang punggung penerimaan negara. Anggota Komisi XI DPR, Ela Siti Nuryamah, berpendapat, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu perlu memperkuat sistem guna meningkatkan kepatuhan sukarela bagi wajib pajak.
”Kegiatan preventifnya belum terlihat. Kemarin, kan, marak sosialisasi, tetapi juga tidak mungkin hanya sebatas imbauan-imbauan. Padahal, kegiatan program studi ini juga penting dilakukan untuk sadar pajak karena bagaimanapun tulang punggung penerimaan, ya, lebih banyak di sektor pajak negara ini,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan eselon I Kemenkeu, antara lain, DJP, Direktorat Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai, serta Dirjen Anggaran, di Jakarta, Senin (12/6/2023).
Di sisi lain, anggaran belanja pemerintah pada tahun 2024 dinilai perlu lebih selektif, terutama karena menjelang pemilu. Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB-UI), Teuku Riefky menyebut, kebijakan-kebijakan yang bersifat populis biasanya dilakukan demi menarik simpati rakyat dan menggenjot elektabilitas, seperti belanja subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang tiba-tiba meningkat meski tidak mendesak.
”Kita memang tidak berharap ada kebijakan reformasi besar-besaran yang muncul karena biasanya langkah seperti itu berisiko di tahun politik, tetapi setidaknya komitmen pada quality spending itu dijaga,” ujarnya (Kompas.id, 22/6/2023).
Selain membahas mengenai penerimaan negara, pinjaman luar negeri dan utang juga menjadi sorotan DPR. Anggota Badan Anggaran DPR, Marwan Cik Hasan, memberikan sejumlah catatan mengenai pengelolaan utang negara dalam rapat dengar pendapat dengan eselon I Kemenkeu, antara lain, Dirjen Kekayaan Negara, Dirjen Perbendaharaan, serta Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, di Jakarta, Selasa (13/6/2023).
Hingga Maret 2023, utang negara tercatat sebesar 7.879 triliun atau 39,17 persen dari PDB. Marwan menjelaskan, setiap tahunnya terdapat sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang cukup besar. Pada tahun 2020, terdapat silpa sebesar Rp 245 triliun, pada tahun 2021 sebesar Rp 84,9 triliun, dan pada tahun 2022 sebesar Rp111 triliun.
”Bagaimanapun juga, pagu indikatif dan rencana kerja ini kita buat untuk Kementerian Keuangan terkait dengan pembiayaan dan risiko supaya perform dalam mengelola utang kita. Sederhananya, uang sisa yang tidak terpakai ini sejatinya diperoleh dari utang. Makin besar silpa yang tersisa, berarti makin besar juga uang hasil pinjaman yang tidak kita pakai dan ini adalah uang yang berbunga,” katanya.
Marwan menambahkan, yield atau imbal hasil investasi yang ada di Indonesia terbilang cukup tinggi ketimbang negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Sebelumnya, Direktorat Jenderal PPR menyampaikan, dengan ajuan pagu indikatif Rp 21,39 miliar untuk program PKNR denga target imbal hasil dari surat berharga negara (SBN) sebesar 6,49 persen hingga 6,91 persen sebagai indikator program.
”Indonesia ini tinggi sekali biaya bunganya, 6 sampai 7 persen dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN sekitar 3 persen. Jangan kita nyaman karena kemudahan-kemudahan, kita pinjam lewat SBN sehingga akibatnya kita tidak kreatif untuk mencari dana-dana yang lebih murah,” lanjutnya.
Selain itu, Marwan juga mengingatkan catatan Badan Pemeriksa Keuangan tentang kulminasi utang yang akan terjadi pada periode 2025-2030. Kondisi tersebut diproyeksikan akan terjadi karena banyak pinjaman yang jatuh tempo secara bersamaan.